Seluruh Hamparan Bumi Adalah Tempat “Sujud”, Termasuk Laboratorium

Seluruh Hamparan Bumi Adalah Tempat “Sujud”, Termasuk Laboratorium

Seluruh Hamparan Bumi Adalah Tempat “Sujud”, Termasuk Laboratorium

Kita tidak boleh melukai Ibu-bumi dengan membuat kerusakan di atasnya seperti membuang emisi udara terlalu banyak sampai membuat banyak orang sesak napas.

Usaha menyembuhkan Ibu-Bumi dengan merealisasikan WFH juga nyatanya tidak berpengaruh signifikan. Selain dilarang melukai Ibu-bumi, kita juga perlu berbuat baik di atas bumi karena bumi adalah “hamparan masjid”. Seperti yang dengan gamblang diungkapkan dalam hadits:
Dikisahkan oleh Abu Dzar: Rasulullah bersabda, “Bumi diciptakan untukku sebagai sarana untuk mensucikan dan sebagai masjid. (Sunan Abi Dawud 489, buku 2, hadits ke 99).

Karena bumi adalah masjid, berarti di seluruh bumi adalah tempat sujud. Karena bumi adalah tempat sujud, berarti di atas bumi bisa salat.
Al-Hallaj dalam sajaknya mengatakan:

Al ardhlu masjidun
Fi’lul khair fiiha sholaatun
Almashu ala ro’si al yatiimi sholaatun
Rof’ul dhulmi ‘inda al madzluumin sholaatun
Bumi ini sejatinya masjid
Berlaku kebaikan merupakan salat
Mengusap-usap kepala anak yatim merupakan salat
Memerangi kezaliman yang dilakukan orang-orang zalim juga merupakan salat.

Pelukis tema sufistik, Mohamad Marzuki, atau yang lebih dikenal dengan akun instagram @_zukkk juga menambahkan bahwa “Shalat itu tentang Hidup yg benar, dan hidup yg benar itulah yg mencegah fasik dan munkar”

Sehingga tidak lain dan tidak bukan yang seyogyanya kita lakukan di atas bumi adalah menerbitkan banyak perilaku baik, salah satu contohnya adalah mencari ilmu. Karena dengan mencari ilmu, kita sedang dalam jihad melawan kebodohan.

Proses mencari ilmu dan/atau kebenaran bisa didapatkan dari nalar rasional, berpikir logis, hikmah, ataupun pengamatan empiris. Salah satu bentuk menggali kebenaran adalah mencari ilmu di wahana laboratorium. Hal ini karena di laboratorium terdapat proses pengindraan empiris serta bernalar secara rasional. Bahkan kadang-kadang dalam memulai sebuah penelitian diawali dengan khayalan.

Sehingga, menurut definisi yang dihadirkan Al-Hallaj dan Marzuki, bekerja di laboratorium adalah bagian dari salat. Salat yang akan membuat kita mengenal Tuhan via jalur mengamati apa yang Ia ciptakan berupa alam semesta.

Dari sini sebenarnya kita sudah tidak butuh argumentasi terlalu panjang tentang konsep integrasi antara nilai-nilai keislaman dengan aktivitas yang ada di laboratorium. Yang oleh sebagian orang bahwa kerja-kerja sains tidak ada islami-islaminya, bahkan ada yang berpendapat bahwa sains bertentangan dengan agama sehingga harus susah payah dibangunkan jembatan.
***

Sependek yang saya baca, hampir semua riset sains yang dilakukan adalah untuk kehidupan yang lebih baik. Manfaat bisa disasar untuk manusia, hewan, tanaman, atau semesta secara umum.

Ilmuwan meneliti perak yang dapat digunakan sebagai antibakteri, menggunakan komputer untuk mendesain bahan kimia baru yang nantinya akan digunakan sebagai obat, mensintesis emas dengan ukuran nano yang bisa digunakan untuk mendeteksi bahan zat berbahaya. Semuanya digunakan untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Sains sering kali mendasarkan percobaannya pada aspek-aspek humanistik. Meskipun ada, tapi jarang ditemui riset sains yang latar belakangnya sama sekali tidak menyinggung tentang kualitas hidup yang lebih baik.

Taruhlah yang cukup tenar dilakukan oleh almarhum Prof. Efendy dari Universitas Negeri Malang, Beliau sangat hobi mensintesis senyawa kimia anorganik kompleks. Konon kegemarannya melakukan sintesis membuahkan ratusan senyawa baru dan telah dianugerahi penghargaan sana-sini. Beliau mensintesis tanpa menanyakan senyawa baru yang ditemukan akan dimanfaatkan sebagai apa, beliau memang hanya mensintesis, an sich.

Namun cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, saya yakin saat hasil sintesisnya diungkap dan ditelaah lebih dalam, pasti akan berhubungan juga dengan kemanusiaan.
Kalau didapatkan manfaat langsung dalam dunia kesehatan, ya berarti berhubungan langsung dengan manusia. Pun jikalau hasil sintesisnya tidak dapat digunakan manusia, sifat fisika dan kimia dari molekul yang disintesis tetap menyumbang informasi baru yang memperkaya ilmu dan ujung-ujungnya untuk kehidupan manusia yang lebih baik pula.

Saya akan coba sedikit ceritakan latar belakang riset yang saya lakukan saat studi S2 lalu, yang kembali lagi saya kira muara dari riset yang saya lakukan juga bermuara pada kemanusiaan.

Saat itu saya membuat sebuah metode analisis baru untuk melakukan deteksi pada logam nikel. Metode baru yang saya pilih adalah analisis cepat dengan menggunakan sensor. Target sampel logam nikel yang saya gunakan adalah nikel yang berasal dari daerah tambang nikel yang akhir-akhir ini viral, yakni di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Adanya tambag nikel di Konawe memberikan ancaman yang serius, lebih-lebih tentang kualitas air yang ada di sekitar tambang. Terindikasi air yang ada di sekitar tambah mengandung nikel melebihi ambang batas aman.

Saat nikel melebihi ambang batas, ia akan menimbulkan beberapa efek buruk untuk kesehatan masyarakat saat terkonsumsi. Sehingga penting untuk hadirnya sebuah metode baru yang mudah, cepat, dan akurat untuk menentukan kualitas air yang ada di lingkungan sebelum digunakan masyarakat.
Saya coba kombinasikan antara silika sebagai media tanam sensor dengan reagen yang akan mendeteksi eksistensi nikel.

Reagen yang ditanam di media silika saat dikontakkan dengan nikel ia akan berubah warna.

Perubahan sederhana ini dapat menunjukan eksistensi nikel dan dapat dibaca secara kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kembali lagi bahwa yang saya lakukan adalah ingin membantu melakukan improvement pada kesehatan masyarakat, lebih-lebih kesehatan yang berhubungan dengan logam nikel.

***

Selain tentang masjid, salat, dan berbuat baik. Yang menarik dari hadits yang saya kutip hari ini adalah adanya redaksi bumi sebagai sarana mensucikan. Saya memang bertanya, apakah pensucian di sini arahnya ke sisi lahiriyah atau batiniyah?

Apakah maknanya adalah dengan menggunakan tanah serta debu yang ada di bumi lantas kita bisa tayamum atau maknanya lebih dalam tentang hati kita menjadi suci ketika melakukan “salat” di atas muka bumi.
Mungkin keduanya benar adanya, sehingga bagaimanapun saat kita melakukan salat dan perbuatan-perbuatan baik di atas bumi seperti melakukan aktivitas di laboratorium, ia tetap dapat membawa hati kita menjadi suci.

Redaksi wahana bersuci juga mungkin mengindikasi adanya proses tumbuh. Tumbuh dari kotor ke suci, tumbuh dari hidup menanggung kebodohan ke hidup dengan pengetahuan, tumbuh dari serampangan menjadi bijaksana.

Akhirnya, lebih suci dan jernih untuk semakin dekat dan tidak terhijab dari cahaya Allah. Memahami pola alam yang bertebaran seraya menyadari pesan-pesan implisit yang Tuhan sampaikan dari hamparan alam. Wallahu A’lam.