Sejarah Piagam Madinah

Sejarah Piagam Madinah

Piagam Madinah dalam lanskap sejarah dan bagaimana Rasulullah membuatnya

Sejarah Piagam Madinah

Dalam sejarahnya, salah satu bentuk kesepakatan yang melibatkan kelompok Muslim dan non-Muslim yang cukup fenomenal adalah Piagam Madinah (tahun 622 atau 2 tahun sebelum terjadinya perang Badar). Naskah asli dokumen ini menyebut dirinya kitab (tulisan) sahifah (dokumen) dan sering dirujuk sebagau sebuah ’piagam’ dan ’konstitusi’.

Piagam Madinah berisi pernyataan bahwa warga Muslim dan Non Muslim Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa, dan orang Yahudi dan Kristen, serta non-Muslim lainnya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan. Ada penekanan tentang kesamaan hak antara Muslim dengan non-Muslim sebagai sesama warga negara. Dengan demikian, jaringan relasional Islam telah meluas kepada non-Muslim yang dirangkum dalam semangat tauhid yang meletakkan semua pada tingkatan yang sama (Kazuo Shimogaki, 1993).

Ketika nabi hijrah ke Yatsrib, umat Yahudi, dan suku-suku Arab politeis adalah kelompok mayoritas yang hidup di sana. Kaum anshar (penolong) yang sering dikaitkan sebagai penduduk lokal Yatsrib penerima dan penolong nabi dan rombongannya merupakan kelompok dengan jumlah kecil yang mendiami Yatsrib. Dalam sesnsus yang dilakukan pada masa Nabi saja nampak kelompok Muslim jumlahnya sedikit dibanding non-Muslim. Dari 10.000 penduduk Madinah saat itu, umat Muslim hanya berjumlah 1.500 orang. Umat Yahudi berjumlah 4000 orang, dan sisanya adalah suku-suku Arab (Rizal Panggabean, 2009).

Dari gambaran sensus tersebut jelaslah bahwa nabi dan para pengikutnya merupakan minoritas penduduk Madinah, di tengah sistem kesukuan dan dinamika setelah perang saudara. Selain itu suku Quraisy yang ikut hijrah bersama nabi adalah orang-orang yang kurang mampu yang mengantungkan pertolongan dari penduduk asli Yatsrib. Belakangan hari, nabi berhasil membentuk ikatan persaudaraan antara pendatang yang Muslim dengan penduduk lokal Yatsrib yang multi suku dan agama/kepercayaan.

Dalam situasi seperti ini, mengapa kepemimpinan Muhammad diterima di Yatsrib? Dua tahun sebelum hijrah, nabi sering dihubungi beberapa tokoh Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj yang sudah lama dilanda perang saudara. Kelompok Yahudi yang pada waktu itu telah berada dalam lindungan suku-suku Arab juga mengalami perpecahan.

Yatsrib benar-benar krisis, sehingga membutuhkan seorang tokoh untuk mempersatukan, yang bukan bukan dari kalangan lokal, melainkan orang luar yang berasal dari keluarga terhormat supaya dijadikan hakam atau arbitrator (pihak indepeneden yang ditunjuk untuk penyelesaian konflik/sengketa). Dan seorang hakam yang dimaksud ada pada sosok Muhammad yang saat itu sedang mencari sebuah tempat baginya dan para pengikutnya.

Kisah penyambutan penduduk Yatsrib, kaum anshar, kepada kaum muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah SAW, menjadi tonggak awal dari berdirinya masyarakat Madani. Untuk membangun masyarakat ideal berlandaskan nilai-nilai ketauhidan, Muhammad kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, kota peradaban.

Di kota ini pula, Muhammad berjihad untuk merekatkan persaudaraan antara kaum-kaum yang berbeda identitas kesukuan dan keagamaan. Salah satu bentuk ijtihad Muhammad tersebut tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam yang terdiri dari 50 butir kesepakatan itu mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan, suku, agama, kelompok berbeda yang sama berdiam di Madinah.

Sebagai contoh isi Piagam Madinah yang menghormati agama dan suku lain adalah pada pasal 16 “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum”.

Pasal ini mempertegas pembukaan piagam yang berbunyi “perjanjian ini dari Muhammad, seorang nabi, dilakukan diantara orang-orang beriman dan umat Islam dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta sispapaun yang mennyertai dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain”. Maka salah satu aspek terpenting dalam piagam ini adalah perubahan status sosial dari pertalian darah (al-nasab) ke pertalian nilai (ummah).

Piagam Madinah menamakan pihak-pihak yang menyepakati sebagai ummah wahidah, umat yang satu yang terdiri suku Quraisy pengikut nabi yang ikut berhijrah, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam, dan suku-suku Arab yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Suku-suku Arab yang politeis juga bagian dari ummah wahidah.

Suku-suku Arab menjadi salah satu pihak dalam piagam ini, dan terlebih istimewa, disebutkan secara khusus. Mereka adalah Banu Awf, Banu Sa’idah, Banu al-harith, banu Jusham, Banu al Najjar, Banu ’Amr bin ’Awf, Banu al Nabit, dan Banu al-Aws. Piagam ini melarang usaha balas dendam di kalangan yang menyepakati piagam ini, sebab salah satu tujuan ummah wahidah adalah mencegah sengketa internal berdarah.

Jika terjadi pelanggaran, proses penyelesaiannya dengan musyawarah yang melibatkan Muhammad, tidak dengan jalur mekanisme kesukuan lama.

Piagam Madinah merupakan salah bukti yang sah tentang bagaimana petnujuk Al qur’an difungsikan dalam masyarakat plural di bawah pimpinan Nabi. Muhamad Hamidullah asal India menyebut piagam Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia, jauh lebih dahulu dibanding Magna Catra. Sementara Munawir Sadzali menjadikan Piagam Madinah sebagai bukti bahwa nabi sendiri tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Pandangan lain diutarakan Nardisyah Hosein yang menyebut Piagam Madinah sebagai potret konstitusi yang demokratis. Dan yang lebih uniknya lagi dalam piagam tersebut tidak ada terma ’negara Islam’.

Namun beberapa kalangan juga melayangkan pikiran kritisnya dengan melihat Piagam Madinah belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip pluralisme, karena konstruksi umat yang dibayangkan masih cenderung mayoritas. Meskipun unsur-unsur yang membentuk civil society telah terbentuk di Madinah seperti prinsip keadilan, persamaan dan musyawarah, namun pengharagaan atas kewarganegaraan (citizenship) belum cukup terlihat.

Hal ini disebabkan karena proses pengambilan kebijakan masih didasarkan pada otoritas tunggal nabi yang memiliki keabsahan spiritual dalam menafsir keabsahan atas nama Tuhan (Aritonang, Namun yang perlu digarisbawahi adalah pada sebuah upaya membangun tata nilai kehidupan yang setara, yang tidak memihak dan menghormati pluralitas adalah sebuah fakta yang cukup menginspirasi dan perlu diadopsi dalam kancah kehidupan beragama dan sosial kita dewasa ini.