
Per tahun 2024, jumlah lahan tambang di Indonesia mencapai angka 9,11 juta hektare (Sumber: Tempo, Kompas, atau CNBC). Angka ini kemungkinan masih akan terus bertambah mengingat betapa rakusnya para konglomerat kita – sambil sesekali ‘main mata’ dengan pemerintah – yang sukar dicari ambang batasnya.
Buktinya, akhir-akhir ini kita disuguhi laporan dari organisasi Greenpeace tentang aktivitas tambang di sekitar Raja Ampat: sebuah wilayah kepulauan di Papua Barat yang sebagian daerahnya ditetapkan sebagai hutan lindung. Dalam potongan video yang diambil dari drone tersebut nampak hutan yang mulai gundul. Warna hijau yang berasal dari ragam flora kini tampak compang-camping, mirip bulu kucing liar yang habis bertengkar.
Sebagai respons, media sosial kemudian diramaikan oleh tagar #SaveRajaAmpat: satu bentuk upaya publik untuk mengutuk kegiatan tambang di Papua Barat itu. Tagar ini turut didengungkan oleh public figure yang sama-sama memiliki kekhawatiran akan efek destruktif dari aktivitas penambangan. Puncaknya, melalui instruksi dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, aktivitas penambangan yang dilakukan oleh lima perusahaan (ada yang menyebut empat) yaitu PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), dan PT Nurham, dihentikan SEMENTARA.
Tulisan bernuansa kritis telah banyak beredar di berbagai media internet. Melalui aktivitas browsing di berbagai media itulah, saya menemukan bahwa target kritik yang dimuat dalam tulisan itu menyasar pada efek destruktif aktivitas tambang terhadap aspek ekologis. Tentu saja ini adalah efek langsung yang memang sangat nampak.
Namun, di samping efek ekologis, terdapat efek-efek lain yang juga patut kita khawatirkan. Yaitu bagaimana aktivitas tambang ini merugikan eksistensi masyarakat adat yang menempati daerah sekitar, serta sesat pikir kaum konglo atau para taipan yang berkolaborasi dengan pemerintah untuk terus menerus mengeruk lahan di berbagai wilayah Indonesia atas nama kesejahteraan bersama.
Nasib Masyarakat Adat
Sebagai wilayah kepulauan di Papua Barat, Raja Ampat tak hanya memiliki keragaman flora dan fauna belaka, tetapi juga kekayaan budaya yang lahir dari rahim kehidupan sekelompok manusia yang dikenal sebagai masyarakat adat. Sebagaimana masyarakat adat di berbagai wilayah, kehidupan mereka sangat bergantung pada alam di sekitarnya. Alam telah menjadi bagian dari diri mereka. Alam adalah ibu. Alam menjadi identitas tak terpisahkan dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat adat.
Sebab aktivitas tambang melulu memerlukan pembukaan lahan, maka marginalisasi masyarakat adat tak terhindarkan. Semakin termarginalisasinya masyarakat adalah adalah impak langsung yang diakibatkan oleh praktik penambangan. Di sini, deforestasi, reklamasi atau jenis pembukaan lahan lainnya tak hanya sekadar mengakibatkan kerusakan alam, tetapi praktik tersebut juga mencederai identitas masyarakat adat.
Penolakan masyarakat adat yang diwakili oleh berbagai kelompok, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana, merupakan bukti bahwa praktik penambangan di Raja Ampat yang berdasarkan keterangan Mongabay sudah dimulai sejak 2018 lalu, memang cacat sejak awal. Sebab salah satu syarat mutlak untuk melakukan praktik penambangan adalah persetujuan masyarakat setempat dengan menimbang manfaat dan kerugian yang nantinya muncul.
Maka tagar #SaveRajaAmpat bukan saja urusan ekologis, tetapi lebih jauh menyangkut nasib para masyarakat adat yang menggantungkan kehidupan mereka terhadap alam yang sudah kadung dirusak. Hutan yang saat ini sudah mulai gundul, seperti yang terpacak dalam video laporan Greenpeace, tak hanya memiliki manfaat ekonomis sesederhana tempat menyuplai kebutuhan hidup, tetapi juga memiliki nilai sakral yang melekat dalam benak setiap masyarakat adat. Praktik serta nilai spiritualitas mereka begitu melekat dengan alam.
Dandhy Laksono dalam hal ini memberikan perspektif penting bahwa kita kadang tak sadar bahwa merusak alam yang notabene memiliki nilai sakral bagi masyarakat adat, tak ubahnya merusak tempat ibadah agama-agama mainstream macam masjid bagi Umat Islam, gereja bagi Umat Kristen, atau klenteng bagi Umat Konghucu. Sebab alam, sebagaimana masjid, gereja, atau klenteng, adalah tempat suci bagi para penganutnya masing-masing.
Ini juga menjadi poin penting untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Apalagi kita tahu bahwa aktivitas pertambangan di Raja Ampat sudah dimulai sejak 2018. Seharusnya praktik tersebut bisa dihalau lebih awal sehingga keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat di Papua tak perlu diragukan. Sungguh ironis jika negara hanya bisa melabeli riak-riak di Papua tentang kehendak ‘merdeka’ tanpa mau berbenah diri tentang cara pandang mereka terhadap masyarakat adat di sana.
Akumulasi Laba Tak Terbatas
Deforestasi, reklamasi serta upaya pembukaan lahan untuk tambang lainnya (atau ladang sawit) adalah tindakan yang lahir dari perspektif bahwa akumulasi laba akan berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Logika dasarnya begini: tambang melahirkan laba, laba didistribusikan kepada masyarakat secara adil oleh negara, kemudian kesejahteraan (atau kebahagiaan) niscaya meningkat.
Sekilas, logika ini nampak rapi. Tetapi ada yang luput dan cacat dalam logika tersebut.
Pertama, anggaplah pemerintah fair dalam proses distribusi laba hasil tambang tersebut (walaupun ini jelas tak pernah terealisasi). Masih ada problem lain, yakni sebuah prinsip dalam ilmu ekonomi yang menjadi salah satu ulasan dalam buku Yanis Varoufakis berjudul, “Talking to My Daughter About the Economy”, bahwa sumber daya kita yang terbatas ini, tak mungkin relevan dengan sistem ekonomi yang mensyaratkan akumulasi laba tak terbatas.
Inilah cacatnya kapitalisme. Sistem ini secara prinsip tak kenal ambang batas. Akumulasi laba atau kapital terus bergulir secara ad infinitum. Persis seperti yang kita lihat pada tindakan deforestasi, reklamasi atau pembukaan lahan lainnya demi terus menerus mengejar akumulasi laba yang sebanyak-banyaknya.
Kedua, masih dalam ilmu ekonomi, ada yang disebut dengan easterlin paradox. Istilah ini disematkan pada nama penemu teorinya yaitu Richard Easterlin. Melalui teorinya, Easterlin (1974) menunjukkan bahwa laba, kekayaan atau dalam konteks negara kita mengenal istilah Pendapatan Domestik Bruto (PDB), tak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan tiap-tiap warganya.
Sebuah tulisan pendek dari Hamid Basyaib di laman Facebook-nya mengulas teori ini. Dia mengambil kasus Jepang, di mana PDB negara tersebut cukup tinggi namun tidak berimplikasi terhadap peningkatan kebahagiaan mayoritas masyarakat. Justru problem masyarakat Jepang masih sama dari tahun ke tahun. Sebagaimana diungkap dalam novel-novel Haruki Murakami, problem manusia di Jepang tak jauh-jauh dari depresi, meaningless, kesepian dan bunuh diri.
Melalui pendekatan ini, sudah seharusnya pemerintah di Indonesia belajar cara berhenti untuk terus mengedepankan akumulasi laba yang abai terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat adat atas nama “kepentingan bersama”. Harus ada perspektif yang lebih holistik sehingga kita tak menjadi generasi yang mewariskan alam yang rusak dan sistem kehidupan yang ringkih bagi generasi selanjutnya.
Dan sebelum solusi itu ditemukan (atau diterapkan), hal pertama yang mesti dilakukan adalah hentikan seluruh aktivitas penambangan di Raja Ampat. Bukan hanya sementara, tapi selamanya! Sekian.
(AN)