Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh

Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh

Al-Hasysyâsyîn menjadi sekte pembunuh paling menakutkan dalam sejarah islam

Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh

 

The Assassins atau Al-Hasysyâsyîn. Nama sebuah sekte pembunuh di Alamut selatan, Persia, pada abad pertengahan. Pada zamannya ini kelompok yang paling ditakuti. Mereka melakukan sangat banyak pembunuhan politik, dengan cara yang tak terbayangkan oleh pembunuh-pembunuh lain pada masa itu. Tanpa takut,  para anggota sekte ini bisa melakukan pembunuhan pada pejabat, ulama, atau orang biasa.

Mereka bisa menyamar menjadi apa saja.  Menjadi kasim, tukang masak, guru ngaji, apa saja. Mereka mengintai mangsa selama bertahun-tahun, kemudian mebunuhnya pada saat yang diinginkan. Menurut kamus Oxford, dari nama sekte inilah kata assassin dan assassination dalam Bahasa Inggris berasal.

Para penulis Barat, termasuk Phillip K. Hitti yang menulis buku tebal,  History of the Arabs,  menyebut mereka sebagai kaum penghisap hashish, ramuan sejenis opium.  Karena  pengaruh hashish inilah mereka menjadi lupa akan rasa takut. Adakah mereka benar-benar menghisap hashish atau sekadar membudidayakannya demi uang? Kita tidak mendapat cukup banyak informasi mengenainya.

Bagi Hasan al-Shabbah, pendirinya,  Al-Hasysyâsyîn sebenarnya adalah Assassiyun, kaum yang taat asas—demikian kata Amin Maalouf dalam novelnya yang berjudul Samarkand. Taat asas maksudnya adalah hanya mereka yang setia pada asas Islam, yang lain tidak, dan demi asas ini pula mereka sanggup membunuh siapa saja.

Hasan al-Shabbah seorang pendakwah sekaligus panglima perang  yang ditakuti, ia seorang yang sangat taat dan ketat dalam beragama. Dikabarkan dia menghukum mati anaknya sendiri karena kepergok sedang minum anggur. Konon ia juga mengusir orang dari Alamut hanya karena terlihat sedang meniup seruling.

Hasan al-Shabbah adalah satu dari tiga serangkai tokoh terkemuka Persia selain Omar Khayyam dan Nizamul Mulk. Omar Khayyam adalah seniman dan ahli metematika sedangkan Nizamul Mulk (Abu Ali al-Hasan al-Tusi Nizam al-Mulk) adalah wazir agung Kesultanan Seljuk yang saat itu menguasai dunia Islam dan menjaga (atau mengangkangi?) kekuasaan Khalifah di Baghdad. Nizam adalah penggagas berdirinya universitas pertama di dunia Islam,  Universitas Nizamiyah, yang suatu ketika nanti jabatan rektornya dipegang oleh filosof terkemuka, Al-Ghazali, sebelum ia kecewa, meragukan iman, dan menjadi seorang sufi-asketis.

 

Tiga sahabat karib tersebut adalah tokoh-tokoh legendaris bangsa Persia, meski banyak ahli sejarah meragukan bahwa mereka hidup pada waktu yang sama. Tapi legenda adalah soal makna, bukan soal faktual atau tidak. Tiga tokoh ini mewakili citra diri, idealitas, dan mimpi bangsa Persia.

Satu orang mewakili kegagahan panglima perang dan penganut agama yang tak kenal rasa takut, satu orang mewakili intelektualitas dan kelembutan hati (serta kegilaan?), sedangkan satunya lagi mewakili kecerdasan pikir, sekaligus kelicikan, seorang politikus (ingat, Nizam adalah penulis buku Siyasat Nama, sebuah buku yang hanya bisa dibandingkan dengan Il Principle yang ditulis Machiavelli   lima abad setelahnya). Konon, masih menurut legenda, Nizamul Mulk, juga dibunuh atas perintah Hasan al-Shabbah.

Lalu apa sesungguhnya Al-Hasysyâsyîn? Para penghisap ganja atau orang-orang dengan keyakinan total pada asas? Kita tak pernah tahu.  Satu hal yang pasti: keduanya memang bisa membuat orang bertindak apa saja termasuk membunuh.

Sekte kaum pembunuh ini bertahan lebih dari satu abad sebelum dibantai orang-orang Mongol. Namun pembunuhan atas nama asas, tidak berhenti di kaki kuda-kuda Mongol.

Sampai kini banyak orang berteriak atas nama asas untuk membunuh sesama. []