Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh (2)

Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh (2)

Sejarah Al-Hasysyâsyîn, Sekte Para Pembunuh (2)

Sekelompok ini bukan satu-satunya atau yang pertama dalam sejarah manusia, tapi cara dan kengerian yang ditimbulkan tak pernah lekang dari ingatan sejarah. Belati-belati kaum assasin muncul menebar horor di awal abad sebelas masehi. Mereka membunuh pangeran, sultan, panglima perang, dan pajabat-pejabaat negara kala itu. Para Assasin selalu membunuh menggunakan belati, tak pernah dengan racun, panah, atau meriam. Mereka juga selalu rela ditangkap setelah melakukan aksinya. Bahkan, konon, bagi mereka melarikan diri adalah aib. Mereka memilih tertangkap atau terbunuh.

Ancaman dan kecemasan yang ditimbulkan kaum Assasin memang begitu nyata. Terutama bagi para bangsawan dan pejabat. Umumnya merekalah sasaran pembunuhan itu. Hal yang membuatnya menjadi sangat menakutkan adalah: kaum pembunuh ini melakukan pembunuhan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Mereka biasanya merencanakan pembunuhan secara sangat matang, rapi dan terencana. Ditambah dengan totalitas tanpa batas.

Uskup dari Tyre, William dalam salah satu tulisannya saat-saat itu mengatakan “Mereka punya ikatan sangat kuat dengan pemimpinnya Sehingga tidak ada tugas yang sulit atau berbahaya yang tidak akan dilakukan oleh salah. Jika misalnya ada pangeran yang akan dibunuh, Sang Pemimpin akan memberikan belati kepada satu atau lebih pengikutnya. Mereka menerima misi itu tanpa mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan atau kemungkinan melarikan diri. Mereka akan bekerja keras dan selama mungkin waktu yang diperlukan, sampai waktu memberinya kesempatan untuk melaksanakan perintah pimpinannya itu. Baik orang-orang kami maupun orang-orang Saracen menyebut mereka Assissini; kami tidak tahu asal-usul nama ini.”

Satu yang penting dicatat barangkali adalah, meski mereka merajalela di era perang salib, pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan kebanyakan justru menyasar pejabat-pejabat muslim. Kaum Assasin bahkan tak pernah menyentuh para Ksatria Templar dan Hospitaller yang menjadi musuh kaum muslimin saat itu. Selain soal konflik sunni-syiah yang tak kunjung usai itu, satu hal yang menjelaskan hal tersebut adalah karena Hasan al Sabah, pemimpin Assasin, tahu persis bahwa pembunuhan satu atau dua jenderal dalam kelompok ksatria salib itu adalah sia-sia belaka.

Ia tahu persis dua order ksatria itu punya sistem kelambagaan yang sangat mapan dan kokoh, hierarki yang jelas, dan loyalitas pilih tanding. Satu orang terbunuh akan langsung tergantikan oleh orang yang sama hebatnya dengan sistem pergantian yang telah baku. Hal yang sama tak bisa dijumpai dalam tata kekuasaan dunia Islam saat itu yang sentralistis, berpusat pada figur dan loyalitas yang ringkih. Itulah kenapa kaum Assasin bisa menebar teror dan melahirkan kekacauan dengan hanya melakukan satu atau dua pembunuhan politik di istana sultan.

Satu-satunya pembunuhan Assasin terhadap pejabat tentara salib adalah pembunuhan Marquis Conrad of Montferrat, raja Jerusalem pada 28 April 1192. Para Assasin menyaru menjadi biarawan kristen, hingga lambat laun mendapat kepercayaaan sang raja untuk bisa dekat bersamanya. Suatu ketika, saat yang ditunggu tiba, mereka menusuk sang raja hingga tewas. Pembuuhan ini membuat geger dan memancing kontroversi bahkan hingga sekarang. Para Assasin yang kemudian ditangkap itu mendaku disuruh raja Inggris, Richard, untuk melakukan pembunuhan berencana itu. Di sisi lain ada pula yang menyebut pengakuan itu palsu.

Sejarawan Ibn al-Athir menyebut pembunuhan itu malah disutradarai oleh Salahuddin al Ayubi yang membayar mereka untuk melakukan aksi itu. Rencananya adalah membunuh Conrad sekaligus Richard, namun pembunuhan Richard tak bisa terlaksana.

Hubungan Salahuddin dengan kaum pembunuh rahasia ini memang unik dan istimewa. Mereka konon saling memanfatkan sekaligus saling bermusuhan. Satu cerita yang bisa menggambarkan kengerian ancaman kaum Assasin sekaligus bisa menjelaskan mengapa Salahuddin tidak mau repot memburu mereka adalah kisah yang diceritakan sejarawan Kamal al-Din berikut ini.

Suatu hari Pemimpin Kaum Assasin mengirim utusan untuk menemui Salahuddin. Ia memerintahkan agar pesan itu disampaikan secara rahasia. Ketika masuk ke tempat Salahuddin, utusan itu digeledah dengan seksama oleh para pengawal sang sultan. Ia masuk tanpa senjata atau barang yang berbahaya.

Salahuddin kemudian menyuruh orang-orang pergi, hanya sejumlah orang penting yang tinggal bersamanya menemui utusan itu yang tiba-tiba berkata, “Pemimpinku memerintahkanku untuk menyampaikan pesan ini secara rahasia. Pesan ini tidak akan disampaikan jika ada orang lain di tengah-tengah kita.”

Salahuddin lantas memerintahkan semua pergi kecuali dua orang Mamluk kepercayaannya, sambil berkata, “dua orang ini tetap di sini. Jika kamu ingin menyampaikan pesan, katakan segera. Jika tidak, segeralah pulang.” Utusan itu menjawab, “mengapa kamu tidak menyuruh dua orang ini pergi?” Salahuddin menukas “Aku telah mengaggap mereka sebagai anakku, mereka dengan aku adalah satu.”

Kemudian utusan itu menoleh ke arah kedua Mamluk itu sambil berucap, “Jika aku atas nama tuanku menyuruh kalian membunuh Sultan Salahuddin ini, apakah kalian akan melakukannya?” Kedua Mamluk itu tiba-tiba menghunus pedang sambil berseru, “tentu saja!” Salahuddin tercekat. Menelan ludah. Tak bisa berkata apa-apa. Sejurus kemudian ia hanya bisa memandang utusan itu pergi bersama kedua Mamluk itu, meninggalkannya sendirian termangu, terkejut, dan cemas.

Demikianlah, para Assasin itu telah menemukan dan mengembangkan suatu cara yang membuat satu kekuatan kecil namun penuh disiplin dan super patuh untuk bisa melawan musuh-musuh besar dengan kekuatan yang sangat besar. Organisasi dan ideologi. Mungkin dua hal itu kata kuncinya. Mirip terorisme modern. Mungkin terorisme modern meniru cara-cara para assasin ini. Mengembangkan organisasi kecil yang kuat dan ketat dengan tujuan-tujuan besar.

Tradisi kekerasan dalam tubuh suatu agama memang tidak pernah menjadi dominan, tapi selalu dorman, tiba-tiba saja muncul ke permukaan karena, barangkali, ide tentang bunuh-membunuh itu tetap selalu menyebar menjadi bisik-bisik di tempat gelap tanpa kita sadari.[]