Selain Tous Les Jours, Isu Sertifikasi Produk Halal Layak Kita Kritisi

Selain Tous Les Jours, Isu Sertifikasi Produk Halal Layak Kita Kritisi

Tous Le Jours cuma kecil dibandingkan dengan sertifikasi produk halal yang harusnya kita kritisi

Selain Tous Les Jours, Isu Sertifikasi Produk Halal Layak Kita Kritisi

Beberapa hari yang lalu, saya singgah di gerai sebuah toko roti yang sedang menuai kontroversi, Tous Les Jours (TLJ). Saya biasa singgah di gerai itu kalau menunggu jam keberangkatan pesawat.

Hari itu saya melihat sesuatu yang agak ganjil. Toko roti dari Korea yang memakai nama Perancis itu lumayan penuh dengan pengunjung. Namun tidak seperti sebelumnya, sangat dominan pengunjung yang berjilbab dan laki-laki bercelana di atas lutut dan berdahi hitam.

Sebaliknya, di lini masa Facebook saya, ada juga kawan yang mengunggah gambar gerai-gerai TLJ yang kosong melompong.

Kontroversi yang melanda toko ini karena sebelumnya ada unggahan foto yang memperlihatkan larangan memesan kue yang berisi ucapan-ucapan yang menyelamati hari raya agama-agama lain. Kabarnya, manajemen toko ini ingin mendapat sertifikat halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Isu sertifikasi halal ini rupanya sudah meningkat ke persoalan-persoalan yang sangat personal. Persyaratannya pun makin ketat dan agak ganjil.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan sertifikasi halal. Banyak negara yang tidak berorientasi agama (sekuler) menerapkannya. Singapura punya standar sertifikasi halal yang cukup ketat.

Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia juga membebaskan makanan untuk diberi label halal. Ini untuk mendukung penduduk mereka yang Muslim. Selain label halal, banyak negara juga mengijinkan pemberian label kosher untuk memberi kenyamanan warga mereka yang beragama Yahudi.

Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa Halal Science Center itu tidak ada di negara Islam. Namun lembaga ini justru ada di Chulalongkorn University, Thailand, di negeri yang mayoritas penduduknya memeluk agama Budha.

Saya tidak tahu, per definisi, seberapa jauh dan seberapa luas halal itu harus diterapkan. Saya pernah diberitahu bahwa ada yang menafsirkan halal-haram itu lebih luas dari sekedar makanan atau obat-obatan. Umumnya, orang awam seperti saya hanya tahu bahwa untuk seorang Muslim, halal itu menyangkut apa saja yang masuk ke dalam tubuh manusia.

Saya tidak tahu bahwa halal juga punya definisi yang lebih dari itu.

Surat edaran dari MUI ini menyadarkan saya bahwa definisinya bisa sangat luas. Definisi halal itu, seperti yang Anda bisa baca digambar di bawah menyangkut banyak hal. Surat edaran itu mengatakan bahwa produk Anda tidak akan bisa diberikan sertifikasi halal jika:

1. Nama produk yang mengandung nama minuman keras seperti es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol.
2. Nama produk yang mengandung nama babi dan anjing beserta turunannya seperi babi panggang, babi goreng, beef bacon, hamburger, hotdog.
3. Nama produk yang mengarah kepada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, seperti coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai
4. Nama produk yang mengandung kata-kata yang berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno.

Namun MUI juga membuat kekecualian. Berikut ini adalah kekecualiannya:

– Poin-poin di atas tidak berlaku untuk produk yang telah mentradisi (‘urf), dikenal secara luas dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti
nama bir pletok, bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao
– Merk/brand produk yang mengandung nama produk haram lainnya dibolehkan untuk disertifikasi, contoh merk garuda, kubra, bear, crocodile, cap badak.
– Nama produk yang mengandung kata sexy dan sensual boleh disertifikasi, contoh lipstick sexy pinky, lotion sensual amber, spa sensual.

Jadi, sesungguhnya MUI telah menerapkan definisi halal yang sangat diperluas. Perusahan-perusahan harus sangat berhati-hati tidak saja terhadap kandungan produknya bahkan nama produknya pun masuk dalam penilaian halal.

Saya tidak heran bila toko roti semacam TLJ kemudian mengikuti standar yang diperluas ini untuk bisa ikut dalam proses sertifikasi halal.

Setahu saya, sertifikasi halal sudah tidak lagi berada dibawah wewenang MUI. Sekarang sertifikasi tersebut diambilalih oleh pemerintah lewat Departemen Agama.

Saya tidak tahu apakah Departemen Agama juga mengadopsi standar MUI untuk melakukan sertifikasi ini. Kalau iya, Departemen Agama pun memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menentukan ekonomi Indonesia.

Surat Keputusan MUI yang lengkap bisa dibaca di sini:

UU Jaminan Produk Halal bisa dibaca di sini: