Seperti Apa Politik Islam Itu? Generasi Milenial Harus Melek Sejarah

Seperti Apa Politik Islam Itu? Generasi Milenial Harus Melek Sejarah

Seperti Apa Politik Islam Itu? Generasi Milenial Harus Melek Sejarah
Pict by TheCounterJihadReport

Di sebuah postingan yang tidak sengaja saya scroll di mesin pencarian Instagram, sebuah akun mempertanyakan slogan yang dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid: Islam Yes, Partai Islam No! Baginya Islam tidak bisa dilepaskan dengan politik karena sejarahnya Nabi Muhammad SAW pun berpolitik. Argumentasi ini cukup beralasan meskipun tidak bisa ditelan mentah-mentah.

Bagi pemuda pemudi yang baru mengenal Islam tentu sangat berapi-api menyampaikan gagasan politik Islam ini. Di kampus, beberapa organisasi mahasiswa menyatakan diri sebagai gerakan politik Islam. Ada banyak variannya mulai yang Islamis-Nasionalis seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, hingga Islamis-Transnasionalis seperti HTI. Gerakan-gerakan ini tidak bisa dipahami secara generalisir atau diidentikkan dengan gerakan-gerakan yang ada di belahan dunia, terutama pelaku teror. Sebab polanya berbeda-beda meskipun membawa nama yang sama, yaitu Islam.

Kegalauan para pemuda yang biasa disebut generasi millenials ini bisa dimengerti. Ada beberapa faktor yang membuat mengapa mereka begitu getol menyuarakan Islam sebagai alternatif. Pertama, kalangan pemuda ini merasa frustasi melihat berbagai gejolak politik yang ada, terutama pasca reformasi. Reformasi, meskipun berhasil menumbangkan rezim otoriter ternyata belum memberi jawaban yang memuaskan.

Kedua, mereka menilai bahwa politik Islam merupakan perintah agama. Sementara demokrasi yang berasal dari kata demos dan kratos merupakan sistem dari Barat yang jauh dari nilai-nilai Islam. Ketiga, adanya romantisme sejarah yang diperoleh melalui bacaan-bacaan buku sejarah di sekolah-sekolah. Karenanya mereka berhasrat untuk mengembalikan era keemasan itu dengan pendekatan yang tidak bisa dikompromi: khilafah. Atau dalam slogan yang diperjuangkan kelompok lain: NKRI Bersyariah.

Alasan pertama cukup masuk akal karena realitas politik di Indonesia begitu menjenuhkan. Keributan yang terjadi bukan hanya di level pencari kekuasaan, tetapi merembet ke masyarakat awam yang sebenarnya ingin hidup secara sederhana. Siapapun pemimpinnya yang penting hidup harmonis dan rukun dengan tetangga. Namun saat ini rakyat diseret-seret untuk kepentingan para pencari kuasa sehingga gesekan yang berujung pada kebencian sudah tersebar di masyarakat. Berita mengenai pemindahan paksa sebuah makam karena beda pilihan politik beberapa waktu silam adalah contoh betapa kebencian sudah merasuk sedemikian dalam.

Kedua, benarkan sistem demokrasi jauh dari Islam? Pernyataan bahwa demokrasi sistem dari Barat yang otomatis tidak sesuai dengan Islam cukup menjebak. Karena jika ditanyakan seperti apa sistem Islam itu, akan terjadi banyak perdebatan. Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan tools bagaimana bentuk dari negara Islam itu. Para sahabat juga demikian. Jika merujuk sistem Islam pada masa kekhalifahan Utsmani sebagaimana sering dipakai kelompok pro-khilafah, ya sangat tidak nyambung. Kekhalifahan Utsmaniyyah dibangun berdasar sistem monarki. Sistem monarki, sama seperti demokrasi, sudah ada jauh sebelum Islam hadir. Undang-undang di kekhalifahan Utsmani ini yang kemudian merujuk pada nilai-nilai Islam.

Jika sistem Islam adalah sistem yang bernafaskan nilai-nilai Islam, apakah tidak cukup dengan kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan semua undang-undang yang ada di dalamnya disusun oleh sebagian besar orang-orang yang beragama Islam dan diilhami pula dengan ajaran-ajaran Islam? Bahkan falsafah negara dan konstitusi awalnya disusun oleh para cendikiawan yang berkolaborasi dengan para ulama. Apapun bentuk negaranya, selama ramah dan sesuai dengan syara’, maka bisa disebut sebagai negara Islam (darus salam).

Ketiga, memahami sejarah Islam tidak bisa dilakukan secara sepotong-sepotong. Di balik luar biasanya sejarah yang disajikan di buku-buku sekolah, di sana tidak menampilkan pandangan kritis mengenai sejarah tersebut. Pergantian rezim monarki yang dimulai dengan Bani Umayah ke Bani Abbasiyah lalu ke dinasti-dinasti lainnya seperti Fatimiyah, Utsmaniyah, Mughal, Andalusia dan lain-lain melalui sejarah yang begitu panjang dan berdarah. Semua mengatasnamakan Islam. Masih ingat bagaimana dua Khulafaur Rasyidin terakhir dibunuh oleh umat yang juga mengatasnamakan Islam?

Di sinilah pentingnya memaknai ulang berbagai peristiwa sejarah yang memang ditulis sebagai hikmah bagi generasi penerus. Ketiadaan aturan terperinci dari Nabi Muhammad SAW tentang negara Islam membuka peluang bagi para penerusnya untuk mencari jalan terbaik mengelola umatnya. Sebab antara satu generasi tentu berbeda dengan generasi lainnya.

Hal ini seperti yang diutarakan oleh Khalifah Ali ibn Abi Thalib ketika ada rakyat yang bertanya, ‘mengapa di masa Abu Bakar dan Umar keadaan begitu jernih, sementara pemerintahanmu dan pemerintahan Utsman begitu keruh?’. Pertanyaan ini dijawab woles oleh Khalifah Ali ibn Abi Thalib: “Karena rakyat yang dipimpin oleh Abu Bakr dan ‘Umar itu adalah orang-orang seperti aku dan ‘Utsman, sedangkan rakyat yang kupimpin saat ini adalah orang-orang semisal kamu dan yang sepertimu.”

Contoh-contoh di atas sudah membuktikan bahwa Islam bukanlah sebuah bentuk sistem yang baku, melainkan nilai yang bisa masuk ke berbagai sistem yang dianggap paling tepat dalam mengelola sebuah masyarakat. Ketika masyarakat sebuah tempat bisa dikelola dengan monarki, maka Islam bisa menginspirasi dengan nilai-nilainya, laiknya di era dinasti-dinasti dan negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dll. Ketika masyarakat di sebuah tempat bisa dikelola dengan demokrasi, maka Islam bisa menjadi pedoman yang membawa masyarakat dalam kemaslahatan. Indonesia, Turki, Mesir, dan berbagai negara Islam lain sudah mempraktikkannya.

Karena itu generasi millenials tak perlu silau dengan klaim politik Islam sebagaimana dikemukakan orang-orang yang tengah mencari kuasa. Orang-orang yang benar-benar memperjuangkan Islam akan menggunakan Islam sebagai nilai, bukan semata-mata bentuk yang mudah dimanipulasi. Nilai ini bisa masuk ke semua wadah, entah itu partai politik yang membawa nama Islam atau pun tidak.

Untuk itu saya cukup sedih ketika saat ini Islam begitu mudah dipolitisasi demi kekuasaan. Tidak cukup membawa nama Islam, orang-orang ini menebarkan caci maki dan kebencian dibalut dengan sentimen agama yang luar biasa mengerikan. Tak perlu saling tuduh siapa yang paling sialan antara pendukung partai satu dengan yang lainnya. Sebab sekali kau menuduh dengan beragam hujatan, di situlah kau berperan sebagai agen penebar kebencian. Semoga kita selalu mendapat lindungan dari Allah dan selalu diberi kewarasan dalam bertindak. Amin.

Wallahua’lam.