Di dalam penanggalan Islam, Muharam adalah bulan paling awal dalam kalender Hijiriyah. Dimulai ketika Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijiriyah ini kemudian dipergunakan dalam penanggalan Jawa, bulan Muharam dikenal dengan bulan Sura (Sasi Suro).
Kalender Jawa Islam dimulai bukan oleh pemula kerajaan Islam di Jawa, yaitu Demak, akan tetapi dimulai setelah Raja Mataram melakukan ziarah di desa Wedi, sekarang masuk kabupaten Klaten Jawa Tengah. Di desa tersebut terdapat komplek pemakaman dengan tokoh sentral Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat.
Hal tersebut di atas menarik karena meruntuhkan pendapat bahwa kerajaan di pedalaman selatan Jawa ini cenderung abangan dibandingkan kerajaan kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa yang lebih santri. Sekaligus membantah bahwa Mataram tidaklah kerajaan maritim sehingga kurang akrab dengan khazanah dunia Islam.
Sultan Mataram
Mataram Islam adalah contoh perpaduan budaya bahari pantai utara dengan budaya agraris pedalaman. Sebagai kerajaan di pedalaman pesisir selatan Jawa. Mataram sebagai kerajaan baru, nmeski berada jauh di pedalaman selatan Jawa Tengah, tetap mencari sumber legitimasi kekuasaanya kepada para Wali Songo, khususnya Sunan Giri dan Sunan Kalijaga yang berkedudukan di pantai utara pulau Jawa. Maka wajar kalau corak Islam di Mataram mengikuti model kerajaan-kerajaan di pesisir pantai utara Jawa, berbeda dengan pemahaman umum belakangan ini bahwa model pasisiran berbeda dengan pedalaman. Bahkan kemudian kerajaaan kerajaan di Pantura Jawa menjadi pelabuhan pelabuhan sebagai pintu masuk ke Mataram.
Gelar Sultan Mataram bersumber dari Mekah, adalah bukti Mataram tidak hanya mempunyai pelabuhan di pantai utara Jawa, akan tetapi juga mempunyai perspektif hubungan internasional, tidak hanya dengan dunia Islam tetapi juga dengan Eropa. Sultan Mataram ini dalam tradisi Jawa dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Menurut HJ. De Graaf (1986), Mataram mengirim utusan ke Mekah (1641-1642) untuk meminta gelar Sultan seperti yang diperoleh Pangeran Banten. Inggris membantu pelayaran tersebut, hingga berita soal pemberian gelar tersebut berasal dari berita Inggris, dalam logat Inggris gelar tersebut adalah Sultan Abdul Mahometh Moulana Matarani (maksudnya Sultan Abdulah Maulana Matarani).
Sultan Agung atau Sultan Mataram bisa dipandang berhasil mendirikan kekuasaan Islam dibandingkan pendahulunya yaitu Panembahan Senapati dan Prabu Seda ing Krapyak, tidak saja secara politik tetapi juga secara spiritual.
Sultan Agung, di masa mudanya bernama Raden Jetmiko lalu berubah menjadi Raden Mas Rangsang. Setelah menjadi raja bergelar Pangeran Ingalaga. Pergantian gelar dari Pangeran Ingalaga menjadi Susuhunan Ingalaga Mataram dilakukan pada peringatan Garebek pada tanggal 16 Agustus 1624 menunjukan dari sang Pangeran berhasil memperluas kekuasaannya.
Dalam kesehariannya Sultan Agung memakai kopiah (kuluk) putih dan terompah kayu layaknya seperti santri. Dia juga mengharuskan para pejabat kraton dan para prajuritnya untuk khitan, memotong rambut, dan sholat Jum`at, yang tidak terjadi lagi setelah Sultan Agung wafat.
Kalender Baru
Ketika kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan yang selanjutnya disebut Ki Ageng Mataram, sesungguhnya di wilayah tersebut bukanlah daerah kosong, melainkan bekas pusat peradaban Jawa kuno yang dikenal dengan Mataram Hindu dan paling tidak ada tiga desa perdikan sewaktu kerajaan Mataram Islam didirikan di mana desa-desa tersebut tidak serta merta mau tunduk dengan kerajaan baru Mataram. Desa-desa tersebut adalah Giring, Mangir, dan Tembayat.
Di wilayah Mataram juga ada situs yang menunjukan pengislaman wilayah Mataram, diantaranya adalah makam keramat Syekh Jumadil Qubra di Bukit Turgo daerah sekitar Gunung Merapi dan Syekh Bela-Belu, dan Syekh Maulana Maghribi di sekitar Parangtritis pantai selatan.
Di awal konsolidasi kekuasaanya, Mataram telah berhasil melakukan penyelesaian politik dengan Ki Ageng Giring sehingga bersedia menerima kepemimpinan Mataram (lihat Ki Ageng Giring dan Akhir Perjanjian Mataram Baru https://islami.co/ki-ageng-giring-dan-akhir-perjanjian/). Sedangkan dengan Ki Ageng Mangir, penyelesaian meliputi membutuhkan tindakan militer, perkawinan dan tipu muslihat sehingga Mangir tidak menjadi tantangan lagi bagi Mataram.
Tembayat justru baru menjadi perhatian Mataram justru di puncak kebesaran kekuasaan Mataram, namun ketika Mataram mengalami krisis ekonomi, politik dan militer pasca gagalnya secara beruntun serangan Mataram kepada kompeni Belanda di Batavia pada tahun 1628-1629.
Pasca gagalnya serangan Mataram ke Batavia, Mataram mengalami pemberontakan di Jawa Barat dan di dekat jantung kekuasaan Mataram sendiri, yang mengakibatkan keresahan di 25 Desa yang berpusat di Desa Wedi, Tembayat.
Menurut H. J. De Graaf (1958), dengan mengutip sumber Belanda, bahwa di pedesaan terjadi penggalangan untuk melawan Mataram yang dilakukan oleh gerakan mistik keagamaan. Dengan merujuk ke Babad Sangkala, De Graaf menyebutkan bahwa kejadian pemberontakan tersebut terjadi pada tahun Jawa 1552 (1630 Masehi).
Disebutkan dalam Babad Sangkala, bahwa “tidak lama kemudian pada tahun itu, banyak orang mengalami kehancuran, karena masuk perangkap, orang-orang desa tertimpa bencana; di sebelah selatan Wedi, orang berguru pada Syekh Bongas”
Tidak cukup sumber sejarah mengapa, bagaimana dan pemberontakan ini berakhir. Apakah hanya faktor klaim genealogis kepemimpinan tradisional yang lebih tua dibanding Mataram, mengingat Tembayat tumbuh di masa Demak kemudian Pajang ? Adanya keresahan petani akibat perang ? Dan apakah ziarah Susuhunan Mataram bagian dari penyelesaian pemberontakan tersebut.
Merujuk kepada Babad Nitik dan Serat Kanda, De Graaf menyebutkan Susuhunan Mataram melakukan ziarah ke makam Ki Ageng Pandanaran (Sunan Pandanaran), dan memerintahkan pemugaran komplek pemakamakan tersebut. Mataram dan Tembayat memiliki rujukan spiritual yang sama yaitu kepada Sunan Kalijaga.
Yang paling penting dari episode ziarah Tembayat adalah keputusan merubah Tahun Saka menjadi tahun Jawa Islam pada tahun 1633. Bagi De Graaf, perubahan kalender ini menunjukan kesadaran kemusliman yang lebih kuat.
Lebih dari yang disebutkan De Graaf, Mataram berkembang tidak hanya sebagai pusat kekuasaan politik di Jawa dan beberapa kerajaan di luar Jawa, tetapi juga menciptakan kesultanan Islam yang baru. Hal ini ditandai dengan Mataram kemudian menaklukan Giri, kerajaan yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Gresik Jawa Timur dan merubah gelar Susuhunan Mataram menjadi Sultan Mataram berdasarkan surat dari Mekah.
*Penulis adalah anggota WAG Sharing Keistimewaan DIY dan turut mempromosikan hak petani, nelayan dan masyarakat perdesaan