Dalam berbagai kesempatan menghadiri pernikahan, kita seringkali mendengar untaian doa “Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.” Harapan yang seringkali disingkat samawa atau samara ini sebenarnya bersumber dari salah satu firman Allah Swt:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum: 21).
Lalu, apa sebenarnya maksud sakinah, mawaddah dan rahmah?
Secara etimologi, kata sakinah memiliki sejumlah arti, antara lain diam sesudah bergerak, tetap, menetap, bertempat tinggal, tidak ada rasa takut, tenang, dan tentram.
Haidar Bagir dalam bukunya “Surga di Dunia, Surga di Akhirat: Kiat-Kiat Praktis Merawat Perkawinan” mengatakan, makna-makna tersebut memberi arti bahwa perkawinan ditujukan untuk membangun kondisi yang membuat seseorang terlindungi, sehingga kemudian merasa damai, tenang, dan tentram, bahkan tak ingin keluar darinya. Maka, ibarat rumah, perkawinan akan menjadikan penghuninya betah dengan pasangannya.
Kemudian, kata mawaddah berasal dari wadda atau wudd (mashdar) yang bermakna cinta. Kata ini memiliki sejumlah arti, di antaranya mahabbah (cinta), nashihah (nasihat), dan shilah (hubungan yang kuat).
Dengan demikian, pernikahan yang berasaskan mawaddah bisa dipahami sebagai ikatan yang dapat melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasihati, dan saling menghargai satu atas yang lain.
Pada kajian bulanan Picnikustik yang diselenggarakan Komuji, Haidar Bagir menyatakan bahwa penggunaan kata cinta hub/wudd ditujukan pada sesuatu yang sempurna. Seperti cinta hamba pada tuhannya yang Maha Sempurna.
Dalam relasi antar manusia, cinta ditujukan pada pasangan lawan jenis, yakni suami kepada istri, atau istri kepada suami. Sebab tatkala kita mencintai seseorang, orang itu akan nampak sempurna di mata kita, sedangkan segala kekurangannya seolah-olah tertutupi.
Mawaddah juga bisa berarti hasrat. Dalam hubungan pernikahan, ada rasa yang meluap-luap pada pasangan, sehingga ada hasrat seksual yang muncul antara suami dan istri. Bahkan sebagian ulama mengartikan mawaddah sebagai hubungan badan atau jima’.
Adapun rahmah adalah kasih sayang yang bisa muncul meskipun pada sesuatu yang tidak sempurna. Seperti kecintaan Allah pada hambanya yang tak sempurna. Kecintaan seorang ibu pada anaknya yang difabel. Begitu pula cinta dua pasangan yang sebetulnya sama-sama memiliki kekurangan.
Oleh karena itu, tatkala pasangan sudah mulai menua dan fisiknya semakin melemah, rasa terhadap pasangan akan tetap ada. Karena rahmah tak dibatasi dengan kesempurnaan. Di sinilah perbedaan antara cinta dan kasih sayang.
“Jangan takut kalau sudah tua kamu tidak punya bekal untuk mencintai pasanganmu lagi. Jangan takut, sebab Allah sudah kasih rahmah, rasa kasih sayang yang tidak tergantung pada kesempurnaan.” ujar Haidar Bagir saat mengisi acara Picnikustik bertema Cinta Islam Cinta di Medco Ampera.
Zaitunah Subhan dalam “Al-Qur’an dan Perempuan” menyebutkan, mawaddah dan rahmah adalah salah satu prinsip yang wajib dijaga suami istri, agar tujuan rumah tangga yang sakinah (tentram dan harmonis) dapat terwujud.
Berdasarkan hal ini, mendoakan calon pengantin agar menjadi keluarga sakinah yang berlandaskan mawaddah dan rahmah sangat dianjurkan. (AN)