Saya Disunat Dokter Tentara dan Kisah Lainnya: Catatan Jenaka Agus Mulyadi

Saya Disunat Dokter Tentara dan Kisah Lainnya: Catatan Jenaka Agus Mulyadi

Saya Disunat Dokter Tentara dan Kisah Lainnya: Catatan Jenaka Agus Mulyadi

Saya selalu sentimentil dengan tentara. Bagaimanapun, tak bisa tidak, saya hidup dengan iklim yang sangat militer. Kampung tempat tinggal saya berada persis di antara markas Akademi Militer (Akmil) dan perumahan tentara Panca Arga.

Kakek saya, Joseph Paiman, semasa hidupnya adalah seorang pegawai di Akademi Militer.

Bapak dan ibu saya menghidupi saya salah satunya melalui jalan yang “semi” militer. Bapak berjualan es kelapa muda di komplek lapangan tembak yang sering digunakan sebagai tempat latihan para prajurit angkatan darat.

Sementara ibu saya menjadi buruh cuci di salah satu rumah seorang tentara berpangkat kapten bernama Pak Gana.

Saya sangat militer. Saya sering bermain di lapangan perumahan tentara. Skill sepakbola saya yang dulu agak lumayan itu ditempa di sana.

Melihat tank bukan sesuatu yang baru bagi saya seperti anak-anak lain yang bermimpi naik tank hanya saat momen karyawisata di museum militer.

Ketika anak-anak kecil lain bermain memutar gasing, saya sudah bermain memutar moncong tank Amphibi PT-76 buatan Soviet, nyaris setiap pekan.

Mencuri buah di komplek perumahan tentara? Itu sudah jadi aktivitas sehari-hari. Dari mangga, sawo ijo, alpukat, kelapa muda, sampai tebu, saya sudah khatam. Itu cara yang saya dan kawan-kawan pilih untuk memacu adrenalin.

Saya sangat militer. Sejak kecil, sebelum subuh, saya sudah dibangunkan oleh suara terompet dan lagu-lagu perjuangan yang dimainkan dari kompleks Akmil sebelah kampung. Terompet itu terdengar lebih dulu ketimbang azan subuh.

Itu artinya, secara musikal, saya bahkan lebih nasionalis-militeristik ketimbang nasionalis-relijius.

Saya sangat militer. Sampai-sampai dingklik atau kursi kecil di rumah saya adalah kotak kayu bekas wadah amunisi yang kami dapat dari Akmil.

Bayangkan, bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat di Komisi I DPR itu mungkin sudah puluhan kali duduk di kursi senayan membahas alutsista. Sedangkan saya yang kurang terhormat ini sudah sejak lama menduduki langsung alutsistanya.

Saya sangat militer. Bahkan sprei kasur saya dulu adalah sprei berkelir putih berlogo Akmil, lungsuran dari juragan emak saya. Ketika jutaan pemuda berbadan tegap berharap diterima Akademi Militer, saya yang kurus ceking ini sudah menidurinya.

Saya sangat militer. Sampai-sampai, saya disunat melalui program sunat korsa berbasis kolektif militer alias sunat massal dalam rangka hari jadi ABRI. Hasil sunatnya tokcer, dorengnya khas malvinas, gerak-geriknya lincah dan trengginas.

Bentuk kepalanya serupa baret. Kalau dengar musik “terpesona” sedikit saja, niscaya dia akan auto glidik dan menggeliat

Saya disunat oleh dokter militer, di dalam komplek Akademi Militer, lepas perbannya pun di klinik kesehatan militer. Dan karena itu, secara teknis, saya memang masyarakat sipil, tetapi burung saya burung militer.

Maka, hari ini, 5 Oktober, adalah hari yang harus saya rayakan. Ini hari ABRI. Hari penting. Sebagai lelaki sipil dengan darah ketentaraan yang sangat kental, saya dengan penuh sukacita ikut berbahagia dalam merayakan hari ulang tahun ABRI ini.

Dan di hari yang bahagia ini, tentu tak ada kata lain yang lebih penting untuk saya sampaikan, selain Jayalah tentara Indonesia.

Jayalah tentara Indonesia. Berlatihlah keras di dalam barak, dan bersikap lembutlah di luar barak. Jadilah pelindung untuk rakyat, jangan kau gebuk rakyatmu sendiri.

Jayalah tentara Indonesia. Jangan kau popor pipi rakyat, sebab senapanmu itu dibeli dari patungan uang mereka.

Jayalah ABRI-ku. Jayalah tentaraku. Selamanya, kau adalah anak kandung rakyat. Maka, muliakanlah orang tuamu.

 

Jangan kau jadi durhaka.