Masih adakah yang tersisa yang belum ditulis tentang Gus Dur? Rasanya sudah dibahas semuanya baik yang fanatik mendukungnya maupun yang fanatik membencinya. Tapi tidak mengapalah saya tuliskan juga catatan ini –ini bukan bid’ah kan 🙂
Saya orang yang rasional, bukan gemar dunia mistik. Jadi, saya memahami Gus Dur juga lewat pendekatan yang rasional. Kalau memahami beliau lewat ‘dunia lain’ tentu bukan maqam saya bicara hal seperti itu.
Gus Dur itu sangat rasional. Banyak yang menganggap beliau memiliki ilmu laduni; entah benar atau tidak, ya saya tidak tahu. Tapi yang jelas semua orang tahu betapa Gus Dur sangat rajin membaca buku. Beliau sangat haus dengan info. Sewaktu pindah ke pesantren konon para santri terkaget-kaget karena Gus Dur membawa sekarung koleksi bukunya. Jadi terlepas laduni atau bukan, Gus Dur itu kutu buku. Bahkan saat mata beliau tidak bisa melihatpun beliau tetap ‘membaca’ lewat audio books.
Bacaan beliau juga sangat luas, tidak melulu soal fiqh. Dari mulai novel ringan sampai literatur kelas berat. Mungkin sama luasnya dengan pergaulan beliau ke semua pihak. Tidak ada kegamangan buat beliau untuk bertemu dan ngobrol dengan siapa saja –apapun profesi, status sosial maupun maqamnya.
Untuk Indonesia saat ini orang seperti Gus Dur ini langka. Beliau orang yang sangat menguasai ilmu keislaman bahkan sekolah di negeri Arab tapi tidak menjadi ke-arab-arab-an. Beliau menggagas ide pribumisasi Islam dengan mengakomodir budaya Indonesia dalam menjalankan dan mengekspresikan Syariat Islam. Itu artinya, orang Islam di Indonesia tidak kalah islaminya dengan orang Arab.
Gus Dur asli orang Jawa tapi beliau tidak memaksakan ke-jawaannya. Kita tahu di masa Soeharto budaya Jawa menjadi sangat dominan sehingga para pejabat non-Jawa harus bersikap njawani untuk bisa diterima di pusat kekuasaan. Gus Dur berbeda. Saat jadi Presiden, dari Aceh sampai Papua dirangkul. Begitu juga keturunan Cina, semuanya dianggap bagian dari bangsa Indonesia.
Anda tidak perlu bergaya arab hanya untuk menjadi muslim yang baik. Toh kitab suci sendiri mengatakan ketakwaanlah yang jadi ukuran, dan kanjeng Nabi sendiri mengingatkan bahwa orang yang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sholat pakai sorban dan jubah sama sahnya dengan sholat pakai peci dan sarung.
Begitu juga anda tidak perlu jadi orang Jawa hanya untuk diakui sebagai bagian dari Indonesia. Silahkan tetap menjadi orang Betawi, Sunda, Bugis, atau Minang. Anda tidak perlu mengikuti budaya mayoritas. Jadilah meng-Indonesia dengan keragaman etnik kita masing-masing. Keragaman tidak perlu diseragamkan. Keragaman mesti dirayakan.
Di tengah-tengah situasi saat ini dimana sejumlah pihak getol sekali meneriakkan ‘minoritas harus ikut mayoritas’, kita merindukan sosok Gus Dur yang dengan keilmuan, kebijaksanaan, keyakinan dan keberaniannya justru hendak menghapus kategori mayoritas-minoritas itu. Cukuplah kita ber-bhineka tunggal ika saja. Sesederhana itu.
#harlahgusdur #alfatihah
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Tenaga Pengajar Utama Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin, asuhan KH M Luqman Hakim, Caringin, Bogor, dan Dosen Senior Monash Law School