Penggunaan titik pada huruf hijaiyyah telah berlangsung lama, bahkan sejak awal periode perumusannya. Penemuan artefak dan kajian-kajian yang telah dilakukan membuktikan hal ini. Hingga masa sahabat dan tabi’in sistem ini juga telah dikenal dan dipergunakan dalam beberapa kesempatan. Hanya saja, penggunaannya tidak begitu disukai (Al-A’zami, 2006: 151-154).
Masyarakat Arab kuno lebih memilih meninggalkan atribut tambahan dalam tulisan, seperti titik dan atau harakat. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya konteks pembicaraan yang ada pada dasarnya telah menunjukkan maksud sebuah tulisan, didukung dengan naluri kefasihan dalam berbahasa. Menariknya, dengan adanya konteks pembicaraan ini, masyarakat Arab justru menganggap adanya titik dan harakat sebagai aib yang merendahkan kemampuan berbahasa lawan bicara. Sehingga sistem titik dan harakat ini jarang atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Alasan lain tidak dipergunakannya atribut ini adalah kesulitan yang dijumpai pada saat melakukan proses penulisan. Keterbatasan alat tulis dan tingkat kesulitan penggunaan yang cukup tinggi tidak mendukung penulisan (atau lebih tepatnya, pengukiran) titik dan harakat yang dinilai terlalu kecil, detail dan rumit (Al-Farmawy, 2004: 271).
Setelah memasuki era Al-Qur’an dengan adanya perintah penulisannya, para sahabat kemudian juga memutuskan untuk tidak menggunakan titik dan harakat. Menukil pernyataan Ibn al-Jazary (w. 833 H./1429 M.), “Mushaf-mushaf Utsmani dikosongkan dari titik dan harakat dengan tujuan mencakup semua bacaan yang sah periwayatannya dari Nabi Saw. dan dapat dilakukan dalam satu model penulisan.”Dhawuh Ibn al-Jazary ini setidaknya mengingatkan kita kepada salah satu langkah yang ditempuh dalam penulisan mushaf Utsmani (Al-Jazary: 1/7).
Namun sebagaimana harakat, yang dituntut kembali penggunaannya pasca meluasnya wilayah ekspansi daulah Islamiyyah, titik pembeda huruf hijaiyyah (naqth i’jam) juga dilatarbelakangi oleh masalah yang sama. Khalifah saat itu, Abdul Malik bin Marwan (26-86 H.) segera memerintahkan gubernur Al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy yang saat itu memerintah kota Iraq. Penunjukan Al-Hajjaj ini tak lain mengingat bahwa permulaan kesalahan bacaan yang disebabkan oleh ketiadaan tanda titik bermula dari kota Iraq. Oleh Al-Hajjaj perintah ini diteruskan dengan mendelegasikan Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya‘mar al-‘Udwany (Al-Zarqany: 406-407).
Keduanya kemudian merumuskan tanda-tanda tertentu sebagai pembeda setiap huruf dengan mempertimbangkan tanda-tanda yang telah ada dan diberlakukan saat itu, termasuk diantaranya tanda harakat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad al-Du’aly. Hasil kajian keduanya menetapkan bahwa tanda yang akan diterapkan nanti diharuskan berbeda dengan tanda Abu al-Aswad sehingga jika tanda Abu al-Aswad berwarna merah, maka tanda titik ini akan berwarna sama dengan garis batang tulisan huruf yakni hitam.
Sedangkan rincian setiap itemnya adalah sebagaimana berikut, setiap huruf yang memiliki bentuk serupa dibedakan dengan penanda titik yang berbeda seperti ba’(ب), ta’(ت), tsa(ث)’, nun(ن); kemudian jim(ج), ha’(ح), kha’(خ); dal (د)dan dzal(ذ); ra (ر)dan zay(ز); sin (س)dan syin(ش); shad (ص)dan dlad(ض); tha (ط)dan dha’(ظ); ‘ain (ع)dan ghain(غ); serta fa’(ف)dan qaf(ق). Masing-masing diberikan tanda sebagaimana yang kita kenal saat ini (Al-Hammad, 1982: 555-557).
Yang cukup berbeda adalah tanda titik pada huruf fa’ dan qaf. Kita umumnya mengenal bahwa keduanya dibedakan dengan satu dan dua titik yang terletak di atas huruf. Namun ada beberapa kalangan yang membedakan keduanya dengan hanya satu titik yang diletakkan secara berbeda, untuk fa’ titik diletakkan di bawah huruf, sedangkan qaf diletakkan di bagian atas huruf. Sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Maroko dan Libya. Karenanya jangan heran dan keliru saat mendapati beberapa mushaf Al-Qur’an yang dicetak demikian, seperti Mushaf Jamahiriyyah Libya atau bahkan Mushaf al-Madinah al-Nabawiyyah riwayat Imam Warsy.Wallahu a’lam bi al-shawab.