Seperti yang telah kita duga kebisingan demi kebisingan kembali bertalu di ruang pendengaran dan pemikiran publik setelah pulangnya MRS dari Makkah. Lenyaplah sudah ketenangan harmonis yang menjadi urat nadi keberagamaan dan keberagaman sosial bangsa ini. Hal ini terjadi bahkan di tengah-tengah keprihatinan kita berjuang melewati pandemi covid-19. Siapa yang tidak marah, minimal kita mengelus dada. Kok ada yang seperti itu? Sesuatu yang menggulung dua ekstrimitas sekaligus dalam satu kepakan sayapnya.
Di satu sisi ada sirat simbol keterhormatan dzurriyat Nabi SAW dan di sisi lain suatu perkara yang sangat tidak disukai Nabi SAW itu sendiri yaitu kegelapan angkara murka.
Tentu saja, hingar keributan ini akan menimbulkan resonansi yang beragam. Seolah membenarkan pepatah orang tua kita, setiap orang akan memungut buah perbuatannya sendiri, “ngunduh wohing pakarti,” berbagai kemarahan seolah bangkit menyesaki perbincangan, terutama menyangkut Islam.
Wajah keberagamaan yang semestinya mendamaikan dan menyelaraskan setiap pertentangan kini menjadi semakin meruncing dan menyakitkan. Orang-orang bertanya, kalau dengan beragama semakin menambah persoalan untuk apa beragama? Kecamuk mewujud di hati kita. Jika tidak dewasa, bisa jadi akan menyentuh dimensi aqidah yang paling dasar serta halus dalam hati kita. Maka penting, untuk melokalisir dan mengkerangkeng keberadaannya dalam sebuah file/ruang pemahaman dan cara pandang yang jelas di salah satu pojok keluasan hati kita.
Setiap sesuatu yang dilepaskan/didhohirkan maka akan mendapatkan umpan balik. Ada resonansi yang tercipta. Melahirkan dan mewujudkan gelombang yang sama yaitu suara-suara kemarahan dan kebencian.
Bagi orang yang sefrekuensi, maka dengan mudah akan membunyikan irama yang sama. Bahkan kadang sengit mempertanyakan kemana mereka yang sebagian besar itu, golongan mayoritas, kok pada diam. Bukankah akan lebih baik jika “yang waras tidak mengalah,” bukankah “diam itu emas” tidak berlaku dalam saat-saat krusial seperti sekarang ini. Itulah pandangan mereka yang terhanyut dalam irama kecamuk.
Ikut menjadi marah dan memperkuat gema kecamuk. Kuat dalam keinginannya, mestinya semua “bersuara” guna menetralisir keadaan dan mengembalikan kesimbangan ruang perbincangan publik. Tapi ternyata, hal ini tidak terjadi. Sebab beberapa pandangan di bawah ini telah menguat dalam sikap batin masyarakat kita;
Pertama, cobalah untuk memperluas konteks, keluar dari terpaku pada sumber kecamuk, melihat pada bidang yang lebih luas dan keluar dari sentrum persoalan. Maka akan terlihat masalah bukan satu-satunya fakta. Tapi masalah ini hanya ibarat borok yang nempil pada batang tubuh islam yang masih gagah dan secara umum masih sehat. Ada ribuan dan jutaan fakta di luar sana yang tetap menyunggingkan senyum rahmah dari Islam.
Baca juga: Reuni 212 berpotensi jadi api dalam sekam
Masih ada ribuan ulama yang tetap mengajar di mushollanya, ada jutaan santri yang belajar di pesantrennya, ada ribuan perbuatan baik yang terjadi di belahan bumi lainnya di Nusantara ini yang jika kita lihat, akan menyehatkan pikiran kita tentang mengapa kita masih beragama. Melihat ini semua memahamkan kita bahwa yang benar jauh lebih raksasa di banding secuil kegelapan, hanya saja berisik.
Kedua, memang dalam keadaan pengaruh emosi kita sulit melihat kebenaran ajaran. Kita menjadi masygul memahami sikap para sepuh dan ulama yang diam pada persoalan ini. Padahal jika kita mencoba lebih tenang kita akan melihat betapa kebenaran itu memang sudah terkonstruksi dengan kokoh bahwa, penghormatan pada dzurriyat SAW adalah haq dan tidak mengikuti ajakannya jika itu keluar dari ajaran datuknya SAW.
Memang, jika dirasa-rasakan ini terkesan klise, sebuah rumusan yang tidak akan efektif menyelesaikan persoalan. Lha, inikan memang bukan untuk memyelesaikan persoalan yang kini telah berkembang menjadi fakta publik multidimensi. Ini adalah panduan bersikap bagi setiap muslim, sunni khususnya, terhadap sumber persoalan.
Tentu saja persoalan yang telah berkembang dan merambah pada banyak dimensi kehidupan itu mesti mendapat penyelesaian yang seukur dengan perkembangan dimensinya. Artinya jika ia telah menyentuh hukum publik maka ia harus diselesaikan dengan hukum publik, di sini negera harus bertindak. Karena negara sudah mendapat mandat penuh dari rakyatnya untuk menyelenggarakan ketertiban umum. Bukan membiarkannya dan seolah menyerahkannya pada institusi keagamaan. Ini masalah agama. Tidak begitu.
Ketiga, boleh saja kita melihat ini dalam perspektif politik. Bahwa setiap keributan yang tercipta adalah bagian dari ciri demokrasi. Bahwa jika kegaduhan hadir itu menandakan adanya saluran aspirasi yang tertutup. Bahwa ada agenda tertentu yang hendak didesakkan dalam selubung keributan tersebut. It’s okey.
Sebagai satu komunitas bangsa tentu kita, baik rakyat biasa maupun pembuat kebijakan (penguasa) berkepentingan pada kondusifitas dan stabilitas nasional. Tentu saja dalam hal ini sudah banyak pakarnya yang bisa membedah dan bisa menyorongkannya sebagai panduan kerja pada the rulling class untuk menangani persoalan, pesan penulis hanya, selesaikanlah dengan cara yang bijaksana. Bukan dengan menimbulkan masalah baru lagi. Banyak komponen bangsa yang bisa dilibatkan. Tidak semuanya bisa dilakukan sendiri. Terutama ketika kita masih memegangi kearifan lokal kita, bahwa untuk mendekati seseorang bisa dengan mendekati orang yang paling dekat dengan nya.
Keempat, kebenaran mestilah yang menang. Kebenaran pastilah yang dominan. Itulah mengapa kebenaran itu juga disebut al-ma’ruf, ia yang diketahui, ia yang sudah dikenal, yang diakrabi, dibiasai sebagai keadaan umum sehari-hari. Artinya jika hadir seuatu yang asing, sesuatu yang aneh, membuat masygul dan merusak ketenangan maka itu pastilah bukan kebenaran, itu bathil.
Maka keadaan yang secara umum mencerminkan ketenangan dan geming dari batang tubuh islam tadi itulah cerminan kebenaran islam yang sesungguhnya. Di sinilah ungkapan bahwa hati para ulama itu ibarat samudera.
Sikap dan pendirian ulama-ulama jumhur (mayoritas) yang diam tersebut itulah samudera. Geming tapi bukan mati. Samudera itu diam bahkan ketika sungai-sungai mengiriminya air-air kotor. Lebih dari itu air kotor dan najis tadi malah menjadi suci dengan sendirinya dalam pangkuan samudera yang luas. Diamnya menyucikan sifat-sifat najis dari kebisingan-kebisingan duniawi. Bukan terhadap anak sungai yang kotor tersebut, tapi tataplah samudera luas nan tenang itu. Itulah islam yang perkasa!