Tepat pada tanggal 17 Agustus 2019, seiring peringatan hari lahir Indonesia yang ke 74, seorang sahabat memasang status dengan tema “Hinaan Somad tentang Salib”. Saya pun langsung membuka Youtube untuk memastikannnya. Beberapa video pun ditemukan dengan beberapa judul yang berbeda-beda, diantaranya “Hukum Melihat Salib Menurut UAS”, “AS: Di Salib Ada Jin Kafir! Dasar Gob###!”, AS, Salib, Patung, dan Jin Kafir. Sebuah Tanggapan. Rm. Aba MSC”, “Tangkap UAS Hina Salib Jin Kapir”, Protes Mulai Berdatangan, AS Dipolisikan Terkait Video tentang Salib”, dan lainnya. Paling awal diupload tanggal 16 Agustus 2019 oleh Alumni Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Meskipun demikian, konten video itu sepertinya rekaman ceramah UAS yang sudah agak lama, tidak tahu persis waktunya.
Status FB teman dan video-video tersebut memotivasi saya untuk mencoba mempublish secara berkala coretan-coretan yang selama ini saya buat terkait tema “blasphemy law” atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan hukum tentang penodaan agama. Coretan-coretan ini adalah bagian dari hasil pembacaan saya tentang sejarah atau asal-usus dan problem kontemporer penerapan hukum penodaan agama di Indonesia.
Kita tahu bahwa Indonesia, sejak 27 Januari 1965 memiliki aturan khusus tentang penodaan agama, di mana ketentuan itu awalnya berupa Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketetapan ini kemudian menjadi undang-undang pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969, tanggal 5 Juli 1969, tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Selanjutnya akan kita sebut dengan UU No. 1/PNPS/1965. Bukan tema baru tentunya, khususnya buat teman-teman para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Memang, awalnya cukup kesulitan untuk memposisikan diri di tengah banyaknya kajian tentang undang-undang tersebut, khususnya pasca proses uji materil di depan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2009-2010. Namun demikian saya tetap berupaya mencari keterbaharuannya dengan mengedepankan sumber-sumber primer yang diperoleh khususnya dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional. (Terima kasih saya ucapkan terkhusus kepada sahabat Ayang Utriza Yakin yang menyarankan untuk berkunjung ke ANRI di tengah kebuntuan dalam menulis tesis/disertasi), hasilnya melebihi ekspektasi awal).
Sumber-sumber primer ini, sedikit banyaknya dapat menggambarkan kondisi riil sosial-keagamaan dan politik yang melatarbelakangi diterbitkannya ketentuan tentang penodaan agama di Indonesia. Konstruk sejarah ini selanjutnya dijadikan pijakan untuk menjelaskan bahwa ada pergeseran-pergeseran dalam penerapn UU No. 1/PNPS/1965 selama Orde Baru hingga sekarang.
Awalnya, kemunculan UU No. 1/PNPS/1965 adalah untuk menghambat perkembangan aliran-aliran kepercayaan di satu sisi, sebagaimana ditegaskan juga dalam salah satu pasal penjelasannya. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut lebih sering digunakan sebagai dasar atau alasan untuk melarang aliran-aliran keagamaan yang dianggap sempalan atau sesat, saya sebut “Gerakan Keagamaan Minoritas”. Bila pada masa sebelum reformasi para pimpinan Gerakan Keagamaan Minoritas ini tidak ada yang dipidana, belakangan hampir setiap ada komunitas Gerakan Keagamaan Minoritas yang baru, pemimpinnya akan dihadapkan ke pengadilan umum dengan tuduhan telah melakukan penodaan agama karena menyebarkan ajaran atau penafsiran yang berbeda dengan paham ortodoksi dalam satu agama, terutama Islam. Namun, bukanlah UU No. 1/PNPS/1965 sebagai dasar pertimbangan apparat penegak hukum dalam mengambil keputusan, tetapi pasal 156a KUHP yang sumbernya berasal dari pasal 4 undang-undang tersebut.
Selain itu, UU No. 1/PNPS/1965 juga menjadi referensi utama untuk menentukan mana agama yang “diakui” oleh Negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, meskipun yang terakhir pernah dianulir oleh pemerintahan Orde Baru dan diakui lagi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga sekarang. MK dalam putusannnya pada April 2010 memang menyatakan bahwa Indonesia tidak mengenal istilah agama yang diakui atau tidak diakui, namun pada kenyataannya praktik itu terjadi. Sebab, bisa dikatakan bahwa munculnya enam agama itu di dalam UU No. 1/PNPS/1965 adalah hasil perjuangan atau kompromi politik yang dilakukan oleh para perwakilan-perwakilan agama yang pada awal-awal kemerdekaan Indonesia belum diakomodir oleh Kementerian Agama, yang cukup terlihat adalah upaya dari perwakilan-perwakilan agama Hindu yang pada saat itu bernama Agama Hindu Bali atau Agama Bali Hindu.
Perlu diketahui bahwa di awal berdirinya Kementerian Agama, agama-agama yang diakomodir dalam struktur kementerian baru Islam dan Kristen (Prostestan dan Katolik Roma). Pada tahun 1958 Kementerian Agama mengakomodir Hindi Bali setelah agama ini berhasil menyesuaikan doktrin-doktrinnya dengan kriteria agama, bukan definisi agama, yang dibuat oleh elit-elit Kementerian Agama pada awal-awal tahun 1950-an.
Kembali kepada tema UAS yang saat ini sedang viral, entah ada motif apa di balik peng-upload-an, padahal yang bersangkutan saat ini sedang di luar negeri untuk melanjutkan studi doktoralnya, tulisan ini tidak akan menghakimi yang bersangkutan apakah salah atau tidak. Biarlah apparat penegak hukum yang akan memprosesnya bila laporan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Brigade Meo Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 17 Agustus 2019 kemarin dapat diterima dan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian setempat. Tulisan ini hanya sekader akan menjelaskan konstroversi tentang penggunaan istilah blasphemy/blasphème atau penodaan agama dari masa ke masa, di mana Jacques de Saint Victor (2016) menyebutnya sebagai bentuk dari “crime imaginaire” (kejahatan imaginer), kejahatan yang korbannya secara fisik tidak bisa dihadirkan secara langsung atau disebut juga kejahatan tanpa ada korban.
Karena maknanya yang subtil atau lentur itulah maka pembahasan tentang penodaan agama menjadi sangat luas dan rumit, bisa dilihat dari berbagai perspektif, tidak melulu keagamaan tetapi bisa juga lainnya, diantaranya hukum dan politik. Dan pada taraf tertentu, keberadaan hukum tentang penodaan agama ini bisa mengilustrasikan adanya konflik antara kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Penodaan agama menjadi tolak ukur untuk mengetahui kebebasan mana yang lebih unggul dalam konflik ini.
Selain itu, melalui penodaan agama kita dapat mengetahui lebih jauh bagaimana situasi keagamaan dalam masyarakat tertentu. Penodaan Agama tidak hanya digunakan sebagai instrument kekuasaan, untuk memperkuat kekuasaan politik, tetapi juga sebagai instrument untuk mencari pengaruh, terutama bagi kelompok-kelompok keagamaan radikal.
*) Ayub El-Rifki PhD, lulusan Ecole Doctorale en Droit et Relations entre Religions et Etats at Univesite Paris XI.