Saya Islam Gembira, Kamu Apa?

Saya Islam Gembira, Kamu Apa?

Memilih menjadi islam gembira karena itu yang mendekat kepada Allah

Saya Islam Gembira, Kamu Apa?
Yang harus diperhatikan dalam keputusan keagamaan adalah, bagaimana keputusan memiliki efek atau tidak ke masyarakat bawah. Source: NDTV.com

Tuhan melarang manusia bersedih — larangan ini berserak di banyak ayat al-Quran. “Jangan kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” dan ada ayat-ayat lain yang menyiratkan atau menyuratkan larangan serupa.

Apakah larangan-larangan manusia bersedih itu adalah isyarat bahwa Tuhan memerintahkan manusia selalu bergembira?

Sebuah ayat al-Quran menyatakan, “Tidaklah Kami turunkan al-Quran kepadamu untuk membuatmu susah.”

Dan yang pasti adalah Tuhan melarang manusia bersedih dan Tuhan tak pernah melarang manusia bergembira.

Ada dua misi utama al-Quran. Selain sebagai peringatan, al-Quran telah mengungkapkan bahwa kitab suci ini juga sebagai pembawa kabar gembira.

Dua misi al-Quran ini bukan merupakan dua kutub yang kontradiktif atau hitam-putih.

Antara “peringatan” dan “kabar gembira” al-Quran memiliki hubungan kausalitas. Bahwa manusia yang patuh kepada peringatan Tuhan — menjauhi larangan dan melakoni perintah — akan memperoleh karunia kegembiraan, kenikmatan.

Landasan batin paling dasar yang memungkinkan kegembiraan muncul adalah adanya rasa syukur. Saking terpujinya, Tuhan memberi apresiasi amat tinggi kepada rasa syukur. “Jika kamu bersyukur akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu dan bila kamu kufur sungguh azab-Ku amat pedih.”

Rasa syukur adalah menerima segala kejadian sebagai kehendak Tuhan. Kontras dari rasa syukur adalah kufur — menolak, menutupi atau mengingkari kejadian. Dengan demikian, apakah rasa gembira merupakan ekspresi terdalam dari iman dan Islam?

Keluhan, amarah, putus asa, frustrasi, menyakiti maupun sedih merupakan gejala-gejala negatif dalam agama. Semua gejala ini berlawanan dengan rasa gembira.

Negatifkah bersedih kepada kezaliman? Tak semua kesedihan adalah buruk. Positifkah terlalu gembira kepada amal saleh? Berlebihan dalam urusan apa pun jelas merupakan larangan. Apalagi bergembira kepada kezaliman.

Rasa gembira yang wajar berada di antara khauf dan raja’ — di antara gentar dan harap. Terlalu gentar bisa melahirkan ketakutan dan terlalu berharap bisa sedih atau kecewa.

Gembira dan sedih yang dirasakan dan mendera manusia tak lepas dari kehendak Tuhan. “Dialah Allah yang membuatmu tertawa dan menangis,” demikian yang tersurat dalam satu ayat al-Quran.

Manusia yang bersyukur adalah yang gembira kepada kenyataan yang menyenangkan maupun kenyataan yang menyedihkan yang menimpanya sebagai kehendak Tuhan tanpa mengingkarinya. Inilah kehambaan total. Namun demikian manusia diberi hak untuk berikhtiar mengubah keadaan menjadi lebih baik.

“Jadikan gembiramu untuk bersyukur dan jadikan sedihmu untuk bersabar,” demikian nukilan sebuah hadis. Tanpa landasan syukur, kesabaran tak bisa dimungkinkan. Dan kesabaran merupakan salah satu jalan keselamatan. Al-Quran menyatakan, “Jadikan sabar dan shalatmu sebagai penolongmu.”

Gembira memungkinkan manusia bersyukur dan rasa syukur memungkinkan manusia bersabar dan bersabar memungkinkan manusia meraih keselamatan.

Lalu bagaimana manusia bisa bergembira? Kegembiraan bisa tumbuh dari kehambaan total kepada Tuhan, tanpa pembangkangan.