Semerbak Nubuwwah dari Kisah Imam Ali

Semerbak Nubuwwah dari Kisah Imam Ali

Semerbak Nubuwwah dari Kisah Imam Ali

 “Saya adalah kota ilmu, dan Ali merupakan pintunya… “

Ungkapan Nabi Muhammad tentang khazanah ilmu Islam, tidak bermaksud meninggikan derajat Imam Ali R.A. Jika diibaratkan Nabi Muhammad sebagai kota segala ilmu, muara khazanah dari pengetahuan Islam. Maka, Imam Ali adalah pintu untuk memasuki kota, gerbang untuk membuka dan menjelajahi khazanah Ilmu, celah untuk mengalir bersama lautan ilmu hingga ke muara. Inilah pentingnya Imam Ali dalam narasi sejarah Islam, dalam segenap sejarah kenabian.

Bagaimana Imam Ali dipahami sebagai pintu dari segenap khazanah ilmu? Imam Ali merupakan sahabat terdekat Nabi, yang sering mendampingi Rasulullah dalam menyebarkan dakwah ke berbagai kawasan. Pada waktu itu, Imam Ali sering diajak oleh Rasulullah Saw berjalan-jalan mendaki bukit-bukit berbatu di sekitar Kota Makkah. Adakalanya, ia bersama beliau ketika menuju Gua Hira untuk bertahannuts (berkhalwat). Bahkan, beberapa kali ia berada di dekat beliau ketika menerima wahyu, seperti yang dikisahkan kemudian: “akupun menyaksikan sinar wahyu dan risalah, menghirup pula semerbak nubuwwah..”.

Dalam pengantar Mohammad Bagir, Imam Ali merupakan sahabat terdekat Nabi Muhammad, tentu saja dalam kepentingan dakwah Islam. Imam Ali selalu menjadi benteng terdepan Rasulullah, membela Nabi Muhammad dari ejekan dan sergapan keras orang-orang yang pada awalnya tidak percaya pada pesan Islam. Di sisi lain, Imam Ali juga orang yang banyak menerima pendar cahaya keilmuan dan khazanah pengetahuan Islam langsung dari sumbernya: Nabi Muhammad. Maka, sering kita dengar ungkapan, yang disarikan dari petuah Nabi: Ana madinatul ‘ilm, wa ‘aliyyin babuha (Saya adalah kota ilmu, dan Ali merupakan pintunya).

Pesan Cinta Imam Ali

Imam Ali merupakan muara dari ilmu Islam, beliau menjadi rujukan dalam pengetahuan keislaman. Ilmu Imam Ali luas dan mendalam, bahkan perkataan beliau sangat puitis, dan mendasarkan argumentasinya pada pesan-pesan dari al-Qur’an. Simaklah pesannya ini: “Agama bukan ajang perdebatan. Agama bukan untuk memenangkan golongan agama, jalan pendekatan kepada Allah. Agama untuk diamalkan. Bid’ah zaman ini, banyak bicara sedikit beramal. Sedang Nabi dan para sahabat sedikit bicara banyak beramal,”.

Pesan Imam Ali yang menjadikan agama bukan sebagai ajang perdebatan, serta bukan untuk memenangkan golongan agama, merupakan mutiara hikmah yang penting. Di tengah, kepentingan sekelompok pemuka agama yang ingin menjadikan agamanya sebagai pemenang. Imam Ali juga merasakan rindu yang tiada tara, dan merasakan kesalahan dalam mencintai manusia. Sebab, mencintai Tuhan, akan mendapatkan ujian yang tak berkesudahan, mengalami gelombang cobaan yang mendera tanpa henti.

“Perbuatan paling salah yang kulakukan di dunia adalah mencintaimu. Sejak aku terpanah api cintamu, hidupku diliputi kefakiran dan kesedihan.” Dalam hal ini, resiko mencinta Allah untuk mengharap Ridha-Nya, adalah dengan ujian yang bertubi-tubi dan kesedihan tanpa akhir. Manusia pada akhirnya akan menghadapi ujian yang tidak pernah berakhir, hanya untuk menggali kasih sayang dan Ridha Allah semata.

Kehidupan pecinta penuh misteri. Cinta menjadikan hidup menderita. Rindu mengunci mulut membisu. Dunia ini menjadi sempit. Waktu berjalan lama. Perpisahan membakar seluruh tubuh. Mendidihkan degup jantung. Namun terpasung tak bisa berbuat apa-apa. Jadikan sabar dan tabah itu kekuatanmu. Jadikan harap dan takut energimu. Luruskan arahmu hanya kepada-Nya. Selain-Nya sekadar ujian dan cobaan. Ungkapan Imam Ali selalu bernas, dengan rujukan dan argumentasi yang akurat.

Pada sebuah majelis, Imam Ali berpesan: Jadikan manusia putus-asa dari rahmat Tuhan dan rela berada dalam kekejian. Mereka fakir, meski hidup bergelimang harta dan tahta. Sungguh dalam diri Rasulullah Saw, terdapat cukup contoh teladan bagimu, serta petunjuk jelas tentang keburukan dunia dan kehinaanya, serta banyaknya buruk laku dan kejahatan yang berlangsung di dalamnya. Pesan-pesan Imam Ali selalu aktual dengan zaman, bahkan hingga kini, 14 abad setelah berkembangnya Islam.

Ada sebuah kisah, betapa Imam Ali memegang teguh ajaran tentang keadilan dan tanggungjawab dalam menjaga amanat. Diriwayatkan bahwa ‘Aqil bin Abu Thalib (saudara tua Ali RA), meminta bantuan kepada Imam Ali RA dari kas negara untuk keperluan keluarganya. Tetapi, Imam Ali menolaknya sambil mendekatkan sepotong besi panas ke wajah ‘Aqil untuk menakutinya dari panasnya api neraka.

Sebelum wafatnya, Imam Ali berpesan kepada umat muslim di seluruh dunia. Bahwa, “wahai manusia setiap orang dalam pelariannya pasti akan menjumpai apa yang menyebabkannya lari. Ajal adalah tempat penghalauan jiwa. Karena itu, melarikan diri darinya sama saja dengan menjemputnya”. Pada pesan yang lain, Imam Ali berkata: “Betapa seringnya aku mengejar waktu guna menyingkap rahasianya yang tertutup rapat. Namun, Allah tetap menyembunyikannya. Sungguh, ia tak terjangkau. Ia adalah ilmu Allah yang tersimpan rapi”. Sungguh, sebagai penerus ajaran Nabi Muhammad, kita harus selalu mengaji dari petuah Imam Ali, memasuki gerbang kota ilmu yang menjadi khazanah dan rujukan Islam setelah Nabi Muhammad [].

 

Info Buku:

Muara Cinta; Menyiapkan Hati Menerima Pancaran Cinta-Nya

Penulis: Ustadz Husin Nabil | Penerjemah: Muhammad Al-Baqir

Noura Books, April 2016

ISBN: 978-602-385-071-6

 

*Munawir Aziz, bergiat di Gerakan Islam Cinta dan PPM Aswaja.