Anggap saja saya sebagai seorang Muslim yang tidak mempermasalahkan melukis atau menggambar Nabi Muhammad. Apakah saya akan marah menyaksikan hinaan kartun Nabi Muhammad di cover depan majalah Charlie Hebdo itu? Jawabannya adalah iya! Nurani saya terusik bahkan tersakiti karenanya.
Saya, dan Anda, bisa menyaksikan lukisan Nabi Muhammad seperti yang terdapat di perpustakaan Topkapi Istambul dan perpustakaan Universitas Edinburgh Skotlandia. Silakan tinggal ketik saja di ponsel pintar Anda! Sekalipun terlarang, tetapi pada lukisan-lukisan itu nampak sekali sang pelukis menuangkan kuasnya sebagai rasa takdzim, penghormatan kepada Nabi. Hal ini kontras dengan yang dilakukan oleh Charlie Hebdo!
Saya mencintai Nabi Muhammad dan masih terus mempelajarinya sampai hari ini. Di dalam proses mempelajari itu, saya menemukan jejak-jejak yang kentara bagaimana sebagian sarjana Eropa mengejek Nabi Muhammad. Sebenarnya hati saya teriris membaca komentar-komentar miring itu. Tetapi bagaimana lagi? Semua itu adalah fakta sejarah yang harus saya telan. Maksud saya, saya baca dan kritisi sembari memikirkan bagaimana sebenarnya pandangan-pandangan yang negatif itu bisa terlahir dan diamini sebagian masyarakat Eropa.
Kenapa Islam dan Nabi Muhammad menjadi bahan olok-olok oleh Majalah Charlie Hebdo? Termasuk sebagian warga Eropa khususnya yang anti-Islam?
Saya kira, semoga tidak berlebihan, apa yang dilakukan oleh majalah Charlie Hebdo itu terkait erat dengan sejarah panjang bagaimana pandangan miring sarjana-sarjana Eropa terhadap Nabi Muhammad dan Islam.
Sungguh, apa yang telah dilakukan majalah Charlie Hebdo, hanya akan menjadi batu sandungan dalam hubungan antarperadaban dan lintas iman yang telah dirintis selama ini. Mencatut keterangan Montgomerry Watt dalam buku Prophet and the Statesman, karya bernada cibiran, olok-olok, pencemaran, bahkan fitnah kepada Nabi Muhammad dan Islam tidak mungkin bisa dijadikan basis yang kuat untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan di antara umat manusia! (hlm. 350). Dia menambahkan, dari semua tokoh besar dunia, tidak ada yang begitu berlebihan mendapatkan hinaan sebagaimana Nabi Muhammad (Watt, 349).
Tentu saja, harus diakui, bahwa aksi-aksi kekerasan atas nama agama (Islam) seperti ISIS, jaringa Al-Qaeda, termasuk aksi terorisme di tanah air ikut berjasa dalam membangun citra negatif Islam di mata dunia. Bahkan, Charlie Hebdo juga mengatasnamakan perang terhadap Islam versi seperti itu dengan menampilkan kartun-kartun yang menyakitkan hati itu.
Akan tetapi, perlu diketahui juga, bahwa pandangan negatif terhadap Islam itu juga dibangun berkat kontribusi sebagian sarjana Barat. Ya, meskipun kini sudah banyak sarjana Barat yang menarasikan Nabi Muhammad dan Islam dengan pendekatan yang lebih simpatik, tetap saja, narasi bernada ejekan dari sebagian Orientalis itu masih ada, dan menancap mempengaruhi persepsi masyarakat dalam melihat Islam.
Olok-olok kepada Nabi Muhammad itu sebenarnya bukan hal yang baru terjadi belakangan ini saja, kok. Jauh sebelum perang Salib bergulir pada abad ke-12, sosok agung Nabi Muhammad pernah diplesetkan namanya menjadi Mahound, pangeran kegelapan. Pada era berkecamuknya perang Salib, Islam dan pengikutnya dipandang semacam lelucon yang akan berdampak buruk pada moralitas mereka (Watt, 350). Artinya, kamu jangan berdekat-dekatan dengan Islam, apalagi menjadi pengikutnya! Islam dipandang sebagai “musuh besar” bagi peradaban Eropa-Kristen.
Berikutnya, kita bisa menyaksikan bagaimana fitnah kepada Nabi Muhammad itu dinarasikan oleh para Orientalis abad pencerahan. Mulai dari Nabi dianggap sebagai penipu, terserang epilepsi, dan punya nafsu seksual yang bejat dan digambarkan secara keji mengidap pedofilia.
Sebelum membahasnya, sekali lagi, saya tidak bermaksud untuk menanamkan kebencian dalam diri Anda kepada Barat, tidak! Tetapi, inilah torehan kelam beberapa pandangan yang pernah dilahirkan oleh peradaban itu mengenai Nabi Muhammad dan Islam. Pandangan yang bersumber dari rasa seperioritas Barat yang menganggap dirinya maju, superior, dan berperadaban, sedangan Islam dan dunia timur sebagai terbelakang dan inferior!
Nabi Muhammad juga pernah digambarkan sebagai nabi palsu yang membawa berita bohong. Pandangan ini berasal prinsip bahwa tidak ada kebenaran di luar gereja. Kekristenan diyakini adalah ‘kebenaran’ dan tidak ada kebenaran di luar Kekristenan. Satu-satunya hal di luar agama Kristen adalah iblis (anti-Tuhan) dan karenanya Islam adalah karya iblis dan Muhammad terinspirasi olehnya. Dengan pemikiran seperti ini, maka tidak ada alasan untuk menerima Islam. Dan Muhammad tidak lain adalah nabi palsu. Informasi ini bisa dilihat dalam karya Jabal Muhammad Buaben berjudul Image of The Prophet Muhammad in West.
Lain lagi tuduhan tentang kejiwaan Nabi Muhammad SAW. Sebagian orientalis menyebutnya menderita epilepsi. Tuduhan ini dialamatkan setelah Nabi Muhammad pada waktu kecil mengalami pembelahan dada oleh dua orang malaikat. Orientalis seperti William Muir mengomentari bahwa Muhammad terserang penyakit epilepsi atau ayan.
Tuduhan penyakit epilepsi ini dikuatkan dengan yang dialami Nabi saat menerima wahyu dengan cara menjatuhkan butir-butir keringat dan badannya menggigil. Tuduhan ini kemudian disanggah oleh sejumlah sarjana Muslim yang menyatakan kesalahan para orientalis dalam membaca sirah Nabi. Mereka salah menerjemahkan kata Usĩb ke dalam bahasa Yunani menjadi epilepsi! Sarjana yang memandang Nabi Muhammad secara simpatik seperti Montgomery Watt juga menyanggah pernyataan ini.
Kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad, kiranya, mendapatkan sorotan kritik yang tajam dari para penulis Barat. Dalam pandangan filosofis dan keagamaan di Barat abad pertengahan, seks dan kesucian tidak dapat dipersatukan. Apalagi praktik poligami Nabi Muhammad. Perkawinan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Zainab binti Jahsyi, mantan istri Zaid bin Haritsah, yang pernah menjadi anak angkat Nabi, ditulis menjadi semacam roman percintaan.
Yang miris, Nabi Muhammad digambarkan terpesona oleh kecantikan ummul Mukminin Zainab saat sedang membuka pintu rumahnya dan mendapati Zainab sedang berada di kamarnya. Perkawinannya dengan Aisyah yang masih berumur sembilan tahun juga dituding sebagai bentuk pedofilia.
Allahumma shalli alaa sayyidina Muhammad!
Sungguh, di dasar hati, saya sebenarnya tidak ingin menuliskan semua ini: menarasikan ulang olok-olok, fitnah dan hinaan kepada kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tetapi itulah kenyataan yang terjadi dalam sejarah kesarjanaan kita. Tentu saja hati saya tersayat membacanya, apalagi menuliskannya seperti ini. Namun, harapan saya, semua ini bisa menyadarkan kita bahwa jihad menampilkan Islam sebagai agama kasih sayang tidak mengenal kata akhir.
Saya, Anda, dan kita semua memiliki tugas untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, mempelajari dan meneladani Nabi Muhammad sebagai panutan terbaik dalam laku hidup. Keselamatan, ketentraman, kedamaian, sebagai perwujudan upaya meneladani itu, dirasakan oleh diri kita, lingkungan, negara, dan dunia global yang sedang tidak baik-baik saja ini.