Hampir tidak ada manusia selain Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini yang dalam setiap hari namanya disebut oleh jutaan umat manusia (baik dalam bacaan salat maupun bacaan salawat secara terpisah). Terlebih di bulan Rabi’uil Awwal (Jawa: Mulud), bulan di mana Nabi mulia Muhammad SAW dilahirkan, pembacaan-pembacaan kitab Mawlid dengan berbagai ragam kitab yang dibaca dilakukan di berbagai daerah.
Buku-buku yang mengulas tentang dirinya dari berbagai sudut dan perspektif telah dan terus ditulis dalam berbagai bahasa dan tak terhitung jumlahnya. Tak berlebihan bila ia oleh para sufi disebut sebagai seorang manusia paripurna “akmal al-insan al-kamil”. Pun demikian dengan Michael Hart yang menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia.
Membincang ihwal sejarah awal penulisan kitab sejarah tidak bisa dilepaskan dari sejarah penulisan hadis. Pada mulanya sejarawan-sejarawan masa awal adalah para periwayat hadis. Mereka adalah para informan hadis yang meriwayatkan sejarah Nabi kepada murid-muridnya ini seperti Ibn Syihab Az-Zuhri, Al-Waqidi, Ibn Ishaq, dan Musa bin Uqbah. Oleh karena itu, kitab-kitab sejarah di fase ini bisa dianggap juga sebagai kitab-kitab hadis. Tak pelak, perdebatan seputar sejarah kodifikasi buku sejarah juga terjadi sebagaimana dalam diskursus sejarah awal kodifikasi kitab hadis.
Goldziher misalnya, orientalis Yahudi asal Hongaria ini mengajukan tesis bahwa tradisi penulisan hadis baru ada di abad akhir kedua atau ketiga Hijriyah. Menurutnya, periwayatan hadis di abad sebelumnya hanya disampaikan secara oral (syafahi) bukan dengan penulisan (kitabah).
Fuat Sezgin dalam Tarikh Turats al-Arabi menyatakan ketidaksepakatannya terhadap tesis yang diajukan oleh orientalis seperti Goldziher maupun penerusnya Joseph Schacht. Bagi Sezgin, penulisan (kitabah) baik dalam sejarah maupun hadis sudah ada di abad pertama Hijriyah. Selain itu, di abad-abad pertama Hijriyah periwayatan hadis selain diriwayatkan secara lisan juga terdapat periwayatan dengan menggunakan media tulis.
Sezgin memperkuat argumentasinya dengan mengajukan contoh kitab Tarikh at-Thabari karya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari (W. 923 M) yang menggunakan sumber penulisan kitab sejarahnya tersebut kepada riwayat lisan dan juga tulisan. Hal ini, menurut Sezgin, juga diamini oleh orientalis lain seperti Alois Sprenger (W. 1983 M).
Dari Kitab Maghazi Ke Sirah
Sebagaimana sedikit dijelaskan di atas bahwa penulisan kitab sejarah tentang Nabi Muhammad SAW telah berlangsung sejak abad pertama Hijriyah, yang terkenal dengan sebutan “Kitab al-Maghazi” (peperangan). Meskipun judulnya mengindikasikan bahwa kitab tersebut berisi rekaman peristiwa peperangan, akan tetapi juga mengulas secara umum tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW yang belakangan dikenal dengan istilah “sirah”.
Dari penulisan kitab-kitab al-Maghazi ini kemudian berkembang secara independen kitab-kitab Sirah Nabawiyyah. Konon, Ibn Syihab Az-Zuhri (W. 741 M) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah “sirah” dalam penulisan atas sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. (Bersambung)