Sejarah Salafi di Indonesia (2)

Sejarah Salafi di Indonesia (2)

Sejarah Salafi di Indonesia (2)
Rekomendasi eksternal dari LD PBNU agar pemerintah melarang penyebaran kelompok Wahabi di Indonesia banyak menuai kritik.

Tiga pemuda Sumatera Barat yang kembali setelah pergi berhaji sekaligus menuntut ilmu di Arab Saudi pada awal abad ke-19 kerapkali disebut sebagai gelombang pertama masuknya ideologi Salafi – Wahabi di Indonesia. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif. Gerakan mereka biasa disebut sebagai gerakan Paderi, yang salah satu tokoh utamanya ialah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini menguat pada kurun waktu 1803 – 1832 M.

Dalam KBBI, kata “padri” bermakna pendeta Katolik, pastor, pendeta Kristen, tentara rohaniawan yang ditugasi untuk memelihara kerohanian anggota tentara. Munsyi dan Hamiyati (2003) meyebutkan bahwa kata “padri” sebagaimana diungkapkan oleh Sutan Mohammad Zain merupakan kata serapan dari bahasa portugis yang berarti pendeta, yang bermakna sama dengan kata “padre” dalam bahasa Spanyol. Sehingga kaum padri merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syariat Islam dalam tatanan masyarakat di Minangkabau. Abdullah (1996) menjelaskan bahwa penyebutan kaum padri ini populer terutama pada masa perang padri untuk merujuk pada penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Sementara dalam Ensiklopedia Islam (2002) menyebutkan bahwa sebagian sejarawan justru berpendapat, kata ‘padri’ adalah sebutan bagi para ulama yang pernah belajar agama Islam di Pedir, sebuah tempat di Aceh yang kini bernama Pidie.

Perlu diketahui bahwa sebelum hadirnya dakwah dari ketiga pemuda lulusan Arab Saudi diatas, di bumi Minangkabau, Islam sudah tersebar dengan sangat baik dan meluas. Pilihan madzhab yang mereka pakai dalam kehidupan adalah sama seperti pilihan madzhab kawasan lainnya di Nusantara, yakni Syafiiyyah. Meskipun demikian, masih ada banyak sekali adat istiadat masyarakat Minangkabau yang tidak sejalan dengan syariat Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Hamka, seperti sabung ayam, berjudi, minum tuak, dan lain sebagainya.

Mendapatkan inspirasi atas apa yang dilakukan oleh kelompok Wahabi di Arab Saudi, ketiga pemuda diatas bersama kelompok padri yang lainnya, mereka menyerukan dakwah untuk memberantas kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan syariat.

Keberhasilan dakwah yang mereka sebut sebagai pemurnian ajaran agama Islam ini membuahkan hasil yang cukup baik. Bahkan mereka telah mampu memberlakukan syariat Islam di negeri Minangkabau dan wilayah kerajaan Pagaruyung. Diantaranya mereka mewajibkan memelihara jenggot dan mendenda 2 suku (setara 1 gulden) bagi yang mencukurnya, denda 3 suku bagi wanita yang tidak menutup sekujur tubuh kecuali mata dan tangan, denda 5 suku bagi mereka yang meninggalkan salat pertama kali dan hukuman mati pada kali berikutnya. Mereka juga melegalkan perbudakan. Konon, Tuanku Imam Bonjol memiliki 70 orang budak yang merupakan hasil rampasan ketika mereka memerangi kelompok adat yang menolak dakwah mereka.

Fakta ini menegaskan bahwa tujuan utama kaum paderi adalah menegakkan syariat Islam. Namun apakah kaum paderi sama belaka dengan kelompok Wahabi? Hal itu perlu untuk dikaji lebih jauh.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kelompok Wahabi menganggap tasawwuf sebagai kegiatan yang mengandung kemusyrikan, namun kaum paderi dan tarekat tasawuf malah bergandengan erat. Salah satu guru yang dimuliakan oleh kaum paderi adalah Tuanku nan Tuo (1723 – 1830 M). Beliau adalah penganut dan pengajar tarekat Syattariyah. Beliau juga merupakan guru dari Tuanku nan Renceh dan Harimau nan Salapan, tokoh-tokoh penggerak paderi. Demikian juga dengan Syekh Jalaluddin Cangkiang, tokoh awal tarekat Naqsyabandiah. Ada pula Syekh Ibrahim bin Pahati Kumpulan, seorang Ulama Besar pejuang pasukan padri yang merupakan tokoh tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera.

Wahabi mengharamkan maulid Nabi, tetapi Syekh Jalaluddin Cangkiang merupakan orang yang pertama kali melakukan perayaan Maulid Nabi, dan itu di masa padri. Kaum padri juga gemar melakukan ziarah kubur ke makam para ulama dan rata-rata mereka adalah pelaku tasawwuf.

Dalam “Inlandsche getugenissen aangaande de Padri-oorlog” yang ditulis Ph.S. van Ronkel di majalah berbahasa Belanda, De Indische Gids, edisi ke-37, tahun 1915, disebutkan bahwa salah satu wasiat Tuanku Imam Bonjol kepada salah seorang putra yang ditunjuk untuk menggantikannya ialah:

“Akui hak para penghulu adat. Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah.”

Ini menunjukkan fakta bahwa Tuanku Imam Bonjol menghormati adat dan ideologinya berbasis pada Asy’ariyyah karena mengenal sifat 20, berbeda dengan Wahabi.

Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008 , Jakarta: Serambi, 2008, hal. 311, Ricklefs menulis:

“Suatu kelompok yang terdiri atas tiga orang haji, yang kembali ke Minangkabau pada tahun 1803 atau 1804, terilhami oleh penaklukkan Mekkah (pada awal tahun 1803) oleh kaum pembaharu-pemurnian Wahhabi dan, seperti Wahhabi, ingin menggunakan kekerasan untuk memperbarui masyarakat Minangkabau.

Gerakan Padri menentang perjudian, sabung ayam, aspek-aspek hukum adat setempat yang didasarkan pada garis ibu (khususnya mengenai warisan), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam yang formal. Akan tetapi, mereka tidak mengikuti semua pemurnian gerakan Wahhabi di Tanah Arab, kerena mereka tidak menentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat.”

Dari berbagai keterangan diatas bisa kita tarik garis kesimpulan pada tujuan utama gerakan paderi adalah memberlakukan syariat Islam di Minangkabau. Meskipun mereka terinspirasi dari gerakan Wahabi di Saudi, namun secara akidah dan fikih, mereka berbeda sekali, dan tetap bercorak Nusantara. Barangkali siasat adu domba yang dilakukan oleh pihak Belanda sebagai penjajah saat itu yang membuat beberapa fakta sejarah menjadi kabur sehingga terkesan bahwa kelompok paderi adalah sama seperti kelompok wahabi.

Lantas bagaimana perkembangan gerakan Salafi pada masa berikutnya hingga ke zaman modern? Simak tulisan saya berikutnya.