Sebuah Upaya untuk Berbesar Hati Menyikapi Larangan Mudik di Masa Pandemi

Sebuah Upaya untuk Berbesar Hati Menyikapi Larangan Mudik di Masa Pandemi

Sebagai masyarakat kelas perantau, kabar tentang larangan mudik lebaran di masa pandemi mungkin menjadi warta yang menyedihkan. Tapi, di lain pihak, kita sepertinya memang harus bebesar hati menyikapinya.

Sebuah Upaya untuk Berbesar Hati Menyikapi Larangan Mudik di Masa Pandemi

Bisa jadi, dua tahun terakhir ini adalah masa-masa paling meresahkan bagi para perantau atau pekerja migran. Dua tahun berturut-turut, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik pada 2020 dan 2021. Kali ini, larangan mudik akan diterapkan pada 6-17 Mei 2021 mendatang.

Larangan mudik ini secara resmi telah terbit melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu SKB dari Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Selain itu, ada juga pemangkasan cuti bersama Idulfitri menjadi satu hari dan ditegaskan kembali untuk tidak mudik selama cuti tersebut.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini masyarakat tampaknya tidak lagi kaget dengan larangan ini. Jika pada 2020, ada banyak penolakan larangan mudik, pada 2021, situasinya cukup stabil. Selain itu, sekitar dua bulan sebelum Lebaran, aturannya sudah terbit, menandakan pemerintah tampaknya sudah mantap pasang kuda-kuda, mempertimbangkan kebijakan yang dikeluarkan ini.

Bagi para perantau, keinginan untuk pulang kampung dan melepas kerinduan bersama keluarga agaknya harus dikompromikan lagi. Kendati tak ada mudik Lebaran, namun esensi dari mudik sendiri sebenarnya bisa dicapai, meskipun tidak benar-benar hadir secara fisik di kampung halaman.

Abdul Majid, Profesor Pengkajian Islam dari UPI menyatakan bahwa esensi dari mudik Lebaran adalah silaturahmi. Perjalanan dari rantau ke kampung halaman adalah formalitas. Kendati tidak langsung mudik, namun silaturahmi bisa dilakukan via daring. Tentu saja, banyak yang luput dari aktivitas daring, namun di masa pandemi, itulah pilihan paling masuk akal.

Jika nekat dilakukan, kegiatan pulang kampung, bisa jadi selain membawa kerinduan, juga berpotensi membawa dan menyebarkan virus. Pengalaman mudik 2020 sudah menunjukkan bahwa perkembangan beberapa klaster Covid-19 disebabkan aktivitas mudik yang lolos dari larangan pemerintah.

Mudik Spiritual dan Trilogi Tasawuf

Secara bahasa, terdapat beberapa versi yang mengartikan kata mudik. Sebagai misal, Kemendikbud menuliskan bahwa mudik berasal dari bahasa Jawa ngoko, yakni mulih dilik, artinya pulang sebentar. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mudik berasal dari kata “udik”, yaitu kembali ke asal.

Dua versi mudik di atas sama-sama mewakili tujuan dari mudik. Pertama, mudik lahiriah melalui aktivitas pulang kempung (mulih dilik). Kedua, mudik spiritual melalui penyucian diri

Said Aqil Siradj (2006) menyatakan bahwa arti sebenarnya dari Lebaran adalah menyemai makna spiritual-vertikal. Dalam hal ini, kesucian diri pribadi yang sudah diasah melalui puasa menjadi paripurna dengan adanya Idulfitri. Karena itu, mudik yang merupakan aktivitas kembali ke asal, dalam arti spiritual adalah menyucikan diri dari sifat-sifat tercela. Hal ini sudah dilatih dari ibadah puasa Ramadan: menahan hawa nafsu, serta berusaha konsisten dalam beribadah.

Tradisi mudik ini dapat dimaknai lebih jauh lagi jika ingin ditinjau dari trilogi tasawuf, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Ketiga tahapan tersebut berguna untuk melatih diri manusia untuk kembali ke fitrah (kesucian) yang relevan dengan momen mudik dan Lebaran.

Pertama, takhalli (mengosongkan diri) dapat dilakukan melalui puasa Ramadan. Mengosongkan diri di sini maksudnya adalah menyucikan diri dari akhlak dan sikap tercela. Puasa merupakan cara jitu untuk melakukan takhalli dengan menekan hawa nafsu, bahkan pada hal mubah (makan-minum dan pembatal puasa lainnya), serta menahan amarah, serta sifat-sifat tercela lainnya.

Kedua, tahalli dilakukan setelah pembersihan diri. Usai diri seseorang dikosongkan dari maksiat dan sikap tercela, saatnya melakukan pengisian ulang dengan perilaku taat, baik itu secara lahir maupun batin.

Ketiga, tajalli merupakan tahapan terakhir dalam bentuk apresiasi terhadap rasa ilahi. Artinya, jika ketiga tahapan tersebut sudah dilakukan, maka seseorang dapat lengkap menjadi “khalifah”, perwakilan Allah di muka bumi, menebar amal baik dan menghindari perilaku tercela. Saiful Haq (2018) juga menegaskan bahwa seseorang yang menjalani tiga tahapan trilogi tasawuf di atas, maka ia sudah melakukan mudik dalam dirinya sendiri.

Mudik tahun ini yang tak dapat dilaksanakan ke kampung halaman dapat menjadi momen instrospeksi diri melalui tahapan trilogi tasawuf tersebut. Inilah spirit spriritual-vertikal yang dinyatakan Kiai Said Aqil Siradj. Kendati mudik pada lahirnya adalah wujud silaturahmi sosial-horizontal, yang di masa pandemi tidak lengkap dilakukan, namun nilai-nilai spiritualitasnya masih relevan digaungkan.