Semangat Bung Karno dalam Memperjuangkan Api Islam, Bukan Abunya

Semangat Bung Karno dalam Memperjuangkan Api Islam, Bukan Abunya

Tidak hanya dikenal sebagai seorang yang nasionalis, Bung Karno juga merupakan sosok yang agamis, relijius, bahkan pemahaman tentang keislaman pun mendalam.

Semangat Bung Karno dalam Memperjuangkan Api Islam, Bukan Abunya

Kini bukan masyarakat Onta, tetapi masyarakat Kapal Udara” Ir. Soekarno (1940)

Bung Karno sangat berapi-api ketika menuliskan kalimat yang penuh agitasi tersebut di Koran Pandji Islam pada tahun 1940 itu. Tulisan tersebut merupakan sikap kesal Bung Karno terhadap kalangan Islam yang memuja kejumudan dan anti terhadap kemajuan. Bung Karno menyerukan “Islam is progress, Islam itu kemajuan” dalam artikel yang sama. Penegasan Bung Karno tersebut merupakan upaya untuk meyakinkan bahwa agama yang dibawa oleh nabi Muhammad ini adalah sebuah agama yang mempelopori sebuah kemajuan peradaban umat manusia, bukan kejumudan.

Artikel Bung Karno berjudul “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” yang ditulis menjelang paruh abad ke 20 tersebut mengkritik kalangan Islam yang lebih senang memungut abu Islam dari pada apinya. Istilah api Islam di sini adalah inti ajaran dan semangat kemajuan yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw dalam membangun peradaban baru yang maju di tanah Arab pada abad 7 M.

Istilah api Islam tersebut merupakan kritik Bung Karno terhadap kalangan Islam yang hanya memungut abu Islam. Abu Islam adalah kalangan Islam yang lebih mendahulukan bungkus dari pada spirit ataupun isi dari ajaran Islam, juga kalangan Islam yang memaknai Islam hanya sebatas artifisial dan simbol-simbol semata.

Bung Karno menegaskan bahwa kita saat ini hidup di zaman Kapal Udara (pesawat terbang), bukan zaman Onta. Bung Karno juga mengilustrasikan bahwa zaman ini adalah zaman ditemukannya teknologi-teknologi dan ilmu pengetahuan modern yang akan menambah kemaslahatan bagi umat manusia. Sekaligus Bung Karno memberikan ultimatum bagi kalangan Islam yang hidup di zaman kemajuan ini masih yang saja mempunyai pikiran-pikiran keislaman yang jumud dan anti kepada kemajuan zaman.

Bung Karno menulis artikel yang berisi kritik keras untuk kalangan Islam yang masih saja anti terhadap kemajuan zaman tersebut sudah 78 tahun yang lalu. Walaupun sudah berumur hampir satu abad, tulisan tersebut sampai saat ini masih sangat relevan sebagai cambuk untuk umat Islam Indonesia di abad disrupsi ini.

Di satu sisi kita bangga memiliki bapak pendiri bangsa yang memiliki visi sangat maju tentang Islam. Bung Karno mempunyai harapan besar di masa depan Islam memiliki peradaban yang maju. Tetapi, di sisi lain kita perlu untuk bersedih ketika membaca kembali artikel tersebut di abad 21 ini, persisnya 78 tahun setelah Bung Karno menuliskannya di Koran Pandji Islam tersebut.

Di abad 21 ini, ketika Yuval Noah Harari menuliskan dengan sangat mendebarkan tentang prediksi masa depan umat manusia yang hendak meng-upgrade otaknya dengan kecerdasan buatan (artificial intelegence). Di abad ini, homo sapiens berencana akan mentransformasi diri  menjadi homo deus dengan menggabungkan antara kecerdasan algoritma dengan kecerdasan otak untuk meraih imortalitas dan kebahagiaan umat manusia.

Akan tetapi, saat ini, sebagian kalangan umat Islam Indonesia masih ada saja yang menolak vaksin dengan alasan-alasan yang non saintifik. Sampai sekarang masih ada pula sebagian umat Islam kita yang menolak untuk melakukan Keluarga Berencana (KB) dengan alasan bahwa itu adalah modus Yahudi untuk melemahkan Islam.

Tentunya hal ini sangat memilukan bagi kita semua. Sejatinya, sikap sebagian kalangan Islam yang menolak penemuan-penemuan modern untuk kemaslahatan kehidupan manusia tersebut adalah sebuah kemunduran yang hakiki bagi peradaban Islam. Padahal, jauh sebelum penemu pesawat terbang Wright bersaudara pada tahun 1903 di Amerika Serikat, Ibnu Firnas seorang cendikiawan muslim dari Andalusia pada abad ke 9 sudah melakukan percobaan penerbangan pertama dari menara Masjid Kordoba.

Di tengah kejumudan yang oleh Martin Van Bruinessen (2014) disebut sebagai “kembalinya konservatisme” dalam berislam. Di saat sebagian kalangan Islam masih saja takut terhadap hak asasi manusia (HAM). Di era ketika sebagian muslimah masih phobia terhadap feminisme. Di zaman ketika sebagian kalangan Islam yang masih saja terlalu berlebihan memuja bungkus dari pada isi dan spirit ajaran Islam. Tulisan Bung Karno yang ditulis sudah 78 tahun yang lalu tersebut masih tetap relevan untuk dijadikan alarm untuk membangkitkan umat Islam dari lelapnya kejumudan.

Untuk menutup tulisan ini, saya kutip sekali lagi peringatan Bung Karno untuk kita semua.

Kini bukan masyarakat Onta, tetapi masyarakat Kapal Udara

Sekali lagi, ingat Bung, Akhi, dan Ukhti!! Pungutlah “Api Islam”, bukan “Abunya”!!

Wallahua’lam Bishawab

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.