Keputusan Komisi Pemilihan Umum pada tahun 2004 yang menggugurkan Gus Dur sebagai calon presiden akan berdampak pada diskriminasi dan gugurnya hak konstitusional sebagian warga negara republik Indonesia.
Hak politik penyandang cacat tuna netra untuk maju sebagai calon presiden, praktis mustahil. Hampir pasti, pilpres pada pemilu di republik ini menutup peluang calon presiden dengan riwayat cacat penglihatan permanen. Rekomendasi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) kala itu yang jadi pertimbangan KPU dalam mengambil keputusan, akan berdampak di kemudian hari bagi hak konstitusional penyandang tuna netra.
Dalam praktik ketatanegaraan, sebenarnya banyak contoh kasus presiden dengan keterbatasan fisik atau cacat secara fisik. Amerika Serikat misalnya, sebagai barometer negara demokrasi yang paling mapan saja pernah memiliki presiden dengan keterbatasan fisik. Namun rupanya, belum pernah ada kasus presiden yang memiliki riwayat cacat permanen pada indera penglihatan.
Presiden Truman memiliki keterbatasan pada lensa matanya, walaupun tidak sampai menyebabkan kebutaan. Presiden Clinton dalam kesehariannya bahkan harus menggunakan alat bantu dengar. Paling fenomenal adalah Franklin D. Roosevelet, selama 3 periode mengalami kelumpuhan dan harus bekerja dengan kursi roda.
Sayangnya, atau justru apes’-nya, Gus Dur tidak sempat selesai satu periode jabatan sebagai presiden. Sehingga tidak bisa dijadikan preseden hukum dalam praktek ketatanegaraan dikemudian hari. Seandainya saja Gus Dur selesai satu periode, maka tak bisa dibantah lagi secara ilmiah, bahwa pernah ada presiden dengan sistem republik yang memiliki keterbatasan fisik, utamanya cacat penglihatan.
Penggulingan Gus Dur di saat sedang menjabat dan kegagalan tes kesehatan pada pemilu tahun 2004, memupus harapan para penyandang tuna netra untuk memiliki hak politik sebagai calon presiden. Bukan saja hak konstitusional penyandang tuna netra di Indonesia, tapi juga di belahan bumi manapun. Orang yang buta penglihatannya tidak mungkin jadi presiden. Tentunya dengan sistem republik yang demokratis.
Gus Dur sempat memperjuangkan hak konstitusionalnya dan juga nasib penyandang tuna netra pada umumnya, lewat gugatan di pengadilan. Sekali lagi Gus Dur harus kandas, putusan hakim tidak mengabulkan tuntutan beliau.
Apa jadinya dulu, jika syarat presiden harus berpendidikan sarjana dan harus warga negara asli? Tentu seorang Megawati tidak bisa maju sebagai calon presiden, juga Amien rais yang konon merupakan keturunan Arab. Syarat sehat jasmani yang menjegal pencalonan Gus Dur berhasil mengubah situasi politik pemilu tahun 2004. Bukan Megawati atau Amien Rais yang ketiban durian runtuh, melainkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahwa memang ada ahli hukum Islam yang mensyaratkan calon pemimpin negara boleh memiliki keterbatasan fisik atau cacat, tapi khusus indera penglihatan mutlak harus dalam keadaan sehat alias tidak boleh buta. Adalah Imam Al Mawardi, dalam kitabnya Al hikam Al sulthaniyat. Tapi masih relevan atau tidak pendapat tersebut? Mengingat kitab tersebut sudah berumur 10 abad.
Dalam pertarungan politik yang serba dinamis, syarat sehat jasmani dan rohani ternyata bisa menjadi isu untuk menyerang pencalonan presiden atau petahana. Di Amerika, Donald Trump bahkan sempat dicap tidak waras oleh lawan politiknya, pernah juga presiden Obama berhenti merokok, dan baru berani merokok lagi pada periode keduanya sebagai presiden. Coba bayangkan, kalau kemarin Jokowi positif covid 19, jika sampai parah maka Kyai Haji Ma’ruf Amin bisa mendadak jadi penjabat presiden. Prabowo juga pernah diterpa isu miring kena stroke, saat yang bersangkutan berobat ke Jerman hanya hitungan bulan sebelum pilpres 2019.
Mahkamah Agung Michigan Amerika Serikat pernah memiliki hakim agung penyandang tuna netra, pun hakim mahkamah konstitusi Afrika Selatan yang legendaris, Zack Yakoob juga seorang tuna netra. Sayangnya mereka berdua bukan presiden, sehingga tidak bisa menjadi tolak ukur untuk kasus Gus Dur.
Praktis, dalam praktek ketatanegaraan hanya Gus Dur satu-satunya presiden yang memiliki riwayat cacat permanen pada indera penglihatannya. Barangkali akan menjadi yang pertama dalam sejarah dan yang terakhir pula, ada seorang presiden yang buta penglihatannya.
Data sensus penduduk tahun 2010, mencatat jumlah penyandang tuna netra mencapai 3.750.000 atau sekitar 1,5% penduduk Indonesia, jika dihitung dari penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta. Data BPS tersebut juga mencatat sekitar 40% masih dalam usia sekolah.
Dengan akses pendidikan yang masih terbatas, di mana tidak semua kecamatan di Indonesia memiliki SLB (Sekolah Luar Biasa) mereka para penyandang tuna netra harus juga menerima kenyataan hak politiknya terbatas.
Semoga takdir dan nasib tidak hanya membawa mereka menjadi tukang pijat tuna netra.