Kapan Pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia Merdeka? Jika mau membaca buku-buku sejarah, maka jawabannya bukan pemilu di zaman reformasi, melainkan zaman Orde Baru, gamblangnya ketika Soeharto berkuasa.
Berikut ini catatan kecil betapa jahat dan kotornya Orde Baru saat Pemilu 1971 dan 1977, terutama pada komunitas Islam tradisional: pesantren atau NU.
Losarang adalah sebuah daerah basis Partai NU di wilayah Kabupaten Indramayu, yang mengalami kekerasan sadis, diteror dan diintimidasi. Penduduknya mengungsi untuk menyelamatkan diri, sebagian mereka tinggal di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,Jalan Kramat Raya 164, Jakarta.
Peristiwa ini terungkap dan diangkat di harian Sinar Harapan. Koran ini mengirim seorang wartawannya, Panda Nababan, untuk meliput Losarang. Nababan datang ke Losarang ditemani KH Yusuf Hasyim dan Zamroni.
Mereka menyaksikan masjid dibakar atau rumah-rumah dihancurkan. Nababan mengatakan warga NU Losarang meninggalkan rumahnya tiba-tiba dan tergesa-gesa, karena dirinya menyaksikan di atas meja makan masih ada piring-piring dan cangkir beserta makanan yang membusuk.
Setelah tiba di Jakarta, Nababan melaporkan liputannya dengan judul “Empatpuluh Lima Djam Bersama Orang Kuat NU”.
Tulisan tersebut dimuat di halaman pertama lengkap dengan foto yang menunjukkan kondisi Losarang, dan berencana dimuat berseri.
Tapi tulisan kedua tidak sempat muncul, karena dihentikan tentara. Nababan sendiri dibawa ke Markas Intelijen Pertahanan dan Keamanan. Interogasi ini merupakan yang kedua setelah diciduk oleh Kodim Indramayu dan disuruh pergi dari Indramayu.
***
Sementara itu, Pemilu 1977, pemilu pertama setelah terjadi rekayasa fusi parpol, kebrutalan Orba tidak berhenti, bahkan semakin menjadi. Lagi-lagi, sasarannya adalah NU (bukan umat Islam di Indonesia secara keseluruhan).
Berikut ini dua tragedi sekedar mencontohkan kebrutalan rezim Soeharto.
Pertama, Pembunuhan Ulama KH Hasan Basri
Aktivis NU dan anggota Komisaris PPP Brebes-Jawa Tengah, tahun 1977. Ia merupakan salah satu korban kekerasan rezim Orde Baru. Ia tewas oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, mayatnya diceburkan di sumur.
Harian Pelita memuat peristiwa pembunuhan anggota komisaris PPP, Kiai Hasan Basri, di Brebes, Jawa Tengah.
Koran tersebut mengungkapkan kronologi pembunuhan ini, mulai dari rumah almarhum yang digedor-gedor hingga anaknya yang dibawa ke Koramil, lalu dipukuli. Pemuatan kronologi ini bertujuan menolak pernyataan pemerintah bahwa Kiai Hasan Basri tewas menjatuhkan diri ke sumur.
Berita ini disandingkan di bawah foto Soeharto yang sedang duduk, sambil senyam-senyum, saat berbicara dengan duta besar Brazil, Leonardo Elulio, yang pamitan dari Indonesia. Ia juga memuat foto besar Soeharto sedang berdiri saat menyambut kedatangan Fred D. Hartley, Presiden Union Oil Company dari California, AS.
Di atas foto itu ada judul headline: “Sekitar 2,5 juta surat suara yang ‘tidak sah’ akan ditinjau kembali”. Tentulah, penampilan Pelita edisi 6 Mei 1977 ini bukan tanpa tujuan.
Kedua, Pembakaran Asembagus
Merujuk pada aksi kekerasan oleh orang tak dikenal di desa Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Di Asembagus terdapat sebuah pesantren besar pimpinan Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kekerasan berupa pembakaran lebih dari 140 rumah milik para kiai dan penduduk ini adalah bagian dari intimidasi pada warga NU yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru menjelang Pemilu 1977.
Kekerasan serupa meluas hampir di seluruh kota-kota basis santri atau Nahdlatul Ulama, baik di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Madura, Sulawesi, hingga Lombok.
*Sejarah ini selengkapnya bisa dibaca di sini