Setelah 30 Hari COVID-19: Desas-desus Kian Merajalela, Sentimen Anti-China Menguat

Setelah 30 Hari COVID-19: Desas-desus Kian Merajalela, Sentimen Anti-China Menguat

Setelah Corona, muncullah sentimen Anti-China

Setelah 30 Hari COVID-19: Desas-desus Kian Merajalela, Sentimen Anti-China Menguat

Sebelum pandemi Covid-19 jadi perdebatan, media sosial sudah diramaikan perbincangan soal sentimen rasisme anti-China terkait virus ini dan kerap dibumbui hoaks,  terkadang drama. Linimasa kita seolah hanya penuh dengan desas-desus ketimbang informasi yang mencerahkan. Efeknya, terjadi kepanikan  serta  kebingungan masyarakat tak terhindarkan sejak kali pertama kasus diumumkan.

Himbauan Pemerintah tentang “Social Distancing (jaga jarak sosial)” agar bisa memutus rantai persebaran, tidak disertai dengan bagaimana perilaku tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat menambah kebingungan serta kepanikan di tengah masyarakat, karenanya ada banyak warga yang masih tidak mengindahkan himbauan tersebut.

Mesk begitu, tagar #dirumahaja yang terus digemakan di media sosial cukup diterima, apalagi dikuatkan oleh beberapa pesohor seperti Najwa Shihab, Navicula dan lain-lain. Lewat akun-akun media sosial miliknya, para pesohor ini terus menyuarakan tagar tersebut dengan berbagai aksi kreatif agar warga mulai sadar harus mulai menjalankan himbauan pemerintah tersebut.

Beginilah kondisi jagat berbagai platform setidaknya hingga awal pandemi Corona mulai masuk di Indonesia. Setelah hampir sebulan pasca kasus pertama, media sosial memang tidak banyak perubahan tren walau masih ada beberapa kabar gembira yang bisa melegakan kita semua. Warganet masih cukup rentan terpapar kabar-kabar yang bisa memancing kepanikan, desas-desus yang kerap tidak bisa dipertanggungjawabkan tapi kian merajelela, seperti isu Lockdown (Karantina Wilayah) yang masih simpang siur hingga informasi tentang virus tersebut sering diberitakan dengan narasi menakutkan.

Anak Muda, Agama dan Pandemi Covid-19

Covid-19 yang mulai diperbincangkan di Indonesia sejak pertengahan Februari, terutama di media sosial, dimulai dengan irisan agama dengan sentimen rasisme, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini pekerjaan rumah bersama bagaimana menggeser perbincangan sentimen rasis tersebut menjadi informasi yang mencerahkan bagi seluruh umat manusia.

Dalam kondisi ini, kita sebagai anak muda harus mengambil peran terdepan menghadapi problematika media sosial di tengah situasi pandemi seperti sekarang. Dengan alasan utamanya adalah kreativitas, penguasaan teknologi dan memiliki jarak terhadap politik praktis. Modal inilah yang mengharuskan generasi milenial mengambil inisiatif untuk mengambil alih dunia maya, agar bisa kembali menjadi ladang informasi yang menyehatkan dan mencerahkan bagi masyarakat, terutama di saat menghadapi Corona seperti sekarang ini.

Tentu sebelum turun berperang melawan berita atau kabar bohong di Internet, kita harus mengenal terlebih dahulu dinamika utama yang harus dihadapi. Sebagaimana dijelaskan di atas, agama yang beririsan dengan sentimen rasis telah menjadi perbincangan awal di tengah pandemi Corona. Jadi, dalam tulisan ini kita akan mencoba menelusuri bagaimana potensi peran anak muda menghentikan kabar bohong atau hoaks yang terkait agama.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa agama yang begitu vital di masyarakat Indonesia, ini tercermin dari posisinya yang menjadi pijakan utama ”panduan hidup” dalam kehidupan sehari-hari. Survei Alvara Institute tahun 2019 menyatakan agama sangat penting sebesar 80.2% bagi masyarakat Indonesia. Agama menjadi sangat penting seiring dengan bertambahnya usia, terutama bagi millennial hingga gen-X. Jadi semakin tua maka posisi agama akan semakin penting.

Melihat kondisi di atas, kita harus sadar bahwa perbincangan di media sosial yang mengaitkan kondisi pandemi dengan perihal agama tentu tidak sedikit. Memang ada banyak konten positif yang bisa kita bisa tiru atau melantangkannya kembali di akun media kita. Berbagi doa, amalan, gerakan membaca ratib bersama secara daring hingga berbagai gerakan filantropi, hanyalah sebagian kecil contoh konten positif yang ada di jagat maya.

Mungkin tidak sedikit kita yang menemui perdebatan teologis atau fiqih dalam menghadapi kondisi Corona, dalam hal ini kehati-hatian yang diperlukan. Pemilahan yang rinci harus dilakukan oleh kita, mana yang diselipi desas-desus dan mana yang benar-benar konten mencerahkan pemikiran kita akan hukum fiqih. Kita harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan agar bisa terhindar dari selentingan kabar bohong yang terselip di pembahasan ranah keilmuan keislaman.

Kondisi ini menambah tantangan bagaimana kehadiran anak muda sebagai garda terdepan dalam perang melawan kabar bohong, jadi kembali lagi adalah kehati-hatian tentu sangat dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan irisan agama dan sentimen rasisme. Mengapa problematika ini yang harus diselesaikan lebih dahulu?

Hanya dua alasan yang bisa diajukan. Pertama, persoalan primordial ini cukup akut di masyarakat kita, setiap kelompok generasi menampilkan kebencian atau sentimen rasisme yang masih sama bandelnya. Kedua, efek domino persoalan ini cukup merembes ke beberapa persoalan lain, termasuk yang kita hadapi sekarang ini, yakni Corona, sehingga informasi yang dibagikan bukan mencerahkan tapi malah berpotensi terjebak pada kabar-kabar bohong yang justru rentan menambah panik warga.

Yang bisa kita sebagai generasi milenial harus mulai menjauhkan sentimen rasis, seperti opini “Tentara Allah” atau “Azab”, dari postingan atau caption di seluruh akun media sosial milik kita. Bila kita menemukan postingan bernada rasisme maka informasi tersebut harus hanya berhenti di tangan kita, jadi tidak perlu disebarkan lebih luas lagi.

Selain itu, kita harus mulai membanjiri berbagai platform media sosial dengan konten-konten yang bermanfaat dan informatif bagi warga, agar bisa mulai menjadi titik awal penciptaan rasa aman di hati masyarakat. Hal ini akan sangat membantu menciptakan suasana kondusif di tengah warga, yang bisa mempercepat keluar dari krisis Corona dan mengurangi dampak sosial sekarang hingga setelah badai ini berlalu.

Sudah kita maklumi bersama dua kelompok generasi, gen X dan milenial, adalah pemakai internet yang sangat aktif. Alvara Institute menyebutkan di atas 88% dari mereka adalah pemakai aktif internet, yang dibuktikan dari aktivitas mereka mencapai 4-7 jam dalam sehari dihabiskan di dunia maya. Jadi, ini jelas menjadi penambah semangat, bahwa generasi yang paling rentan terjebak isu rasisme atau kabar bohong adalah kita dari dua generasi tersebut, karena sulit rasanya mengusulkan puasa media sosial pada kita semua.

Dengan ikhtiar yang kita lakukan ini, semoga jagat media sosial menjadi lebih sehat dan mencerahkan. Tidak lagi menjadi lahan yang malah menambah kebingungan dan kegamangan masyarakat Indonesia di tengah situasi seperti sekarang. Sebagai media yang memiliki jangkauan pesan yang lebih luas, sudah seharusnya layanan jejaring sosial menjadi alat komunikasi yang baik bagi warganet, demi mempercepat langkah kita keluar dari krisis Covid-19 ini.