Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-2)

Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-2)

Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-2)

Tindakan Abu Bakar bukan tanpa preseden. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun di dalam perang Shiffin menegaskan bahwa Islam melarang muslim untuk menyetop suplai air kepada musuhnya. Lebih jauh, Okasha el-Daly di dalam bukunya Egyptology: Missing Millenium (2005) memuat satu hadits spesifik yang berkaitan dengan Mesir dan etika di dalam perang.

Di dalam hadits yang menyebut bahwa kelak kaum muslim akan menaklukkan Mesir (Baca: Siasat Islam Menghadapi Militerisme-Bag1).

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kalian akan memasuki Mesir, negeri di mana qirat (unit uang) digunakan. Bersikap lemah-lembutlah pada mereka karena kita punya hubungan yang erat dan hubungan perkawinan. Manakala kalian memasuki Mesir setelah kematianku, rekrutlah banyak tentara dari Mesir karena mereka merupakan tentara terbaik di dunia. Mereka dan para istrinya tetap bertugas hingga Hari Kiamat. Bersikap baiklah pada orang-orang Koptik Mesir. Kalian akan mengambil alih posisi mereka. Tapi mereka akan menjadi alat dan pertolongan. Bersikap ikhlaslah kepada Allah atas orang-orang Koptik.”

Pendek kata, sejarah masa nabi Muhammad dilanjutkan Khulafa al-Rasyidun menunjukkan bahwa kepentingan militer tunduk pada kepentingan non-militer, yakni sipil. Bahasa lainnya adalah supremasi sipil. Momen sejarah berikutnya menampakkan hal sebaliknya. Dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah yang membalikkan kepemimpinan dari dipilih menjadi warisan turun-temurun, mempertontonkan tindakan-tindakan yang militeristik.

Hal ini diakibatkan oleh gubernur-gubernur yang ditunjuk sebagai penguasa merupakan sekaligus sebagai panglima bala tentara. Gubernur paling terkenal sebagai berdarah dingin adalah al-Hajjaj bin Yusuf yang menghancur-leburkan kekhilafahan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Al-Hajjaj tidak segan-segan memerintahkan penghancuran Mekkah bahkan perusakan Ka’bah sebagai taktik militernya.

Namun, sejarah Islam di mana kekuasaan sangat kental diwarnai aspek militeristik, bukanlah satu warna. Komunitas muslim yang beragam mengembangkan sendiri siasat-siasatnya dalam melawan watak militeristik dari penguasa. Kemunculan para tokoh spiritual sebagai ikon gerakan moral melembaga dalam tradisi tasawuf. Berbeda dengan penguasa yang menggunakan “tangan besi” para tokoh sufi mendapatkan otoritasnya dari kecerdasan, kemurnian moral, contoh kezuhudan, bahkan kemampuan supranatural.

Gerakan tarekat yang mirip dengan struktur militer merupakan refleksi dari warna militeristik dari sejarah kekuasaan di Imperium Islam. Kemunculan para tokoh sufi sangat lazim sebagai kritik terhadap budaya istana dan elit-elit politik yang cenderung hedonis dan korup.

Selain tradisi tasawuf, berkembang juga tradisi literer yang luar biasa dalam sejarah Islam. Tradisi literer ini mengusung ketertiban hukum, bukan ketertiban yang militeristik, dengan tujuan keadilan dan kemaslahatan sosial-kemasyarakatan. Tradisi literer ini dalam khazanah peradaban Islam sendiri disebut Adab. Di lain pihak, tradisi yurisprudensi atau fiqh juga mengutamakan bagaimana hukum diperlukan dengan orientasi lebih ke arah maslahah, perdamaian, tertib sosial.

Lebih jauh, di kalangan rakyat juga berkembang cerita rakyat atawa folklore yang sering kali isinya bisa kritik sosial, politik, ekonomi, budaya, kekuasaan bahkan keagamaan sendiri. Kisah-kisah legendaris macam Abu Nawas maupun Nasruddin Khoja merupakan bukti yang sukar dibantah. Misalnya kisah berikut yang bersumber dari Abu Nawas vis-à-vis Khalifah Harun al-Rasyid. Beredar kabar bahwa Abu Nawas sering menyebut-nyebut bahwa Khalifah Harun al-Rasyid suka fitnah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga sang Khalifah. Tidak suka dengan tuduhan tersebut, tentu saja Khalifah Harun al-Rasyid akhirnya memanggil Abu Nawas ke hadapannya. Saat di hadapan baginda, Abu Nawas mengaku bahwa kabar itu benar adanya. Dengan wajah merah padam, sang baginda memerintahkan algojo mempersiapkan upacara pemancungan karena dirinya telah dihina.

Abu Nawas menyela, “Maaf baginda bolehkah hamba membela diri?” “Apa lagi? Mulutmu sudah mengaku bahwa kamu menuduhku suka fitnah,” cecar baginda. “Ampun beribu ampun baginda, yang hamba katakan dengan fitnah itu berkaitan dengan QS. Al-Anfal:28, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan/fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar,” ujar Abu Nawas dengan lirih. “Apa kaitannya ayat itu denganku?” sahut sang baginda. “Baginda sebagai sang raja dan seorang ayah, tentu sangat menyukai kekayaan dan anak-anak. Berarti baginda suka akan fitnah itu,” sahut Abu Nawas tanpa kehilangan rasa takzim. Kata-kata yang tajam, namun tak bisa dibantah.

Cerita-cerita semacam acap kali ditemukan di berbagai belahan dunia Islam. Cerita-cerita rakyat sejenis ini menggambarkan dengan elok dan memikat bagaimana rakyat jelata berhadapan dengan kekuasaan dan melakukan tindakan-tindakan yang menyiasati kekuasaan yang cenderung militeristik. [ Habis]

 

Riza Bahtiar, pemerhati kebudayaan