
Pada musim semi tahun 1899, Yusuf Diya al-Khalidi, seorang cendekiawan Palestina yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Yerusalem dan anggota parlemen Utsmani, menulis surat tujuh halaman yang ditujukan kepada pemimpin gerakan Zionis, Theodor Herzl. Ia menulis bukan sebagai musuh, tetapi sebagai sesama manusia yang memahami penderitaan Yahudi di Eropa.
Dalam surat itu, ia mengakui bahwa secara historis, tanah Palestina memang memiliki ikatan spiritual dengan kaum Yahudi.
“Siapa yang dapat membantah bahwa Palestina adalah tanahmu secara historis?” tulisnya.
Namun, surat itu segera berubah nada. Ia memperingatkan: Palestina bukanlah tanah kosong. Ia telah dihuni oleh rakyat yang tidak akan dengan sukarela menyerahkan tanah airnya.
Jawaban Herzl datang cepat dan dingin.
Ia menepis eksistensi rakyat Palestina dan berargumen bahwa kolonisasi Yahudi akan membawa manfaat bagi semua. Dalam kata-kata yang kemudian menjadi pola tetap dalam retorika kolonial, Herzl menulis bahwa penduduk asli akan ditingkatkan taraf hidupnya oleh kedatangan orang-orang Yahudi yang membawa kejeniusan dan modal.
Yang tidak ditanggapi Herzl adalah kebenaran yang semenjana: tanah ini sudah dihuni, dihuni oleh orang-orang yang punya nama, bahasa, ingatan, dan sejarah.
Di sinilah perang seratus tahun terhadap Palestina bermula: bukan dengan peluru, tapi dengan penghapusan kalimat. Sebuah surat telah dikirim. Namun yang diterima bukanlah jawaban, melainkan penyangkalan.
Dimulai dari Kalimat
Sejarawan Rashid Khalidi dalam bukunya The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917-2017 (Metropolitan Books, 2020), mengisahkan bahwa tatkala Deklarasi Balfour diumumkan pada 1917 oleh Pemerintah Inggris, kalimatnya hanya terdiri dari enam puluh tujuh kata. Namun efeknya lebih menghancurkan tinimbang artileri: “… mendukung pendirian tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina…”
Kalimat itu mengandung penyangkalan paling brutal: penduduk mayoritas Palestina yang 94 persen bukan Yahudi disebut hanya sebagai “komunitas non-Yahudi”. Tak ada lema “Palestina”, tak ada “bangsa Arab”. Hanya ketiadaan yang sengaja.
Dalam narasi kekaisaran, kekuasaan dibangun bukan hanya dengan senjata, tapi dengan tata bahasa. Dan dalam tata bahasa kolonial, yang tidak disebut tidak ada. Maka, rakyat Palestina pun dilucuti identitasnya di atas kertas.
Sambil mengusung janji modernitas, Inggris menjadi tangan yang menyuapi kolonialisme pemukim. Pasukan Inggris mengatur imigrasi Yahudi, melindungi para kolonis dari protes lokal, dan memberi legitimasi hukum pada pencaplokan tanah.
Zionisme yang semula hanyalah ide menjadi proyek negara, lengkap dengan anggaran, tentara, dan birokrasi.
Kolonialisme pemukim tidak selalu datang dengan tentara. Kadang ia datang lewat arsip. Lewat atlas yang mengganti nama desa. Lewat ensiklopedia yang menghilangkan bahasa Arab. Lewat museum yang menghapus potret keluarga. Palestina, yang sejak berabad-abad dihuni oleh petani, sufi, imam, dan pedagang rempah, kiwari dijelaskan sebagai “tanah kosong”.
Narasi itu berakar dari slogan kolonial tua: “A land without a people for a people without a land.” Kalimat ini dipakai untuk membenarkan masuknya puluhan ribu imigran Eropa yang membawa impian kenegaraan, tetapi juga membawa logika apartheid: bahwa hak atas tanah hanya dimiliki oleh mereka yang membawa kitab dan senapan.
Dalam setiap konflik, tubuh menjadi arsip. Tubuh-tubuh yang kelaparan di Yerusalem selama Perang Dunia I, mayat yang membusuk tanpa pemakaman di jalanan Jaffa, anak-anak yang tumbuh di kamp pengungsi tanpa akta kelahiran: semua adalah dokumen yang ditolak oleh sejarah resmi.
Ketika Inggris menguasai Palestina, mereka tidak hanya membawa hukum dan jalur kereta. Mereka membawa struktur yang memungkinkan penghapusan: sertifikasi tanah yang mengabaikan hak adat, sistem pengadilan yang mengutamakan bahasa asing, dan hukum pertanahan yang bisa mencabut kepemilikan turun-temurun.
Pintu Belakang Diplomasi
Palestina adalah salah satu dari sedikit wilayah jajahan yang dijanjikan pada tiga pihak sekaligus: kepada Arab lewat korespondensi Husayn-McMahon, kepada Prancis melalui Perjanjian Sykes-Picot, dan kepada Zionis melalui Deklarasi Balfour. Satu tanah, tiga janji. Namun hanya satu yang diwujudkan.
Di balik meja-meja kayu ek diplomasi imperium, peta-peta dipotong tanpa suara rakyat. Delegasi Palestina tidak pernah diundang ke Konferensi Versailles. Tidak ada tanda tangan mereka di Liga Bangsa-Bangsa. Dan dalam setiap naskah resolusi, nama mereka selalu diganti menjadi “komunitas non-Yahudi”. Penolakan itu bukan hanya diplomatik, tapi ontologis: penolakan atas keberadaan mereka sebagai manusia politik.
Logika kolonial selalu menghindari lema “pengusiran”. Ia lebih suka kata “transfer”. Lebih sopan, lebih administrasi. Herzl pernah menulis di jurnal pribadinya bahwa rakyat miskin Palestina dapat dipindahkan “dengan lembut” ke negara liyan, dengan iming-iming pekerjaan. Inilah awal dari politik pemindahan diam-diam.
Tahun 1948, lebih dari 700.000 orang Palestina diusir dari rumah mereka dalam Nakba. Rumah-rumah ditandai, dirampas, dan dikunci oleh negara baru yang lahir. Yang tertinggal hanyalah kunci pintu yang tergantung di leher para pengungsi. Kunci itu bukan hanya benda. Ia adalah dokumen sejarah.
Lihatlah ke museum-museum Israel dan Barat. Anda akan menemukan peninggalan arkeologis dari Yerikho dan Nablus, tetapi tidak ada peta yang menyebutkan Qalandiya atau Deir Yassin. Sejarah Palestina dibongkar menjadi artefak mati yang dapat dijual, tapi tidak dapat dihidupi.
Narasi popular, mulai dari film Exodus hingga pidato presiden Amerika, membentuk imajinasi global bahwa tanah Palestina ditemukan, bukan dihuni. Dalam dunia ini, rakyat Palestina menjadi gangguan naratif. Mereka terlalu nyata, terlalu hidup, terlalu bersaksi.
Perlawanan Palestina bukan hanya intifada batu dan gas air mata. Ia juga terjadi di kelas sastra, di meja redaksi, di aula universitas. Mahmoud Darwish menulis, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali kata-kata. Maka kami menulis untuk bertahan hidup.” Kata-kata menjadi senjata, bukan karena kekuatannya, tetapi karena ketakutan musuh terhadap maknanya.
Anak-anak menulis puisi dengan krayon di tembok-tembok sekolah di kamp-kamp pengungsi. Mereka menggambar rumah yang tidak pernah mereka tinggali, dan pohon zaitun yang tak pernah mereka panen. Tapi mereka menyebutnya “rumah”. Ingatan adalah satu-satunya bentuk kepemilikan yang tidak bisa digusur.
Perang terhadap Palestina bukanlah perang yang dimulai dan diakhiri oleh tank. Ia dimulai dari kata, dari penghapusan nama, dari pendiaman suara. Ia adalah kolonialisme yang berbicara dalam eufemisme: bukan pengusiran tapi relokasi, bukan penjajahan tapi pembangunan.
Akan tetapi, rakyat Palestina tetap bertahan. Mereka bertahan dalam puisi, dalam arsip keluarga, dalam nama anak-anak mereka, dan dalam surat yang belum pernah dijawab. Dalam dunia di mana sejarah ditulis oleh pemenang, The Hundred Years’ War on Palestine berdiri sebagai referensi dari yang tersingkir: sebuah catatan kaki yang menolak diam.
Dalam setiap peta yang menghapus nama-nama mereka, akan ada tangan yang menggambar ulang. Dalam setiap surat yang diabaikan, akan ada yang membacanya ulang. Dan dalam setiap tanah yang dilarang mengingat, akan tumbuh pohon zaitun yang berbisik kepada dunia: “Kami pernah di sini. Dan kami masih di sini.”