Sastra Arab Setelah Kehadiran Islam

Sastra Arab Setelah Kehadiran Islam

Corak sastra Arab ternyata memiliki perubahan setelah Islam datang

Sastra Arab Setelah Kehadiran Islam
Pasar Ukaz dahulu menjadi tempat para penyair Arab

Sastra bukan lagi barang baru bagi orang-orang Arab, khususnya umat Islam. Keseharian masyarakat Arab pada lazimnya dipenuhi kata-kata kiasan yang penuh metafor, baik dalam bentuk puja-puji, ratapan hingga umpatan. Kita bisa melacak kembali, bahwa sastra merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebelum Islam datang.

Lekat dalam benak kita, 3 tempat nge-hits kala itu. Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha’if.

Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah. Di tiga tempat ini pula, menjadi saksi bisu bagaimana sastra dan peradaban kala itu dibangun. Sastra telah hidup dan mendarah daging dalam keseharian masyarakat Arab dari dulu hingga kini.

Di masa jahiliyyah, mayoritas penduduk Mekkah adalah penyembah berhala. Bukan tanpa alasan, keyakinan mereka terhadap agama leluhur sangatlah kuat. Jahiliyyah pada masa ini, menurut sebagian pakar sejarah, bukan dimaknai sebagai kebodohan secara intelektual, melainkan keadaan dan tradisi masyarakat Mekkah saat itu setelah rentang masa fatrah (rentang antara dua nabi) yang jauh dari moral dan norma kemanusiaan.

 

Sejarah Singkat Sastra Masa Jahiliyyah

Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah.

Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.

Puisi merupakan genre sastra Arab yang paling populer pada masa Jahiliah dibandingkan dengan genre-genre yang lain. Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa itu.

Mengenai sejarah awal mula timbulnya syair Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan syair Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak syair Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak syair Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.

Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan syair Arab, bukan berarti bahwa permulaan timbulnya syair Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, syair Arab telah ada, hanya saja syair Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap.

Pada umumnya puisi Arab pada masa tersebut mendeskripsikan keberadaan kemah, hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para penyair mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan.

Puisi pada masa pra-Islam kebanyakan “dicatat” dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya.

Para ruwat, pencerita, merupakan para penghafal puisi dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra puisi itu bisa terjaga dari generasi ke generasi.

Di antara para pencerita yang dipandang memiliki hafalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.

 

Pengaruh Islam dalam Sastra Setelah Masa Jahiliyyah

Menurut Al Muhdhar dan Arifin dalam Sejarah Kesusasteraan Arab, perubahan yang timbul dalam kesusastraan Arab Jahiliyyah sesudah lahirnya agama Islam disimpulkan menjadi tiga hal.

Pertama, penghapusan sebagian corak kesusastraan Arab Jahiliyyah. Pada masa Jahiliyyah, diksi-diksi dan ungkapan dalam puisi banyak mengandung kevulgaran; tubuh wanita, cacian terhadap suatu kabilah, pujian terhadap berhala-berhala, dan lain sebagainya.

Pada masa Islam, masa di mana nabi membawa risalah Allah Swt, hal-hal tersebut sangat dilarang. Terlebih manakala diturunkannya ayat 224-227 dari surah as-Syu’ara. Ayat tersebut menyinggung para penyair yang bertindak amoral dan menjadikan puisi hanya bertujuan untuk kesenangan maupun berduka-cita semata.

Mereka kerap memperindah kata-kata saja sebagai puisi, tetapi mereka tidak mau mengamalkan kandungan isi puisinya, sehingga puisinya diberi karakter puisi romantika atau diberi sebutan apa saja sesuai dengan alirannya masing-masing.

Selain itu, ayat tersebut ditujukan secara khusus untuk para ahli syair jahiliyah yang ketika itu merasa bahwa mereka mampu menandingi kefasihan Al-Quran, karena mereka dapat berhubungan baik dengan jin, sehingga dapat memberitahukan segala persoalan yang ghaib. Meski usaha mereka tentu saja sia-sia.

Ayat tersebut menegaskan bahwa rasa takut terhadap Allah Swt merupakan modal utama bagi umat Islam, terutama bagi para penyair.

Kedua, menciptakan corak baru yang sesuai dengan Islam. Pada masa Islam, beberapa tema yang dahulunya kerap digunakan, mengalami perubahan yang cukup signifikan. Al-Washf, misalnya, deskripsinya tidak lagi menggambarkan tentang minuman keras, ataupun perjudian, melainkan segala sesuatu yang baik dan terpuji. Lalu Al-hija’, yang berarti satire, bukan lagi cemoohan atau sindiran jelek, yang menyebarkan permusuhan dalam masyarakat. Al-hija’ di masa Islam kerap dipakai untuk menyinggung atau menyindir perilaku orang-orang munafik dan tidak beriman.

Selain itu, bahasa dalam puisi-puisi di masa ini menjadi lebih halus dan penuh pemaknaan. Hal ini tak lepas dari al-Quran yang diturunkan, yang melalui keindahannya, masyarakat Arab kala itu takjub dan terkesima.

Ketiga, mengembangkan sebagian corak lama yang sesuai dengan Islam. Corak baru yang dibawa Islam ialah timbulnya macam-macam cabang tata peraturan dan undang-undang baik dalam syari’at Islam maupun di bidang bahasa sendiri seperti timbulnya Ilmu Balaghah, Ilmu Nahwu, dan Ilmu Arudh, dan lain sebagainya.

Sedangkan corak yang dihapus oleh Islam yaitu Saj’u al-Kuhhaan, puisi-puisi yang berupa mantra yang kera digunakan para dukun masa itu.

Namun, ada juga corak yang lama dan dikembangkan oleh Islam yakni di bidang syair dan khutbah, karena keduanya sangat berkontribusi dalam membantu perluasan dakwah Islam kepada sekalian bangsa Arab, karena bangsa arab sangat senang dengan kedua corak ini.

Wallaahu a’lam.