Di sebuah negeri antah-berantah, tersebarlah sebuah poster loka-karya poligami bersama Coach Anu. Selain berprofesi sebagai Coach, si Anu itu ternyata juga menyandang gelar sebagai ustadz. Yang lebih mengejutkan, loka-karya itu ternyata berbayar. Harganya pun tidak murah, kendati terdapat diskon untuk sepuluh pendaftar pertama.
Rupanya, topik poligami memang tak pernah habis untuk diperbincangkan. Jika dulu saya mengenal istilah poligami sebagai diskursus, sekarang ia telah bermutasi menjadi komoditi.
Di sini, saya tidak mengatakan bahwa praktik poligami itu adalah terlarang. Mengapa?
Tentu saja karena dalam diskursus keagamaan poligami mendapat ruang legitimasi yang cukup sahih. Dalilnya pun benderang. Selain itu, adalah fakta sejarah juga bilamana Nabi Muhammad dan sejumlah sahabat Beliau SAW memiliki istri lebih dari satu.
Meski begitu, apakah kemudian hal itu bisa menjadi landasan dalam menggelar kampanye poligami lewat panggung seminar-seminar berbayar? Entahlah.
Tapi nyatanya, seminar bertajuk poligami pastilah menjadikan fakta sejarah itu sebagai bandul pembenaran.
Dan, dari sekian gegap gempita dalil tentang poligami, ada satu yang bagi saya kelewat menggelikan. Narasinya kira-kira begini:
“Poligami adalah level tertinggi dari syariat pernikahan”
Rupanya, dibayangkan bilamana menikah itu adalah sebuah karir yang meniscayakan sebuah hierarki. Dipikir, semakin banyak istri, maka semakin ia kaffah dalam berislam.
Masalahnya adalah begini, sejak kapan syariat menikah itu menjadi kompetisi? Apakah jika seorang yang beristri empat, misalnya, akan lebih besar peluang masuk surganya dari mereka yang monogami?
Memang, kata kunci dalam laku poligami adalah keadilan. Itu kata al-Quran. Dan, adil itu juga relatif.
Tapi, sebelum kita berdebat soal sebarapa jauh batas adil itu, sudahkah kita merenungkan untuk apa ayat 3 Surah An-Nisa itu ada? Apakah ia diturunkan sebagai lampu hijau buat para laki-laki memadu istri? Atau sebaliknya, jangan-jangan ia turun untuk membatasi dari yang tak terbatas menjadi beberapa saja?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu, Anda bisa simak ulasannya lebih detail di sini.
Meski begitu, sebagai pengantar, saya beri sedikit gambaran.
Jadi begini, pertama-tama jangan bayangkan kalau zaman Nabi itu segebyar hari ini. Di masa itu, orang memiliki istri lebih dari satu adalah biasa. Mereka bahkan tidak perlu repot-repot ikut seminar berbayar. Mengapa?
Jelas karena peradaban sebelum Nabi Muhammad diutus adalah era jahiliyah. Bahkan, saking jahiliyahnya, SOP pernikahannya tidak segambreng ngurus berkas di KUA. Ringkasnya, kalau seorang laki-laki pingin kawin ya tinggal kawin saja.
Di titik ini martabat kaum perempuan menjadi pertaruhan. Mereka tidak lagi dipandang sebagai seorang yang berdikari di atas hak-haknya sendiri.
Itulah mengapa terdapat satu riwayat yang diamini kebanyakan mufassir berkenaan dengan Q.S. an-Nisa ayat 3, yakni sehubungan dengan seorang wali anak yatim (perempuan).
Ceritanya, terdapat seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita yatim. Hanya saja, wanita yatim itu ternyata berada dalam suakanya. Dengan kata lain, laki-laki itu sebenarnya menyandang status sebagai wali dari si perempuan yatim tersebut.
Dan, telah menjadi tradisi orang Arab pra-Islam menikahi wanita yatim yang ada di bawah pengampuannya. Apesnya, bil khusus dalam kasus ini, alasan untuk menikah itu hanya karena kecantikan dan hartanya belaka.
Lebih dari itu, orang Arab pra-Islam tidak memberikan mahar ketika menikahi anak yatim tersebut. Padahal, menikahi anak yatim dengan tidak memberikan hak-haknya secara adil, termasuk mahar, sama dengan menikahi wanita dengan jalan haram.
Berikut kurang lebih rekaman versi al-Bukhari:
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij berkata; Telah mengabarkan kepadaku Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari Aisyah radliallahu anha bahwa seorang laki-laki memiliki seorang wanita yatim. Lalu dia menikahinya karena wanita itu memiliki kebun kurma. Hingga dia di suruh menjaga kebun itu yang sebenarnya dia tidak mencintai wanita itu. Maka turunlah ayat: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya…..” (An-Nisa: 3). Aku mengira Hisyam berkata; Wanita itu dia sertakan dalam mengurus kebun kurma dan hartanya.”
Di titik ini, kiranya menjadi jelas bahwa Q.S. an-Nisa ayat 3 itu turun dengan semangat membatasi, dan di atas itu semua adalah sebagai alternatif mengatasi situasi darurat.
Anda bisa bayangkan, bagaimana jadinya jika Nabi SAW saat itu tiba-tiba memberlakukan syariat larangan poligami secara mutlak? Tentu saja orang akan batal respect kepada Islam. Mengapa? Karena memiliki lebih dari satu istri merupakan tren kala itu.
Kiwari, situasi sosialnya telah jauh berbeda. Suwer!!
Dulu, orang memiliki istri lebih dari satu adalah berangkat dari situasi dan pertimbangan yang kompleks. Sekarang, sebagian orang poligami karena diam-diam mengikuti seminar berbayar.
Dulu, orang memiliki istri lebih dari satu karena yang dihadapi adalah situasi di mana perempuan merupakan kelompok rentan, sehingga dengan menikahinya boleh jadi akan memberikan keamanan.
Sekarang, sebagian laki-laki menempuh poligami karena ingin menyalurkan hasrat seksualnya yang kadung meledak-ledak, dan tak jarang yang terjadi justru kekerasan dalam rumah tangga.
Dulu, orang memiliki istri lebih dari satu tidak dipusingkan oleh iklan-iklan marketplace, pelbagai merk skincare, dan tagihan listrik atau jadwal ronda per-RT jika para istrinya bermukim di rumah yang berbeda. Sekarang?
Silakan diteruskan…
Wa ba’du, sejumlah mufassir kontemporer ternyata senada: bahwa institusi poligami itu laksana sebuah rukhsah (alternatif). Ia hanya akan berlaku pada situasi tertentu atau darurat. Pun demikian, syaratnya ketat minta ampun. Pendapat ini bisa Anda baca mulai dari keterangan Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, al-Thabathaba’i dalam al-Mizan, bahkan seteras Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur’an.
Dan, ngomong-ngomong tentang situasi darurat, ada satu pendapat menarik dari seorang ustadz beken kebanggaan kita semua. Ya, siapa lagi kalau bukan al-alim al-‘alamah Abdus Shomad.
Dalam salah satu kajiannya, Ustadz Shomad bilang bahwa poligami laksana pintu darurat dalam sebuah kabin pesawat. Benar bahwa laku poligami dalam Islam itu ada dan memang harus ada. Oleh sebab fungsinya sebagai pintu darurat, maka tidak sembarangan orang bisa begitu saja membukanya.
Dengan kata lain, pintu itu akan auto terbuka jika situasi memang memungkinkan. Dan itu pun harus melewati mekanisme yang tidak mudah. Itulah mengapa poligami mengharuskan pemberitahuan pada istri pertama, laiknya pintu darurat pesawat yang akan terbuka seizin pilot, bukan?
Jadi, di sini jelas ya, bahwa semakin meriah seminar poligami, maka semakin banyak pula orang yang menghendaki situasi darurat. Ah, saya kok jadi tergerak buat mendendangkan lirik “Zona Nyaman” milik Fourtwnty.
BACA JUGA Sejarah Poligami yang Dipelintir dan tidak Sesuai dengan Hukum Islam
*Analisis ini hasil kerjasama Islami.co & RumahKitaB*