Seputar Pengucapan Niat Puasa [Bag. II -Habis]

Seputar Pengucapan Niat Puasa [Bag. II -Habis]

Seputar Pengucapan Niat Puasa [Bag. II -Habis]

Kekayaan dan keluasan bacaan seseorang akan mengarahkan dan membentuk pemahaman yang proporsional. Salah satunya adalah dalam persoalan mengucapkan niat dengan lafal “nawaitu”. Sejumlah kalangan menilai bahwa mengucapkan niat dengan “Nawaitu” adalah bid’ah. Bahkan dalam keterangan lanjutannya disebutkan bahwa pelakunya layak di-ta’zir dan diingatkan dengan keras. Benarkah demikian? Tulisan ini berusaha akan sedikit mendudukkannya secara seimbang.

Kajian komparatif tentang pengucapan niat dengan lisan

Dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah, sebuah karya ensiklopedia fikih, disebutkan bahwa mayoritas ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum pengucapan niat dalam ibadah.

* Mayoritas ulama menyatakan bahwa mengucapkan niat (dengan catatan: asalkan tidak mengeraskannya sehingga mengganggu orang lain) adalah lebih utama. Karena dengan demikian dia telah menyengaja dalam hati sekaligus mengucapkannya dengan lisan.

* Sebagian ulama (hanya sebagian kecil saja), menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan lisan adalah makruh, meskipun diucapkan secara pelan.

Setidaknya ada dua kemungkinan alasan kemakruhan hal ini:

Pertama, adakalanya pengujar pendapat ini berpendapat bahwa pengucapan niat adalah hal bid’ah, karena tak ada keterangannya dalam Qur’an dan sunnah.

Kedua, ada kemungkinan bahwa dengan pengucapan lisan ini terkadang seseorang lupa dari kesengajaan niat dalam hati, yang sehingga ibadahnya batal.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (murid Ibnu Taimiyyah) berkata: “Rasulullah SAW saat mendirikan shalat, beliau mengucapkan Allahu akbar, dan beliau tidak mengucapkan apapun sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sedikitpun, tidak juga mengucapkan “Usholli sholata …. mustaqbilal qiblati arba’a roka’atin imaman/ ma’muman, tidak pula mengucapkan , “ada’an / qodlo’an” atau fardlu waktu.

Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah meriwayatkan kesepakatan para imam tentang tidak disyariatkannya mengeraskan (sekali lagi, mengeraskan, bukan sekedar melafalkan) niat dan mengulang-ulangnya. Ia berkata, “Orang yang mengeraskan niat layak untuk dita’zir setelah diperingatkan, apalagi jika sampai mengganggu orang lain atau dia mengulang-ulangnya”. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah).

Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa-nya memberikan penjelasan cukup luas pembahasan seputar pelafalan. Berikut ringkasan pernyataannya:

* Dalam masalah kesunnahan pelafalan niat (yakni melafalkannya dengan pelan), para ulama’ berbeda dalam dua pendapat :

  1. Pendapat pertama, disunnahkan melafalkan niat, karena hal itu lebih mengukuhkan. Pendapat ini didukung kalangan ulama’ Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
  2. Pendapat kedua, diungkapkan oleh kalangan ulama’ Malikiyyah dan sebagian Hanabilah, tidak disunnahkan melafalkan niat, karena hal itu adalah bid’ah, tidak pernah ada riwayat dari Rasulullah SAW, atau dari para sahabat, juga tidak ada perintah dari Rasul kepada umatnya, tidak juga diketahui dari kaum muslimin. Andaikan hal itu disyariatkan, niscaya Rasul tidak mengabaikannya. Inilah yang oleh Ibnu Taimiyyah dinyatakan sebagai pendapat paling sahih (benar).

Menurut Ibnu Taimiyyah, niat dengan pengucapan tidaklah diperlukan. Karena niat pastilah mengikut pada pengetahuan. Maksudnya, jika seseorang tahu bahwa dia akan melakukan sesuatu, pastilah ada niat di sana. Ibnu Taimiyyah memberikan catatan bahwa pengucapan niat dengan suara keras dan diulang-ulang, layak untuk diganjar ta’zir dan diperingatkan, karena mengganggu orang lain. Demikian pendapat Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa-nya.

Mari kita bandingkan pendapat kalangan Hanabilah sendiri (yang mana Ibnu Taimiyyah mengaku sebagai penganut madzhab ini) dan merujuk ke sumber referensi madzhabnya. Dalam Al-Inshâf karya ‘Alâuddin Abul Hasan bin Sulaiman al-Mardawi (seorang pakar madzhab Hanbali yang dengan kitabnya ini beliau memetakan secara akurat pendapat madzhab ini), terdapat ungkapan sebagai berikut, “Tidak disunnahkan mengucapkan niat menurut salah satu dari dua wajah (versi pendapat). (Ketidaksunnahan) ini adalah al-manshûsh (ungkapan tekstual) dari Imam Ahmad, sebagaimana diungkap Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, dia berkata, “inilah yang benar”. Wajah (versi pendapat) kedua, disunnahkan mengucapkan niat secara pelan dan inilah al-madzhab (yang menjadi pegangan madzhab Hanbali). Dan inilah yang menjadi prioritas pendapat kitab Al-Furu’, direkomendasikan oleh Al-‘Ubaidan, kitab At-Talkhîsh, Ibnu Tamim, dan Ibnu Razîn. Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa inilah yang lebih utama menurut para ulama mutaakhirin (belakangan, kebalikan dari mutaqaddimin). Demikian penjelasan dalam kitab Al-Inshâf.

Dari kalangan Malikiyyah, Al-Adwi dalam Hasyiyah-nya menyatakan bahwa pendapat populer dari madzhab Maliki adalah bahwa meninggalkan pengucapan niat itu lebih utama, karena lisan bukan tempatnya niat. Akan tetapi At-Tilmisâni, ulama’ Malikiyah yang lain, menyatakan bahwa pengucapan niat adalah lebih utama.

Sedangkan dari kalangan Hanafiyyah, kitab Raddul Mukhtar karya Ibnu Abidin cukuplah sebagai gambaran bahwa madzhab ini menyatakan bahwa pengucapan niat adalah mandub (hukum mandub ini menengah-nengahi antara pendapat yang menyatakan sunnah dan makruh, karena memang tidak diriwayatkan dari generasi salaf).

Walhasil, dalam mayoritas pendapat madzhab, pengucapan niat adalah sunnah, atau mandub atau dianjurkan, sebagai penghadir kemantapan hati. Hanya sebagian kecil saja yang menganjurkan untuk meninggalkannya, alias hukumnya makruh. Penilaian bid’ah, sejauh pengamatan dalam berbagai referensi hanyalah dilontarkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah.

PENTING :

Selain alasan teknis, agar lebih mengukuhkan kemantapan hati, talaffudh (pengucapan) niat dalam puasa dan ibadah-ibadah lain (selain haji) juga didasari penalaran analogi (qiyas), yakni diqiyas-kan pada niat haji (ihram) yang disunnahkan untuk melafalkannya, sebagaimana hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:

إذَا تَوَجَّهْتُمْ إلَى مِنًى فَأَهِلُّوا بِالْحَجِّ

Jika kalian bertolak menuju Mina, maka keraskanlah suara untuk haji (yakni niat ihram dan talbiyah).

Demikianlah sekelumit kajian komparatif tentang pengucapan niat. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan

  1. Mausu’ah al-Fiqhiyyah
  2. Fatawa Kubra li Ibni Taimiyyah

*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Kediri