Hari minggu 25 Agustus kemarin, saya diundang Agus Mulyadi untuk menonton film yang diadaptasi dari bukunya. Bercerita tentang usaha dan kesehariannya dulu bersama Kalis Mardiasih
. Film ini membuat saya tertawa lepas, menangis haru, dan pulang dengan dada yang penuh.
Butuh empat hari untuk mencerna film itu dan menulis esai pendek ini. Saya merasa perlu berjarak untuk bisa menilai dengan adil apakah Seni Memahami Kekasih film yang bagus, atau ia jadi bagus karena saya sayang Agus dan Kalis.
Dengan penuh pertimbangan, sikap rendah hati, sikap jatmika, saya menyatakan bahwa film Seni Memahami Kekasih memang indah, lucu, dan terpuji adanya. Ia bisa ditonton oleh siapapun, baik kenal dengan Agus Kalis, atau tidak. Karena sebagai film ia ditulis dengan baik dan dibuat dengan menawan.
Saya merasakan hal yang teduh ketika menonton ini, perasaan seperti lagi nongkrong di angkringan sambil ngeteh nasgitel bareng konco lawas yang diajak mengingat cerita remuk ketika masa muda.
Sutradara Jeihan Angga berhasil menangkap esensi buku karya Agus Mulyadi, tapi kali ini dalam bentuk visual yang bikin hati hangat dan bibir tersenyum lebar.
Intinya sukses menghadirkan kisah cinta Agus dan Kalis yang tak hanya lucu tapi juga menyentuh.
Elang El Gibran dan Febby Rastanty, yang memerankan Agus dan Kalis, terasa sangat dekat, seperti temen kos yang sering main ketika sedang pacaran. Kadang ya lucu, kadang ya pengen sledding rupane.
Apalagi dialog Jawa yang tidak kaku, saya seakan diajak untuk nyerocos bareng mereka. Humor-humor dalam film ini juga tak kalah segar, bagai gojek kere yang biasa kita temukan di warung kopi model Blandongan atau Mato (dua warung kopi rakyat di Jogja).
Sinematografi sederhana tapi pas. Tak perlu efek visual yang berlebihan, cukup dengan sentuhan cahaya hangat, kita sudah dibawa ke dunia yang familiar—seperti musim hujan di Jogja yang ra umum, atau pagi di warung soto langganan di tengah pasar yang ramai orang.
Hal-hal haru yang membuat saya mbrebes mili adalah mendengarkan curhatan mereka tentang cinta, pernikahan, dan segala lika-likunya.
Ini bukan sekadar film tentang cinta, tapi juga tentang perjuangan, optimisme, dan bagaimana cinta orang biasa bisa terasa begitu istimewa.
Seringkali dalam film-film Indonesia kontemporer, kita disajikan cinta yang megah, ibukota, modern, dan dingin. Dalam film Seni Memahami Kekasih, cinta dibuat sepele, murah, dekat, relatable, dan mudah dipahami. Ia cinta yang kita temui di sudut-sudut gang perkampungan kabupaten yang harus bersiasat menghadapi UMR yang rendah.
Tapi film ini juga tak melulu bicara cinta. Seni Memahami Kekasih juga membahas tentang rasa pilu.
Kemiskinan struktural, problem kekerasan yang nyata tapi kita pura-pura abaikan, serta perasaan yang tak berdaya berhadapan dengan nasib yang kelewat brengsek. Meski demikian, dua karakter dalam film ini masih berdiri tegak, memelihara harapan meski babak belur.
Jadi, siap-siaplah tertawa, merenung, dan mungkin sedikit menitikkan air mata saat “Seni Memahami Kekasih” tayang di bioskop mulai 5 September 2024 kemarin.
Ingat, ini bukan sekadar tontonan, tapi juga ajakan untuk merayakan cinta yang sepele tapi nggrantesi.