Saya Muslim, Saya Pancasila

Saya Muslim, Saya Pancasila

Bangga menjadi islam Indonesia dan hidup di negara Pancasila

Saya Muslim, Saya Pancasila

Tasharraful imam ala ar raiyyati manuthun bil mashlahah. Kebijakan dan perhatian seorang pemimpin senantiasa diorientsikan untuk memenuhi kebutuhan kemaslahatan rakyatnya. Begitulah kaidah fikih yang dikenal di pesantren.

Kaidah fikih di atas hendak mengingatkan kita semua pada sebuah kemaslahatan. Kemaslahatan rakyat yang adil dan makmur dalam berbangsa dan bernegara. Karena kemaslahatan itu sendiri melekat dalam nilai islam. Islam yang selamat, damai dan sejahtera di dalamnya pasti ada sebuah kemaslahatan.

Tentunya, kemaslahatan tidak bisa hanya diomongkan, karena erat kaitannya dengan hak hidup dan memperoleh kehidupan layak. Untuk memperoleh kehidupan yang layak pun perlu ada kiat kiatnya. Kiat utama dalam islam adalah keadilan, tidak berkesenjangan. Sebagaimana dalam Al Qur’an dijelaskan; …dalam kekayaan seseorang, terdapat hak bagi orang miskin. (Adz Dzariyat, ayat 19). Dalam ayat lain juga dijelaskan; …supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.. (Al Hasyr, ayat 7).

Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa, tiada yang berhak mengeksploitasi kekayaan, baik itu negara atau swasta. Sesungguhnya hal itu akan menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan. Dalam tatanan masyarakat, berikutnya itulah yang melahirkan strata sosial. Yang kaya membuat kelasnya dan yang miskin secara tidak langsung membentuk kelasnya.

Dalam istilah lain, islam mengenal kaum mustakbirin dan mustadhafin. Kaum mustakbirin ini adalah digdaya/konglomerat dan mustadhafin adalah kaum yang lemah/ miskin. Seringkali, kita dengar kaum mustakbirin menindas yang lemah, dengan tidak memberikan pekerjaan kepada yang lemah, atau tidak memberikan santunan kepada yang miskin. Itulah yang dimaksud dalam surat Adz Dzariyat dan Al Hasyr. Kekayaan seseorang wajib diberikan atau dizakatkan kepada yang miskin dan kekayaan tidak boleh dinikmati oleh sekelompok orang yang kaya saja.

Hadits Nabi menjelaskan bahwa tidak sempurna iman seseorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dibiarkan kelaparan, padahal ia mengetahui. Hal itu menjelaskan kuranglah iman seseorang jika dia kenyang sendiri, sedangkan tetangganya kelaparan. Di sanalah islam dengan tegas menekankan keadilan sosial.

Gus Dur dalam tulisannya tentang Islam dan Keadilan Sosial juga menjelaskan hal serupa. Bahwa, Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil” (an ta’dilu) maupun keharusan “menegakkan keadilan” (kunu qawwamina bi al-qisthi), berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al Quran. Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara: menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan  tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau negara lain mengemukakan  kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan itu.

Semangat keadilan sosial dalam islam seiring dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Proses keberagaman agama, suku dan ras menjadi sebuah penerimaan di negara bhineka tunggal ika. Melalui proses yang memanusiakan dan beradab, persatuan dan budaya musyawarah yang adil dan bijaksana, adalah cita-cita untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sila itu saling berkaitan untuk membangun bangsa dan negara yang sehat. Mulai dari mengakui keberagaman hingga tercapainya keadilan sosial. Tidak hanya itu, produk hukum negara kita juga memerinci konsep keadilan sosial secara pas. Salah satunya dalam UUD 45, tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Artinya, negara harus adil agar tercipta masyarakat yang makmur.

Laporan Oxfam dan INFID (2017) mengungkapkan bahwa kesenjangan antara segelintir orang terkaya dan mayoritas penduduk Indonesia masih lebar. Kebijakan pajak dan intervensi pemerintah diyakini ampuh untuk menekannya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang cukup stabil dan proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah berkurang menjadi sekitar 8%. Namun, pertumbuhan ekonomi itu belum diimbangi dengan pembagian pendapatan yang lebih merata. Tercatat pula bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Hal itu membuat peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia. Ketimpangan itu tak hanya memperlambat pengentasan masyarakat dari kemiskinan, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengancam kohesi sosial. Paparan ini langsung penulis ambil dari infid.org.

Bagaimana tidak menimbulkan kesenjangan yang luar biasa. Negara sering abai terhadap kondisi rakyat miskin. Negara, seringkali mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi makro. Akan tetapi, tidak mempertimbangkan ekonomi rakyat kecil. Pertambangan lebih diutamakan dari pada ngurip-nguripi sawah atau kebun.

Ujung-ujungnya, negara dan swasta terus mencari kekayaan melimpah dari sumber daya yang ada. Negara belum bisa menjadi kontrol bagi rakyat dalam hal eksplorasi sumber daya alam misalnya. Sehingga, tidak hanya kerusakan alam yang terjadi, tapi kemiskinan yang semakin terstruktur.

Naifnya, tidak hanya dalam sektor kekayaan alam. Keungan negara pun telah dihamburkan untuk memperkaya segelintir orang. Salah satunya, dengan besarnya gaji petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang dalam kisaran 100 juta. Yah, memang Pancasila ini sangat penting dan vital. Karena itu adalah ideologi dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara kita. Akan tetapi, layakkah gaji sebesar itu diberikan kepada segelintir orang, di tengah banyaknya mereka yang tertindas.

Jika memang benar di Indonesia ini banyak dihuni oleh orang islam, sudahkah kita bercermin tentang keadilan sosial di negeri ini? Pancasila sebagai nafas berbangsa dan bernegara kita pun menegaskan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudahkah kebijakan dan perhatian seorang pemimpin senantiasa diorientsikan untuk memenuhi kebutuhan kemaslahatan rakyatnya? Jikalau yang bertambah kaya hanya perusahaan dan elit politik, sedangkan rakyatnya kehilangan lahan dan kerepotan untuk membeli sembako setiap harinya.