Saudi, Uang Minyak, dan Wahabisme

Saudi, Uang Minyak, dan Wahabisme

Saudi, Uang Minyak, dan Wahabisme

Saya mencermati apa yang sedang terjadi di Arab Saudi dan kabar itu datang juga. Negeri ini paling mentereng di Timur Tengah dan masih tegak berdiri di antara peradaban Arab yang koyak setelah Arab Spring. Pendapatannya 87% dipasok dari minyak, sisanya dari sektor lain terutama devisa haji dan umrah. Dia pemilik cadangan minyak terbesar kedua di dunia setelah Venezuela, pemilik cadangan gas terbesar rangking lima setelah Iran, Rusia, Qatar, Turkmenistan, dan Amerika. Dia kelola cadangan migasnya sendiri melalui Saudi Aramco. Banyak konsultan berspekulasi, Aramco adalah perusahaan minyak tertutup dengan aset terbesar di dunia. Dengan uang minyak, Kerajaan menjalankan pemerintahan dengan cara tertutup dan mengusung Wahabisme sebagai ideologi negara. Mereka tidak perlu pajak rakyat, sebaliknya rakyat tidak perlu tahu urusan pemerintah. “What right do they have when they pay no taxes and when the government provides all the needed services” (Apa hak rakyat wong mereka tidak bayar pajak dan pemerintah memenuhi semua kebutuhan mereka), demikian kata pejabat Saudi menjawab pertanyaan Valeria Marcel, penulis buku Oil Titans. Uang minyak memungkinkan Kerajaan mengekspor Wahabisme ke seluruh dunia melalui pendirian lembaga pendidikan dan tempat ibadah, termasuk Indonesia. Arabian style sekarang menjamur di kalangan anak muda Tanah Air. Gaya itu diyakini lebih dekat dengan Islam dan sunnah Nabi.

Sampai akhirnya harga minyak anjlok pada tahun 2014. Biaya pokok produksi minyak Saudi memang rendah, tetapi mereka perlu harga minyak tinggi, idealnya US$100-an per barel, agar dapat menggenjot pendapatan dan pembangunan. Harga terpuruk membuat APBN Kerajaan terpukul. Anggaran negara defisit 366 miliar riyal tahun 2015 dan 297 miliar riyal tahun 2016. Kerajaan menempuh sejumlah langkah, antara lain memangkas subsidi energi, memotong gaji pegawai, menggalang pinjaman asing, melepas saham minor Aramco, dan menjalankan program reformasi fiskal. Atas saran IMF, Kerajaan mendeversifikasi penerimaan dengan menerapkan pajak. Kerajaan akan memungut pajak pertambahan nilai (VAT) sebesar 5 persen untuk beberapa jenis barang mulai tahun 2018.

Pajak adalah instrumen demokratis untuk mendorong keterbukaan politik. Imbal balik dari pungutan pajak adalah tax payers berhak tahu apa yang dikerjakan pemerintah. Kebutuhan terhadap dana asing dan pajak rakyat mengharuskan keran keterbukaan dibuka. Pada saat bersamaan, Kerajaan jatuh kepada Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Keduanya dikenal moderat dan open-minded. Sang Putra Mahkota inilah yang kemarin mengejutkan dunia dengan pernyataannya yang mencela ideologi keagamaan konservatif yang dianut Kerajaan selama 30 tahun dan berniat meretas jalan Islam moderat. Di hadapan investor yang berkumpul di Riyadh (24/10), Putra Mahkota menegaskan tidak akan membuang waktu 30 tahun untuk memerangi pikiran-pikiran ekstrem. “We will destroy them now and immediately” (Kita akan hancurkan mereka sekarang dan segera!) https://www.theguardian.com/world/2017/oct/24/i-will-return-saudi-arabia-moderate-islam-crown-prince. Sebelumnya, dalam lawatan ke Rusia bersama Raja Salman (9/10), Menteri Luar Negeri Adel Al-Jubeir mengatakan pemerintah telah memecat beberapa ribu imam radikal dari kegiatan masjid karena menyebarkan ekstremisme. “We will not let anyone spread the ideology of hatred, to finance that kind of ideology or terrorism.” (Kami tidak akan membiarkan siapapun menyebarkan ideologi kebencian, untuk membiayai ideologi atau terorisme semacam itu) http://nation.com.pk/09-Oct-2017/thousands-of-extremist-imams-fired-in-saudi-arabia-foreign-minister-adel-al-jubeir.

Sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana nasib proyek Wahabisme di dunia? Sudah menjadi rahasia umum, uang Saudi berlumuran dalam penyebaran militansi dan radikalisme yang ditempa oleh paham keagamaan radikal dan skripturalis ala Wahabi. Gairah beragama puritan dan skripturalis kini banyak diminati anak-anak muda di tanah air. Celana congklang dan jenggot adalah ciri khas mereka. Mereka berkumpul di sejumlah tempat, aktif menggelar kajian dan menyebarkannya melalui piranti-piranti media sosial. Ustadz-ustadz mereka mencurahkan waktu sepenuhnya untuk mengajar, pengikutnya dari kalangan profesional dan kelas menengah kota. Sebagaimana terpotret dari berbagai survei, perkembangan mereka yang pesat belakangan tidak lepas dari perjuangan bertahun-tahun, dengan dukungan dari sejumlah negara Timur Tengah sebagai penyandang dananya. Sekarang Arab Saudi berniat menyetop radikalisme dan berhenti membiayai penyebaran ideologi kebencian. Kalau benar, berarti tidak akan ada uang lagi untuk mengekspor Wahabisme. Arab Saudi kini memusuhi Qatar yang dituduh masih membiayai proyek ekstremisme. Apakah lantas kiblat Wahabisme akan bergeser dari Arab Saudi ke Qatar? Perkembangan lanjut layak dicermati untuk melihat geopolitik Timur Tengah dan imbasnya terhadap gerakan Islam di Tanah Air.

*) M. Kholid Syeirazi; Sekretaris Jenderal PP ISNU