Saya tak hendak berkisah tentang sosok-sosok besar seperti Zakiyah Darajat atau Musdah Mulia atau Alissa Wahid yang dikenal luas sebagai Ustadzah, intelektual dan aktivis Muslimah Indonesia. Saya hanya akan berkisah tentang seorang Ustadzah, seorang Bu Nyai biasa, yang tinggal di sebuah pelosok desa di Jawa Timur.
Jika Anda membayangkan kehidupan seorang Bu Nyai dalam lingkungan keluarga santri-patriarkhis, di mana ia digambarkan sebagai sosok perempuan pasif, pendiam, tertutup, tidak pernah keluar rumah, dan tidak memiliki inisiatif apapun kecuali apa yang dikehendaki sang kiai yang menjadi suaminya. Maka saya ingatkan bahwa gambaran tersebut sama sekali tidak merepresentasikan kehidupan seorang Bu Nyai sepenuhnya. Bahkan di dalam keluarga pesantren yang sangat tradisional pun kita akan dengan mudah menemukan perempuan-perempuan out of the box.
Bu Nyai kita ini tidak lulus sekolah dasar. Dia tidak memiliki buku-buku bacaan sebagaimana yang biasa dibaca para aktivis atau intelektual. Jika ada yang dibacanya setiap hari, itu adalah al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh dasar karena ia harus mengajari para santrinya setiap habis maghrib. Bersama dengan suaninya yang seorang kiai, ia hidup pas-pasan. Untuk menyambung ekonomi keluarga, sang suami mengolah sepetak sawah dan Nu Nyai jualan jajanan di SD dekat rumah.
Pasangan ini memiliki lima orang anak (empat perempuan dan seorang anak laki-laki), jumlah besar untuk ukuran perekonomian keluarga ini. Sekalipun sudah memiliki lima orang anak, sang suami tidak memiliki rencana yang jelas untuk berhenti punya anak atau menambah. Kalimat yang tepat adalah suami tidak peduli apakah si Bu Nyai hamil lagi atau tidak.
Dalam relasi suami-istri keluarga tradisional-patriarkhis, sangat mudah menemukan bahwa anak sepenuhnya menjadi urusan istri. Sakitnya melahirkan, beratnya menyusui, pengasuhan anak-anak saat kecil hingga pendidikan anak nyaris sepenuhnya ada di tangan ibu. Gambaran ini juga terjadi pada Nu Nyai kita ini.
Di hadapkan pada situasi seperti ini, dia memutuskan untuk tidak lagi menambah anak. Yang mengagetkan adalah ketika saya tanya apakah keputusannya ikut KB atas inisiatif sendiri ataukah perintah suami, dengan tegas dia menyatakan bahwa itu atas inisiatifnya. Dia memang tidak minta ijin secara “resmi” ke suaminya, namunya tindakannya mengkonsumsi pil KB yang dilakukan secara terbuka di depan suaminya adalah sebuah pemberitahuan tak langsung.
Baginya, keputusan punya anak atau tidak adalah keputusan yang harus mempertimbangkan tubuh dan kerelaan seorang istri. Ketika seorang istri yang harus mengandung dan melahirkan serta dihadapkan pada tugas-tugas tradisional pengasuhan anak, ada batas yang harus dipertimbangkan. Dan, pertimbangan itu tidak memiliki makna jika mengabaikan suara perempuan.
Memang, jika diukur dari perjuangan keadilan gender yang dengan keras disuarakan para aktivis perempuan, tindakan Bu Nyai itu ibarat jentikan kuku. Namun jika kita mempertimbangkan lingkungan sosialnya dan tingkat pendidikannya, sikap dan pandangan Bu Nyai tersebut adalah sebuah lompatan yang luar biasa.
Dari mana datangnya kesadaran Bu Nyai itu? Dari kisah yang dituturkannya ke saya, dia hanya mencoba jujur pada dirinya dan membiarkan akal sehat dan nuraniya berbicara. Pada akhirnya, keadilan gender atau apapun namanya adalah kesadaran mendalam akan pembebasan manusia dari penindasan, dengan menempatkan perempuan sebagai manusia lemah dalam konteks keluarga patriakhis. Buku memang befungsi untuk memperkaya pengetahuan. Namun setiap akal sehat dan nurani sanggup mengenali ketidakadilan. Kejujuran dan keberanian dalam melihat realitas akan menuntun setiap orang untuk menegakkan keadilan dengan caranya masing-masing.
Kisah fenomenal dari Bu Nyai kita ini adalah keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya. Seluruh anaknya mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Di saat hampir semua anak perempuan di lingkungannya tidak mendapatkan kesempatan untuk sekolah, dua anak perempuannya menyelesaikan sekolahnya hingga SLTA, dua anak perempuan yang lain bergelar sarjana, dan anak laki-laki terakhirnya telah bergelar doktor.
Ketika saya bertemu dengan putra-putri Bu Nyai ini, semua mengakui bahwa ibunyalah yang mengurus seluruh pendidikannya. Ayahnya nyaris tak pernah sekalipun bertanya tentang sekolahnya, sekalipun itu tidak berarti bahwa ayahnya tidak mempedulikannya.[]