Sekali Lagi Tentang Morenk Beladro, Sastra dan Sejumlah Kenangan

Sekali Lagi Tentang Morenk Beladro, Sastra dan Sejumlah Kenangan

Morenk Beladro sudah tiada, karyanya abadi di tengah kita semua

Sekali Lagi Tentang Morenk Beladro, Sastra dan Sejumlah Kenangan

Hari ini sejam yll di Rumah Sakit Gading Pluit, Bang Morenk berpulang. Lahul alfatihah.

Grup WA “Eksponen Surah” yang biasanya sepi tiba-tiba dikejutkan oleh pesan yang dikirim oleh teman saya, Abi S. Nugroho. Saya terdiam beberapa saat membaca pesan yang datang begitu tiba-tiba itu. Malam itu saya sedang berada di kedai kopi, menjamu teman dari Ciputat yang sedang mudik ke Kartasura.

Pertemuan awal sayang dengan Bang Morenk, demikian kami biasa memanggilnya, adalah ketika kami sama-sama mengelola Majalah Surah. Adalah Dedik Priyanto yang mengajak saya bergabung dengan Majalah Surah. Dedik kolega saya di Tongkrongan Sastra Senjakala, komunitas sastra yang cukup diperhitungkan di UIN Jakarta pada suatu masa. Di Majalah Surah, selain dengan Bang Morenk, saya bertemu dengan Hamzah Sahal, Abi S Nugroho, Abdullah Alawi, Alhafiz Kurniawan dll.

Di Majalah Surah, Bang Morenk didapuk sebagai pemimpin umum. Namun tugas utamanya adalah me-layout majalah, sekaligus merancang sampulnya. Soal desain mendesain kita tak perlu meragukan Bang Morenk, jam terbangnya sudah sangat tinggi. Ketika kabar meninggalnya Bang Morenk, hampir semua orang yang memberi kesaksian menyebut soal kualitas desain Bang Morenk. Salah satu karya Bang Morenk yang cukup monumental adalah logo Gusdurian.

Mendapat sentuhan Bang Morenk, Surah menjadi majalah sastra yang menjauhi kemurungan. Entah aliran desain macam apa yang dianut Bang Morenk, namun rasanya desain Surah mencerminkan desain yang “modern dan ceria”. Jika Anda bandingkan, tentu berbeda sekali dengan desain Majalah Horison. Sayangnya, Surah tidak berumur panjang. Sejak awal memang sudah banyak yang bilang kami ini orang-orang gilang yang nekat menerbitkan majalah di “era digital”.

Membincang Bang Morenk artinya juga membincang kopi. Bang Morenk mengelola Kopi Pancong di Kalibata City. Saya masih ingat, di kedai kopi itu buku kumpulan cerpen saya dan Abdullah Alawi (Abah) diluncurkan dan dibedah. Sebuah acara peluncuran dan diskusi buku yang hangat. Soal kopi, seingat saya markas Surah di pinggiran Bintaro tak pernah kekurangan kopi karena stok Beladro Coffee (salah satu brand yang diluncurkan Bang Morenk) selalu terjaga.

Waktu berlalu, saya bekerja di Solo dan tak ingat kapan terakhir bertemu Bang Morenk. Saya dengar kabar sakitnya Bang Morenk, tapi saya yakin ia akan sembuh dan terus berkarya. Namun ternyata ia dipanggil lebih dulu. Meninggalkan karya-karya yang kelak akan terus dikenang.

Rasanya baru kemarin kami rapat Surah di Gang Melati. Membicarakan edisi depan, menikmati masakan Kang Jambul lalu menyesap kopi. Benar belaka apa yang disampaikan al-Ghazali: sesuatu yang paling dekat adalah kematian.

Selamat jalan, Bang Morenk. Alfatihah..