Sejarah Ibadah Haji

Sejarah Ibadah Haji

Sejarah Ibadah Haji

Ibadah haji telah ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ibadah ini diajarkan pertama kali oleh Nabi Ibrahim As. Beliaulah nabi yang pertama kali diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikannya sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta yang kurus. Mereka akan datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS al-Haj: 27).

Akan tetapi sebagian dari praktik-praktik ibadah haji tersebut pada masa-masa selanjutnya diselewengkan oleh sebagian umat yang tidak bertanggungjawab sehingga jauh dari substansi awalnya sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim As. Dari sini lalu Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan ibadah tersebut agar dikembalikan sesuai dengan ajarannya semula.

Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada umat Nabi Muhammad pada tahun ke-6 hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3 atau 5 hijriah) melalui firman Allah SWT:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.

Artinya:

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam” (QS Ali Imran: 97).

Kendati sudah diwajibkan, namun pada tahun tersebut Nabi dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena Mekkah ketika itu masih dikuasai oleh kaum musyrik. Baru setelah Rasulullah Saw. menguasai kota Mekkah pada tanggal 12 Ramadan tahun ke-8 hijriah beliau berkesempatan untuk menunaikannya.

Namun lagi-lagi karena ada prioritas lain yang harus beliau utamakan, pada tahun ini beliau terpaksa menundanya. Baru pada tahun ke-10 hijriah atau kurang lebih tiga bulan sebelum meninggal dunia, Rasulullah Saw berkesempatan untuk menunaikannya. Oleh karena itu, haji yang beliau lakukan disebut juga dengan haji wada’ (haji perpisahan), karena haji tersebut merupakan haji yang pertama dan sekaligus yang terakhir bagi beliau.

Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menilai bahwa ayat di atas menunjukkan kebijaksanaan Allah terhadap umat manusia. Meskipun Ia mewajibkan semua umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, akan tetapi Ia mengecualikannya untuk sebagian manusia yang memang tidak mampu untuk melakukannya.

Hal ini berarti Allah memaafkan dan sangat memaklumi kondisi mereka. Betapa tidak, karena ibadah yang satu ini merupakan ibadah yang memadukan dua hal secara sekaligus, yaitu ibadah badaniyah (ibadah yang berwujud fisik) dan ibadah maliyyah (ibadah yang membutuhkan biaya/harta), sehingga tidak semua orang menyanggupinya, begitu pun dengan kondisi Rasulullah Saw yang baru bisa menunaikannya pada tahun ke-10 hijriah.

Akan tetapi bagi mereka yang sudah memenuhi syarat-syaratnya seperti sehat secara jasmani maupun rohani, memiliki kelebihan harta yang cukup untuk digunakan sebagai bekal di perjalanan dan bagi keluarga yang ditinggalkan, serta jalur menuju ke Mekah dan kembali pun aman, tidak ada perperangan dan wabah penyakit, maka mereka wajib untuk melaksanakannya.

Meskipun kewajiban ini diperselisihkan oleh sebagian ulama apakah kewajiban itu harus dilakukan pada tahun itu juga seperti yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah atau boleh diundur pada tahun berikutnya sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafi’i, Malik, dan mayoritas ulama karena berpedoman kepada sikap Rasulullah yang menangguhkan pelaksanaannya pada tahun ke-10 hijriah, empat tahun setelah diwajibkannya ibadah tersebut.

Menurut penelitian Ali Mustafa Yaqub dalam beberapa bukunya disebutkan bahwa alasan Rasulullah menangguhkan ibadah haji beliau adalah karena urusan-urusan sosial yang saat itu lebih membutuhkan perhatian ketimbang pelaksanakan ibadah haji. Pada saat itu Rasulullah menghadapi kasus-kasus kemiskinan yang melanda segenap kaum muslimin pasca perperangan, mengurus para anak yatim yang kehilangan orangtua mereka saat berjihad di jalan Allah serta menyantuni para mahasiswa shuffah (sebuah tempat di pelataran masjid Nabi) yang umumnya membutuhkan bantuan dari Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hal ini jugalah Ali Mustafa menekankan pentingnya ibadah sosial daripada ibadah individual (dalam hal ini haji atau umrah) yang dilakukan secara berulang-ulang.

Akhirnya setelah persiapan matang dan beliau siap untuk melaksanakannya barulah Rasulullah Saw beserta ribuan sahabatnya menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekkah pada tahun ke-10 hijriah. Haji ini adalah haji pertama dan sekaligus yang terakhir kalinya dilakukan oleh Nabi bersama para sahabat, karena tiga bulan setelah itu Rasulullah Saw dipanggil untuk menghadap Allah Swt. Segala tata cara serta seluk-beluk ritual ibadah ini direkam secara baik oleh para sahabat dan diwariskan dari masa ke masa hingga sampai ke zaman kita sekarang ini. Tidak ada contoh yang lebih baik dan lebih mabrur dari tata cara yang dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah Saw bersama sahabat-sahabat beliau.