Sejarah Jilbab Bukan Cuma Selembar Kain

Sejarah Jilbab Bukan Cuma Selembar Kain

Nah,sejarah jilbab sebenarnya bukan sekadar penutup kain belaka. Lalu apa?

Sejarah Jilbab Bukan Cuma Selembar Kain

Beberapa waktu lalu beredar video pendek tentang percobaan sederhana terkait jilbab di media sosial. Pada adegan pertama seseorang perempuan memakai blus pendek dan celana panjang melewati jalan di mana di pinggaran jalan segerombol laki-laki duduk santai. Demi melihat perempuan ini, mereka bangkit dan segera menggoda. Dari suitan hingga kata-kata yang menganggu dari orang-orang tak dikenal itu. Perempuan itu cemas dan segera berjalan cepat menjauhi mereka.

Pada adegan kedua, perempuan yang sama memakai jilbab dengan baju lengan panjang longgar dan celana panjang. Laki-laki yang dimaksud masih sama, bergerombol di pinggir jalan, tapi menjaga sikap. Mereka menunjukkan rasa hormat.

Memang ini video tentang keunggulan berjilbab. Video ini nampaknya dipakai untuk kampanye pentingnya menggunakan jilbab. Sekilas, video ini seperti biasa saja. Wajar jika ada perubahan sikap karena perubahan busana. Wajar perempuan berjilbab lebih dihormati ketimbang mereka yang tidak berjilbab. Wajar jika perempuan digoda karena tidak menutup auratnya. Wajar, benarkah?

Jilbab memiliki sejarah yang panjang. Penutup kepala semacam jilbab sesungguhnya sudah ada sebelum Islam datang, bahkan dikenakan oleh perempuan dari berbagai tradisi agama. Kenyataan ini memang membutuhkan kebijaksanaan dan pengetahuan tersendiri sehingga kita tidak terburu-buru menghakimi. Ada kalanya kita menjumpai orang yang memakai jilbab sebagaimana orang Islam memakainya dan kalangan tertentu menganggapnya meniru Islam.

Maka meluncurlah komentar negatif dan kecurigaan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi jika kita mau berpikir panjang sebelum menyampaikan penilaian. Kita ingin menjadi Islam yang ramah, tapi kita tidak sanggup menahan diri hingga hanya bisa mencapai derajat Islam marah.

Keadaan semacam ini tidak lepas dari trend Islamisasi sekarang ini. Orang gemar memakai simbol-simbol Islam, termasuk jilbab, dan senang melakukan aktivitas keislaman semacam pengajian. Gejala positif ini sayangnya juga diikuti dengan beberapa efek samping. Misalnya, sebagian dari mereka memiliki semangat ber-Islam tinggi tetapi belum memiliki kelimuan yang mumpuni.

Walhasil berjilbab menjadi indikasi penting bahkan menjadi satu-satunya seseorang dicap Islam atau tidak, kaffah atau pemula. Beberapa muslimah kadang memilih berjilbab karena tidak tahan dengan tekanan sekitar—siapa yang tahan jika tidak berjilbab kemudian dianggap tidak satu golongan dan karenanya dilainkan.

Jilbab sendiri bukan sekedar selembar kain penutup kepala. Ia memiliki makna ideologis yang terus dipertarungkan. Jilbab bisa dimaknai sebagai bentuk opresi kepada perempuan, sebagai bagian dari pembebasan bahkan sebagai alat kapitalisme menaikkan omset penjualan. Dalam konteks Indonesia, isu jilbab masuk menyusul pecahnya Revolusi Iran pada tahun 1979. Dengan situasi semacam ini, jilbab menjadi tradisi baru bagi mereka yang ingin berjilbab tapi rezim Orde Baru melarangnya.

Jilbab menjadi satu paket dengan agenda perlawanan penindasan. Ketika rezim berganti, suasana global berganti, jilbab seringkali memiliki hubungan erat dengan trend fashion yang silih berganti. Kita senang menikmatinya tetapi yang paling bahagia adalah para kapitalis sejati. Jilbab bahkan bisa jadi alat opresi di mana perempuan Muslim diwajibkan berjilbab oleh institusi. Tidak ada pilihan lain karena yang lain ini berarti menanggung resiko tidak dilayani publik atau dicap melanggar peraturan sekolah negeri tertentu. Kenyataan semacam ini menjadi ambigu mengingat persoalan jilbab bukan sesuatu yang tunggal hukumnya.

Dalam khazanah Islam Nusantara, setidaknya kita bisa menyebut dua ulama besar yang menulis tafsir, yakni Buya Hamka dan Quraish Shihab. Jilbab yang dibahas dalam QS. Al-Ahzab: 59 dan QS. al-Nur: 31 dijelaskan oleh Buya Hamka sebagai “perempuan menutup aurat sesuai dengan budaya masing-masing”. Dalam hal ini, cara berpakaian  misalnya di negeri Barat dan Timur tidaklah sama. Al-Qur’an, seperti disebutkan dalam Tafsir al-Azhar, bukanlah buku mode yang menjelaskan detail busana yang harus dikenakan perempuan.

Menurut Buya Hamka, yang dikehendaki dalam firman ini adalah pakaian yang menujukkan rasa iman kepada Allah SWT sekaligus pakaian yang menunjukkan kesopanan. Pakaian yang dimaksud adalah pakaian yang tidak memamerkan badan untuk menjadi tontonan laki-laki. Dalam hal ini, meskipun menutup aurat tetapi memiliki jahitan ketat, misalnya, maka ia belum memenuhi syarat.

Aurat, dijelaskan Buya Hamka di buku 101 Soal Kehidupan, dibedakan antara aurat dalam sholat dan aurat di luar sholat. Aurat dalam sholat adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Adapun aurat di luar sholat dipraktekkan dalam pemakaian yang sopan, layak, dan menarik perhatian laki-laki.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah terkait QS Al-Ahzab: 59 menyatakan bahwa ayat ini tidak memerintah seorang muslimah untuk memakai jilbab. Bagi alumnus Universitas Al-Azhar ini pada zaman itu nampaknya perempuan sudah memakai  namun belum memenuhi kriteria yang dikehendaki yakni diulurkan ke seluruh tubuh. Redaksi ini berlaku bagi yang berjilbab dan yang tidak.

Dalam buku Wawasan Al-Quran, ayat ini meskipun bernada perintah namun menurut Quraish Shihab tidak semua perintah merupakan perintah yang sifatnya wajib. Berdasarkan hadits yang berhubungan jilbab, beliau juga menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah perintah “sebaiknya” bukan “seharusnya”. Selain itu, QS. Al-Nur: 31 tidak menyebutkan batas aurat sehingga tidak bisa dipastikan bagian mana saja yang mesti ditutupi. Quraish Shihab bahkan menukil pendapat yang menyebutkan bahwa jilbab merupakan tradisi bangsa Arab yang tidak bisa dipaksakan kepada tradisi dan adat yang lain.

Kedua pandangan ini memang bertolak belakang. Quraish Shihab menyatakan jilbab tidak wajib dan Buya Hamka sebaliknya. Seseorang bisa memilih salah satu pendapat ini sesuai dengan kemantapan hati-hati. Keduanya ulama yang mumpuni di bidangnya sehingga layak dijadikan sandaran.

Bagi penulis, jika seseorang memilih berjilbab dengan kesadaran sendiri maka hal ini merupakan pilihan yang patut dihormati. Ia juga merupakan pilihan yang baik. Namun, yang baik ini bukan berarti memiliki “keistimewaan” atau “privilese” untuk menganggap mereka yang berbeda sebagai tidak baik atau tidak layak diperlakukan dengan baik. Berjilbab lebar bukan berarti boleh memandang yang berjilbab standar sebagai kurang syar’i.

Berjilbab juga bukan berarti bisa membenarkan bahwa gerombolan mas-mas di pinggir jalan boleh menggoda, bahkan melecehkan, mereka yang tidak berjilbab. Pada saat yang sama, para mas-mas juga tidak berhak mengklaim dirinya memiliki lisensi untuk menggoda, bahkan melecehkan, mereka yang tidak berjilbab. Menggoda adalah menggoda. Melecehkan adalah tetap melecehkan. Keduanya tidak bisa ditoleransi sama sekali. Sesama muslim-muslimah tidak boleh menyakiti, bukan? Wallahu A’lam