Fatwa secara bahasa diartikan petuah, nasehat, atau jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Dalam ilmu ushul fikih atau hukum Islam secara umum, fatwa didefenisikan sebagai jawaban yang diberikan seorang mufti kepada orang yang bertanya (mustafti) tentang masalah hukum. Fatwa tidak mengikat, maksudnya mustafti tidak diwajibkan untuk mengamalkan jawaban yang diberikan seorang mufti. Mustafti dibolehkan untuk bertanya kepada mufti lain, kalau jawaban yang diberikan mufti tidak memuaskan. Karena itu, di dalam Islam, fatwa berbeda dengan qanun atau putusan pengadilan yang sifatnya mengingat. Untuk lebih memudahkan, dalam konteks Indonesia, fatwa yang dikeluarkan lembaga fatwa tidak mengikat masyarakat Indonesia dan tidak wajib untuk dipatuhi, sementara regulasi dan aturan (qanun) yang dikeluarkan pemerintah hukumnya wajib untuk dipatuhi.
Lembaga fatwa di Indonesia tidak tunggal, dan banyak macamnya, seperti Majelis Ulama Indonesia, Bahtsul Masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan lain-lain. Namun harus diakui, di antara sekian banyak lembaga fatwa yang ada di Indonesia, MUI dapat dikatakan lebih populer dan dijadikan rujukan secara nasional dibanding lembaga fatwa lainnya. Seperti yang dikatakan Syafiq Hasyim, sekalipun MUI bukan lembaga pemerintahan, tetapi ia memiliki peran penting dalam menjelaskan persoalan keagamaan kepada pemerintah dan masyarakat. Ada banyak hal yang membuat otoritas MUI lebih kuat dibanding lembaga fatwa lainnya, salah satunya karena MUI dianggap menjadi wadah perkumpulan para ulama dari berbagai organisasi Islam ataupun ormas.
Dalam isu produk halal ini, sekalipun beberapa ormas Islam di Indonesia berupaya untuk mengeluarkan fatwa halal, tetapi kerapkali fatwa yang dikeluarkan MUI lebih banyak dirujuk dan dilirik pelaku usaha dibanding lembaga fatwa lainnya. Terbukti, dari dulu sampai sekarang, MUI selalu dijadikan rujukan utama terkait penentuan kehalalan suatu produk. Hal ini dapat dimengarti mengingat MUI dari dulu sangat vokal dalam isu halal, dan MUI juga yang memperjuangkan isu halal ini tidak cukup hanya direspons dengan fatwa, tapi juga harus diatur dalam undang-undang.
Perhatian MUI terhadap isu halal ini berawal dari kasus lemak babi tahun 80-an. Masalah lemak babi ini menjadi isu nasional pada waktu itu, memancing emosi umat Islam, dan mengancam bangkrutnya dunia pangan. Isu ini bermula dari artikel Tri Susanto yang dimuat dalam Canopy, buletin internal Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. Dalam artikel tersebut, Susanto menemukan bahwa sebagian makanan dan minuman yang beredar di pasar mengandang unsur-unsur yang diharamkan. Artikel ini menarik perhatian banyak kalangan, terutama muslim. Penjualan makanan dan minuman terus menurun, dan diprediksi akan berdampak negatif terhadap perekonomian negara.
Untuk meredam masalah ini, pemerintah meminta MUI yang pada saat itu diketuai KH. Hasan Basri untuk segera turun tangan. MUI langsung mengadakan rapat pada 1 Desember 1988. Salah satu rekomendasi dari pertemuan ini adalah membentuk lembaga yang bertanggung jawab untuk mengkaji pangan, obat-obatan, dan kosmetik. Pada 6 Januari 1989, LPPOM secara resmi didirikan, yang tujuan awalnya adalah untuk melindungi konsumen muslim dari pembeliaan, penjualan dan konsumsi komoditas yang melanggar hukum, sekaligus menjamin stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.
Kasus lemak babi ini, dalam pandangan mantan direktur LPPOM MUI Aisjah Girinda, menjadi bukti betapa pentingnya memperhatikan halal-haram produk, dan tidak bisa dianggap masalah sepele. Pemerintah pada waktu itu belum menangani permasalahan halal ini secara baik, padahal mayoritas penduduk di negara ini adalah beragama Islam. Memang pada tahun 60-an pemerintah sudah membentuk sebuah badan di Departemen Kesehatan yang menangani masalah kehalalan pangan, namun keberadaannya tidak begitu dirasakan umat Islam, karena persoalan kehalalan pangan ini belum dirumuskan secara operasional.
Dalam pandangan KH. Ma’ruf Amin, fatwa halal suatu produk sangat penting dalam rangka memberikan perlindungan dan ketenangan bagi umat Islam, agar tidak mengkonsumsi makanan, minuman, dan obat-obatan serta tidak menggunakan kosmestik yang tidak halal. Selain itu, mengkonsumi produk yang halal, khususnya pangan halal adalah suatu kewajiban yang ditetapkan dalam syariat Islam. Umat Islam perlu mendapatkan jaminan agar makanan yang mereka konsumsi benar-benar halal. Tapi masalahnya, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berkaitan dengan produk pangan, persoalan halal produk makanan, minuman, kosmetika, maupun obat-obatan tidaklah dipandang sederhana. Apalagi proses pengolahan makanan agak rumit pada masa sekarang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kemampuan rekayasa di bidang pangan, kiranya cukup untuk mengetahui kehalalan pangan bukanlah hal mudah.
Betapun sulitnya, ulama mesti berusaha untuk memberikan kepastikan hukum terkait kehalalan suatu produk, dan menyampaikan hukumnya kepada masyarakat luas. Karenanya, untuk merespons masalah ini, MUI mendirikan LPPOM MUI yang fokus menangani masalah kehalalan suatu produk. MUI menilai, penentuan kehalalan suatu produk tidak cukup hanya dengan mengeluarkan fatwa, tapi fatwa halal itu harus disampaikan kepada masyarakat luas dengan bukti tertulis dalam bentuk sertifikat atau label halal, sehingga orang dengan mudah mengetahui mana produk halal dan mana yang belum. Karenanya, pada 21 Juni 1996, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Ketua Umum MUI menandatangani “piagam kerjasama” tentang pencantuman label halal pada kemasan pangan. Departemen Kesehatan mengatur pelaksanaan labelisasi halal berdasarkan hasil pembahasan dengan Departemen Agama dan MUI. Sertifikat halal atau label halal ini bisa dikeluarkan setelah penentuan fatwa dari MUI, dan fatwa dikeluarkan setelah hasil audit dan uji laboratorium.
Usaha MUI tidak berhenti sampai di sini, tokoh-tokoh MUI tetap berupaya agar isu halal ini masuk dalam regulasi nasional atau undang-undang. Beberapa tahun terakhir ini, MUI sangat aktif untuk melobi pemerintah terkait undang-undang jaminan produk halal. KH. Ma’ruf Amin termasuk tokoh garda depan yang memperjuangkan ini agar masuk dalam legislasi formal atau qanun. kontemporer). Bahkan dalam salah satu pertanyaannya, KH. Ma’ruf Amin menyatakan sulit untuk memastikan kehalalan suatu produk bila tanggung jawab tersebut tidak diserahkan kepada MUI. Ketika isu halal ini sudah masuk dalam regulasi negara, tentu status hukumnya akan menjadi kuat dan mengikat seluruh warga negara.
Syafiq Hasyim mengistilahkan apa yang dilakukan MUI dengan syariatisasi (the shariatisation), yaitu usaha untuk memasukkan norma-norma syariah ke dalam hukum formal dan ruang publik di Indonesia. Syariatisasi berbeda dengan islamisasi. Syariatisasi tidak bertujuan untuk mengubah dasar atau sistem negara, dan menjadikan negara sebagai sarana untuk menerapkan syariat dalam hukum formal dan ruang publik dalam negara sekuler. Sementara islamisasi bertujuan untuk mengubah sistem politik sekuler menjadi negara Islam. Dalam bahasa lain, syariatisasi ini juga bisa disebut dengan islamisasi tanpa negara Islam (islamisation without an Islamic State).