Sugik Nur (SN), atau yang ia sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai Gus Nur, belum lama ini mempromosi-temukan teori cocokologi syar’inya untuk meramal kepribadian seseorang berbasis nama. Lucunya, pencocokan aneh itu dimatematisasikan per-huruf dan lalu dikaitkan dengan nomor surah dalam Al-Quran.
Dalam video yang viral di YouTube itu (baca: Siapa yang Berhak Menjadi Pewaris Rasul? Kritik untuk Cocokologi Al-Quran Ala Sugik Nur) dan beberapa akun media sosial lain, Sugik Nur menyebutkan nama Jokowi yang ternyata punya urutan abjad dan jika dijumlahkan akan menghasilkan angka “83”.
Rumusnya pun cukup praktis. Huruf “JOKOWI” tinggal diurutkan saja, misalnya: huruf “J”, ada di urutan ke-10 dalam abjad, huruf “O” ada di urutan ke-15, dan seterusnya. Lalu ketika huruf-huruf itu sudah memiliki angka, semuanya dijumlahkan.
“Arti ‘JOKOWI’ mengandung angka delapan puluh tiga. Sekarang yang handphone-nya ada Al-Quran tolong dijawab: kalau seandainya dijatuhkan ke urutan surat, al-Fatihah, al-Baqarah, dan seterusnya, sampek di angka 83 ini jatuh di surat apa?” tanya SN tanpa ragu kepada jamaah yang terlihat antusias dengan gadget dalam posisi siap mengabadikan momen penting itu.
Sejurus kemudian dia melanjutkan, bahwa nomer 83 jatuh di surat al-Muthafifin.
“Yang artinya kumpulan orang-orang yang CURANG!!!” lanjutnya dan lalu diikuti teriakkan Allahu Akbar!!!
Jujur, saya cukup tertegun dibuatnya dan spontan rentetan pertanyaan spesifik dalam benak pun singgah berlalu: “Apa sejatinya yang ada dalam pikiran dia itu? Sejak kapan menilai orang berdasarkan sesat pikir semacam itu? Pun misalnya itu sahih, bagaimana dengan nama seperti Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemuhwem Osas dan semacamnya yang boleh jadi jika dijumlah, akumulasi angka yang muncul ternyata melebihi kapasitas jumlah surah yang ada dalam Al-Quran?
Apa ndak merasa didiskriminasi?” Duh dek…
Pada titik ini, saya kira masih mending orang-orang yang memiliki penalaran dalam apa yang disebut oleh seorang Maroko bernama Muhammad ‘Abid Al-Jabiri sebagai konstruksi epistemik “al-bayan” yang mengandalkan kajian teks-teks dasar Islam serta riwayat hidup, ucapan, dan tindakan Kanjeng Nabi Muhammad.
Pengetahuan ini, kata Al-Jabiri, bersumber dari Al-Quran dan Hadis-hadis Nabi dan secara definitif bersifat otoritatif, sehingga tidak ada bentuk pengetahuan lainnya yang dapat digunakan untuk mengubah berbagai keputusan dan aturan yang berasal dari analisis tekstualnya yang tepat.
Mumet kan? Ya mumet, wong saya belajar itu aja butuh empat semester og. Belum ditambah musti sowan ke Kiai Ahmad Baso di Ciputat sebagai seorang Jabirian. Tapi bukan ini poin saya.
Pendek kata, meskipun begitu, menurut Al-Jabiri, bentuk penalaran semacam ini (al-Bayan) telah mencapai akhir. Alias sudah paripurna. Move on dong. Move On.
Sebab, jumlah formulasi yang dapat muncul dari penggunaan alat-alat penyelidikan ini terbatas onderdilnya, dan semuanya telah dicapai beberapa abad setelah Islam muncul.
Dalam pengetahuan bentuk ini, juga tidak ada ruang untuk hukum alam atau hukum umum, kecuali hukum-hukum tersebut musti tunduk pada kebenaran lebih tinggi yang melekat pada pemahaman dan pembacaan yang tepat dari Al-Quran dan Sunah Nabi.
Penting untuk dicatat, bahwa akurasi atau ketepatan pembacaan dan pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunah Nabi itu juga tidak semudah menghitung nama J-O-K-O-W-I atau menyematkan gelar Gus.
Alias itu semua meniscayakan kompetensi pelacakan-pelacakan yang cukup kompleks, seperti: ‘Ulumul Quran, Sirah Nabawiyah, dan sebagainya yang semuanya menggunakan Bahasa Arab atau minimal bisa baca kitab kuning dan ditempuh lewat mekanisme Nyantri. Minimal Madrasah Diniyah. Bukan via Google!!!
Masalahnya, dalam konteks lebih luas dan yang jauh lebih penting dari itu semua, sebagaimana disebut oleh Ali A. Allawi (2009) dalam The Crisis of Islamic Civilization, tipe penalaran (al-bayan) semacam inilah yang berlaku pada kelompok berpaham Wahabi pada era Modern seperti sekarang.