Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. III)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. III)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. III)

Dalam al-Quran, kata “ash-shiyâm” yang berarti puasa disebut dalam ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah atau dinamakan dengan “ayat Madani”. Sebelum hijrah, kata “shaum” disebut hanya sekali, yaitu dalam QS. Maryam 26 yang menceritakan tentang nadzar Maryam untuk berpuasa. Kata shaum dalam ayat ini menurut sebagian mufassir artinya menahan diri dari makan, minum dan berbicara. Pendapat lain mengatakan, hanya berpuasa dari berbicara, yakni diam. (Ath-Thabarî, 2000: XVIII, 184).

Sedikitnya pembahasan tentang puasa dalam al-Quran pada saat Nabi di Makkah bukan berarti masyarakat saat itu tidak mengenal puasa. Puasa sudah sangat dikenal di dalam masyarakat Arab pra Islam. Tidak disebutkannya kata “shaum” tidak lebih karena Nabi masih mengikuti ritual puasa yang berkembang, yakni belum menciptakan atau memodifikasi ritual tersebut. Dalam bahasa teologisnya “belum ada perintah dari Tuhan (wahyu)”.

Perintah puasa di dalam Islam kata Abî Bakr ‘Utsmân bin Muhammad Syaththâ (w. 1300 H), penulis kitab I’ânah ath-Thâlibîn, baru dimulai satu tahun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yakni pada bulan Sya’ban tahun ke 2 H. Selama hidupnya Nabi hanya mengalami puasa Ramadan sebanyak 9 kali, karena sejak hijrah hingga wafat Nabi tinggal di Madinah selama 10 tahun. (2003: II, 358).

Jika puasa sudah diketahui oleh masyarakat Arab pra Islam, lalu apa kebaruan di dalam puasa Arab Islam? Satu-satunya puasa yang diwajibkan di dalam Islam adalah puasa pada bulan Ramadan dengan tata cara tidak makan, minum, dan bersetubuh mulai dari terbitnya fajar yang kedua (al-fajr ash-shâdiq) hingga terbenamnya matahari. Konsep ini berdasarkan QS. Al-Baqarah 183-187.

Dari sisi ketentuan waktu, yakni pada bulan Ramadan, memiliki kesejarahan tersendiri. Pada masa pra Islam, masyarakat Arab khususnya orang-orang Quraisy yang menganut agama Hanîf “menyepi” atau ‘uzlah untuk mendekatkan diri kepada Allah di goa yang berada di pegunungan, seperti goa Hirâ`, Abu Qubais, dan Tsubair. Di tempat ini, orang-orang Quraisy, tak terkecuali Muhammad sebelum diutus menjadi nabi, menjalankan laku asketis (zuhud), berfikir (tafakkur wa ta`ammul) dan beribadah atau disebut dengan “tahannuts”.

Diinformasikan, Abu Thalib, paman Muhammad Saw sering menyuruh orang untuk pergi ke gunung atau goa guna mengantarkan makanan kepada Muhammad yang sedang beribadah di tempat tersebut. “Tahannuts” di goa ini dilakukan dalam waktu sebulan dalam satu tahun, yakni pada bulan Ramadan. (Jawwâd Ali, 1993: VI, 343, 404).

Setelah Islam datang, Nabi Muhammad menetapkan bulan Ramadan sebagai “bulan puasa (syahru ash-shiyâm)”. Pemilihan bulan ini besar kemungkinan -seperti kesimpulan John C. Blair, penulis buku Mashâdir al-Islâm yang meneliti sumber-sumber ajaran Islam- berdasarkan pada kebiasaan masyarakat Arab pra Islam yang menjadikan bulan Ramadan sebagai “bulan ibadah”. (1925: 109).

Kesimpulan demikian tidak mengurangi, apalagi menodai kesucian Islam yang didasarkan pada wahyu. Karena ajaran agama apa pun selalu erat kaitannya dengan tradisi dan kebudayaan setempat melalui adopsi dan adaptasi. Dari sini dapat dipahami bahwa Islam sejak awal kemunculannya tidak anti terhadap kebudayaan setempat.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang