Sekali Lagi Tentang Hanum Rais dan Jejaknya dalam Film, Kenapa Dirisak?  

Sekali Lagi Tentang Hanum Rais dan Jejaknya dalam Film, Kenapa Dirisak?  

Hanum Rais banyak melahirkan film bernafaskan islam, terlepas dari pelbagai kontroversi

Sekali Lagi Tentang Hanum Rais dan Jejaknya dalam Film, Kenapa Dirisak?  

Saat pertama kali membaca dua novelnya yang kemudian difilmkan, yaitu 99 Cahaya Di Langit Eropa (2014) dan Berbulan Terbelah di Langit Amerika (2014), Hanum Rais mewakili kecerdasan akademik Sang Ayah, Amien Rais, dalam bentuk karya sastra. Berbeda dengan Amien Rais yang melakukan proses pembelaan Islam di dunia internasional melalui karya akademik mengenai hubungan Timur Tengah dan Barat dan terjemahan buku Ali Syariati, dalam karya novel tersebut, Hanum menempatkan minoritas Islam dan bagaimana mereka hidup dalam mayoritas barat dengan menjadikan diri dan suaminya sebagai titik pijak karena pernah mengalami langsung tinggal di Eropa. Buah tangannya yang difilmkan itu, dalam riset tim UIN Sunan Kalijaga tahun 2017, menempatkan karya Hanum Rais sebagai salah satu yang terpopuler bersanding bersama karya-karya laris dari Habiburrahman el shirazy.

Popularitas Hanum dengan karya-karyanya di kalangan anak-anak muda-mudi Muslim ini sebenarnya sudah melampaui nama dan kharisma sang ayah yang sejak tahun 1997 mulai menekuni jalur politiknya sendiri. Dengan kata lain, tanpa turut membantu sang ayah di jalur politik, ia sudah menemukan hidup dan kehidupannya. Apalagi, dua film yang saya sebutkan tersebut sudah laris manis. Sebagaiman dicatat oleh Film Indonesia, film pertamanya, berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa 1, tayang pada tahun 2013, ditonton oleh 1.189.709 orang. Disusul dengan film lanjutannya pada tahun 2014 ditonton oleh 587.042 orang. Sementara itu, buku selanjutnya yang difilmkan,   Bulan Terbelah di Langit Eropa 1 pada tahun 2015, berjumlah 917.865 orang. Film kelanjutannya, seri kedua, pada tahun 2016, berjumlah 582.487 orang. Di sini, racikan materi Bollywood, Hollywood, dan Pop Islamisme, sebagaimana film-film produser keturunan India sebelumnya, merupakan prasyarat laris manis yang berdampak juga terhadap perolehan film-film karya Hanum Rais.

Dengan jumlah penonton sebanyak itu, saya yakin, setiap karya bukunya, pasti banyak dari produser dan rumah produksi di Indonesia yang mau mengadaptasikannya ke dalam film. Karena itu, karya selanjutnya Faith and the City (2015) membuat rumah produksi besar MD Picture mau memfilmkan kembali. Untuk lebih mengangkat film tersebut dan adanya intimasi kepada penonton, judul dalam film itu kemudian ditambahkan menjadi Hanum dan Rangga (Faith and the City). Seperti film-film sebelumnya, sejumlah artis papan atas juga memainkan film terbaru ini, seperti Acha SeptriasaRio Dewanto, dan Arifin Putra. Nama-nama itu tidak setidaknya yang menambah daya tarik orang untuk menontonnya. Namun, tidak seperti sebelumnya, di mana Hanum Rais absen dalam keterlibatan mengenai isu-isu politik, dua tahun terakhir ia justru menjadi demagog sang Ayah; membenarkan apapun tindakan sang ayah dalam politik praktis.

Perihal ini sangat kencang di dunia maya pada kasus hoaks Ratna Sarumpaet, di mana Hanum, dengan mengorbankan profesinya sebagai dokter gigi, mau dikibuli oleh pemain teater dan aktivis kawakan tersebut dengan membela dan menganggapnya sebagai Cut Nyak Dien masa kini, terkait dengan keberaniannya bersuara yang berakibat pada pemukulan sekelompok orang. Padahal itu sekedar sandiwara di mana Sarumpaet usai dioperasi plastik.

Akibatnya, saat film terbarunya muncul bersamaan dengan film  A Man Called Ahok (AMCA), orang melihat Hanum dan karyanya tidak seperti dahulu. Di sini, biopik di antara kedua film tersebut kemudian menjadi arena politik lanjutan sebelumnya di tengah fragmentasi politik Indonesia yang membelah tajam menjadi dua. Industri pasar film yang seharusnya mengalami sterilisasi dari isu politik praktis untuk meregguk sebanyaknya penonton justru malah terjadi. Padahal, saya yakin produksi film Hanum dan Rangga ini pasti jauh sebelum kasus tersebut. Begitu juga antrian menunggu untuk masuk jadwal tayang bioskop. Namun, kicauan dan ungkapan di media sosial mempengaruhi orang untuk kemudian tidak menonton film itu, dan di satu sisi membesarkan kampanye film AMCA yang dianggap mewakili representasi suara politik. Padahal, film Hanum dan Rangga ini sebenarnya lebih bercerita mengenai dilema sepasang suami isteri yang berada di jantung Amerika dan bagaimana mereka harus bernegosiasi dengan keislaman mereka dan budaya hidup barat yang ada di sana dengan nilai-nilai liberal yang dianutnya. Sama juga dengan film AMCA yang lebih bercerita mengenai sosok Kim Nam, sang Ayah yang membentuk nilai-nilai sosok yang bernama Ahok. Dengan kata lain, kedua film bukan bercerita mengenai situasi politik saat ini tetapi mendapatkan konteks pembicaraan politik lanjutan dari sebelumnya.

Meskipun harus diriset lebih jauh terkait dengan jumlah penonton kedua film tersebut di tengah munculnya film Bohemian Rapshody, torehan penonton film Hanum dan Rangga ini justru jauh merosot dari empat film sebelumnya. Sebagaimana dicatat oleh Film Indonesia, perolehan film tersebut, saat artikel ini ditulis, hanya ditonton oleh 201.378 orang. Jumlah tersebut tentu saja masih seperempat dari karya film-film Hanung sebelumnya, di mana minimal angka penontonnya adalah sekitar 500 ribu orang dan tertinggi 1 jutaan orang.

Dibandingkan dengan film AMCA juga terlihat masih jauh, di mana saat ini jumlahnya sudah mencapai 587.747 penonton. Memang, melalui surat permintaan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta dari Hanum dan Rangga dan adanya himbauan Sekjen PAN agar para kadernya menonton film tersebut, seharusnya bisa mendongkrak film tersebut. Yang luput dari himbauan ini adalah film itu adalah persoalan selera dan kesenangan sekaligus keingintahuan. Sikap itu justru memunculkan tindakan kontra-produktif yang membuat orang enggan untuk menonton.

Bertolak dari sini, meskipun didukung oleh industri besar, sebuah film akan mengalami proses politisasi jika itu melibatkan figur utama dalam film itu yang memiliki persoalan dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, jika figur itu difilmkan memiliki konsistensi dengan aktivitas kesehariannya, itu justru menarik penonton untuk melihat. Figur Ahok yang divisualisasikan akan menarik perhatian, bukan hanya penggemarnya melainkan mereka yang menjadi musuhnya dalam politik. Sementara itu, figur yang direpresentasikan oleh Hanum sendiri di tengah kasus hoaks yang membuatnya terlibat bisa menggerus adaptasi dari karya bukunya ke dalam film.

Memang, Hanum sendiri sedang mencalonkan diri untuk memperebutkan suara melalui partai PAN di DPRPD Daerah Istimewa Yogyakarta melalui DAPIl Sleman Timur sebagai bagian dari dinasti keluarga Amien Rais. Namun, untuk mengkapitalisasi popularitasnya, Hanum sebenarnya sudah cukup populer dengan sejumlah karyanya. Ia tidak perlu menjadi agigator di media sosial yang justru berbalik menenggalamkan namanya.