Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, atau Imam Ghazali, merupakan salah seorang sufi yang menjadi rujukan tasawuf mayoritas masyarakat Indonesia. Terutama bagi kelompok pesantren tentu tidak asing lagi dengan pemikiran-pemikiran serta karya-karyanya yang melimpah ruah dikaji di mana-mana.
Salah satu karya yang cukup menarik yakni al-Munqidz min al-Dlalal, sebuah otobiografi dari sang Hujjatul Islam yang ditulis sendiri oleh Imam Ghazali. Secara garis besar kitab ini berisi cerita tentang perjalanan intelektual sekaligus spiritualnya sang sufi di dalam mengalami pasang-surut ke-‘diri’-annya, mencoba berkali-kali menyelami berbagai fan keilmuan, senantiasa tak berhenti bergelut dan bergulat mendalami suatu ilmu sampai baginya merasa cukup tau akan hakikat dari ilmu tersebut.
Semangat dan kegigihan demikian perlu kiranya terimplementasikan kepada jiwa-jiwa muda milenial yang sekarang sedang getol mencari jati dirinya. Jati diri yang masih diombang-ambing harapan dan keterputusasaan menghadapi ketidakpastian masa depan. Harapan yang sering kali gagal digapai hanya karena sudah melawan insecure, tidak menaruh kepercayaan kepada diri sendiri, padahal belum terjadi apa-apa.
Kepercayaan diri inilah kemudian yang perlu dibangun kembali dalam bingkai kehidupan para muda-mudi milenial agar mereka tidak mudah insecure sampai putus asa sebelum mencoba berulangkali apa yang telah dicita-citakan, seperti halnya al-Ghazali yang berulangkali tidak putus asa ketika mencari tahu perihal hakikat sebuah ilmu pengetahuan.
Sejak masa mudanya, Al-Ghazali sudah terlatih untuk berpikir dan bersikap kritis. Hal ini sebagaimana pengakuannya dalam kitab al-Munqidz min al-Dlalal, bahkan beliau tidak mudah percaya dan bertaqlid kepada suatu pendapat yang dianut oleh kebanyakan orang sebelum dia betul-betul meneliti pendapat tersebut.
Kiranya, sikap tidak mudah percaya kepada suatu pendapat sebelum ia benar-benar mencari tau keabsahan dari satu pendapat tersebut inilah penting juga untuk diteladani oleh para pelajar atau para penuntut ilmu, di tengah-tengah derasnya arus informasi yang dapat diakses setiap saat melalui media sosial maka diperlukan kejelian serta ketelitian di dalam menyerap informasi tersebut.
Melalui kritisisme Imam Ghazali maka dapat diambil hikmah tentang pentingnya menyaring informasi terlebih dahulu sebelum meyakininya sebagai suatu pengetahuan, lebih-lebih sebelum membagikannya kepada orang lain.
Di sisi lain, sosok Imam Ghazali mengajari kepada kita semua akan pentingnya memiliki spiritualitas yang tinggi di samping juga intelektualitasnya yang luas. Perpaduan antara intelektual dan spiritual dapat mengantarkan seseorang menjadi ‘manusia rohani’ atau dalam bahasa filsuf Muhammad Iqbal disebut ‘Insan Kamil’. Sinergitas antara ilmu pengetahuan dengan religiusitas menuntun diri seseorang mencapai maqam tertinggi dari sebuah perjalanan (suluk) seorang murid.
Kedua-duanya perlu mendapat perhatian yang sama, dalam pengertian seseorang tidak semata menyibukkan diri dengan belajar sampai dia lupa akan kewajibannya sebagai makhluk rohani yang butuh akan asupan ibadah. Bisa-bisa nanti jadi intelektual yang arogan, pragmatis dan tidak punya prinsip.
Atau sebaliknya, yakni sibuk dengan ibadah dan kampanye keagamaan sampai lupa untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan melalui proses belajar. Sama saja, jika terlalu sibuk dengan ibadah tanpa dibarengi kritisisme, bisa-bisa gampang dikibuli oleh segala hal yang berbungkus agama.
Oleh sebab demikian, perlu kiranya bagi generasi milenial untuk mempunyai semangat perpaduan antara keduanya, supaya menjadi manusia yang kaffah, seimbang dan utuh.