Meskipun era imam mazhab dalam bidang fikih baru muncul di abad kedua dan ketiga hijriah, hal ini bukan berarti bahwa sebelum masa itu belum ada sarjana-sarjana ahli fikih yang kompeten dan telah menulis karya dalam bidang tersebut. Musthafa Ahmad Zarqa dalam Al-madkhal al-Fiqhi al-Am; Ikhraj Jadid bi Tathwir fi Tartib wa at-Tawbib wa Ziyadat, membagi periodesasi pembukuan kitab fikih menjadi delapan periode. Pertama, masa risalah kenabian (masa kehidupan Nabi). Kedua, Masa khalifah rasyidin sampai pertengahan abad pertama Hijriyah. Ketiga, masa pertengahan kedua abad pertama Hijriah hingga awal abad kedua di mana perkembangan madrasah dan madzhab fikih muncul. Dalam ketiga masa ini, dua periode pertama merupakan awal perkembangan kitab fikih dan periode ketiga merupakan independensi fikih sebagai disiplin ilmu mandiri. (untuk periode ke-empat dan seterusnya secara lebih lengkap silakan baca dalam Musthafa Ahmad Zarqa, 2004: 159-166)
Mustafa Azami dalam bukunya berjudul, Studies In Early Hadith Literature, menyebutkan bahwa tradisi penulisan kitab fikih telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi. Jabir ibn Abdullah menulis kitab manasik. Zaid ibn Tsabit menulis kitab faraidh, al-Sya’bi membahas masalah talaq, faraidh dan juga jirahah (pidana). Selain itu, berdasarkan temuan Fuat Sezgin, generasi setelah sahabat, sejumlah karya fikih yang ditulis oleh para tabiāin semakin banyak dan luas. Di antaranya adalah Kitab al-Manasik karya Qatadah ibn Di’amah (w. 118 H/736 M), Kitab Manasik al-Hajj wa Adabuhu dan Kitab al-Majmu’ karya Zaid ibn ‘Ali (w. 122 H/740 M)
Ceceran Lembaran Naskah Fikih
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menuturkan bahwa Ibn Al-Hanafiyyah, putera Sayyidina Ali ibn Abu Thalib menuturkan bahwa suatu ketika ia pernah disuruh oleh ayahandanya untuk mengantarkan sepucuk kertas kepada Sayyidina Utsman yang berisi tulisan tentang sabda-sabda Nabi ihwal sedekah.
Sa’d ibn Ubadah (w. 15 H) yang juga merupakan salah seorang sahabat Nabi juga memiliki catatan berupa lembaran yang merekam apa yang disabdakan ataupun yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tentang syariat atau hukum Islam (baca; fikih). Begitupula dengan risalah yang cukup terkenal yang ditulis oleh Sayyidina Umar ibn Khaththab kepada Abu Musa al-Asy’ari dan risalah lainnya yang ditujukan kepada Muawiyah tentang putusan hukum.
Ibn Yunus (w. 347 H/ 985 M) seorang sejarawan asal Mesir memberikan informasi berharga terkait dengan murid Abdullah ibn Amr al-Ash (W. 65 H/ 684 M), yakni Husain ibn Syufai (129 H/746 M) yang meriwayatkan dari gurunya dua buah kitab berjudul “Qadha Rasulullah SAW fi kadza, wa Qaala Rasulullah SAW kadza” dan kitab berjudul “Ma Yakunu min al-Ahdats ila Yawm al-Qiyamah”.
Selain Abdullah ibn Amr al-Ash, terdapat sejumlah sahabat Nabi lainnya yang memiliki catatan-catatan tentang masalah fikih. Salah satunya adalah sahabat Nabi yang masyhur sebagai sekretaris pribadi Nabi, Zaid ibn Tsabit.
Risalah-risalah tersebut di atas dengan segala penyebutan nama terhadapanya, dilihat dari isinya, merupakan sebuah risalah yang tidak lain adalah bagian dari disiplin ilmu fikih. Inilah cikal bakal ditulisnya karya-karya fikih oleh sarjana-sarjana Islam yang datang setelahnya. Dari risalah-risalah fikih yang tercecer ini kemudian pada gilirannya memantik mereka yang datang belakangan untuk menulis karya fikih secara lengkap dan sistematis. (Bersambung)