Pernahkah Anda memakai sarung Toraja? Sarung yang biasanya dipakai dalam upacara adat Suku Toraja kini sudah menjadi pakaian muslim umum. Musim-musim Ramadhan hingga hari raya seperti saat ini, sarung toraja mejeng di toko-toko busana.
Ada beberapa jenis sarung toraja, muali Mappasilaga Tedong, Tari Ma’badong, Rambu Solo’, Rambu Tuka’ dan Manene dengan warna khas hitam, dihiasi dengan ukiran khas Toraja dan rumah adat Tongkonan. Ada juga warna putih. Di Sulawesi Selatan Suku Toraja dan Suku Kajang adalah suku yang memakai pakaian khas hitam. Dari sarung, baju dan penutup kepala untuk laki-laki.
Transformasi Sarung Toraja
Sarung Toraja dalam beberapa tahun terakhir telah bertransformasi. Sarung Toraja telah menembus batas budaya dan agama. Bahkan mungkin telah bergeser dari ruang ‘sakral’ di kehidupan masyarakat Toraja ke ruang ‘profan’. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya generasi milenial terutama kaum pelajar di Sulawesi Selatan yang memakai sarung Toraja dan mereka bukanlah orang asli atau punya darah Suku Toraja. Bahkan mayoritas pemakainya adalah Muslim milenial.
Saat ini banyak anak muda yang memakai sarung Toraja ke ruang ‘privat’ agama Islam. Sarung Toraja dipakai sebagai pelengkap busana untuk beribadah seperti shalat Wajib, Shalat Jumat dan Shalat Tarawih dan shalat Ied, lengkap dengan motif ukiran khas Toraja di bagian bawah sarung.
Sarung Toraja merupakan bagian dari agama dan kebudayaan Suku Toraja. Sarung Toraja jika mengutip istilah Koentjraningrat adalah kebudayaan bendawi hasil karya manusia yang bersifat konkret, dapat dilihat, diraba dan dirasa. (Pengantar Ilmi Teologi, Rinaka Cipta, Jakarta, 2012).
Gejala Budaya Baru
Sarung Toraja bisa dikatakan sebagai gejala budaya baru Muslim milenial. Yaitu cara berislam yang diekspresikan dengan semangat lokalitas. Jika menilik kembali historitas Islam, ada banyak akulturasi budaya antara Islam dan budaya non-Islam. Bisa kita lihat pemakaian menara masjid, mihrab, karpet itu tidak murni budaya Islam namun kemudian ‘diislamkan’.
Hal ini sama dengan pemakaian sarung Toraja yang kian hari semakin digandrungi. Karena ukurannya yang lebih kecil dari sarung secara umum juga permukaannya yang halus menjadi salah satu daya tarik Muslim milenial. Bukan hanya untuk digunakan bukan hanya dalam waktu senggang, tapi juga dalam ibadah sehari-hari.
Ada beberapa makna corak atau batik khas Toraja seperti dikutip dari BatikIndonesia.com di antaranya:
Pa’bua Tina yang menyerupai buah pohon waru khas toraja. Motif ini bisa dimaknai pintar dalam meniti kehidupan dan mempunyai keterampilan dalam mengemban amanah.
Pa’bannang, berupa garis-garis pada kain yang memiliki makna sopan santun, berjalan sepadan, menghargai satu sama lain.
Sarung Toraja dari Busana Adat ke Busana Muslim
Tidak menutup kemungkinan bahwa ke depan sarung Toraja juga akan ‘diislamkan’ secara luas seiring berjalannya waktu. Hal lain yang bisa kita lihat bahwa kaum pelajar Muslim yang hobi sarungan adalah ‘kelompok’ yang mempresentasekan pemikiran Islam yang moderat.
Kita tahu bersama bahwa secara keyakinan masyarakat Toraja masih menganut Aluk Todolo (kepercayaan leluhur), ada juga yang beragama Hindu Alukta seperti di daerah Simbuang, Protestan, Katolik dan juga Islam.
Namun kenyataannya pelajar Muslim yang hobi sarungan, nampaknya tidak mempermasalahkan. Toh, fashion sarung Toraja lebih dominan daripada membahas masalah keyakinan orang lain dalam masyarakat Toraja itu sendiri.
Menurut Sofyan A.P. Kau dalam Argumen Islam Ramah Budaya, Intelegensi Media 2021, pada tingkat personal seperti pemakaian sarung Toraja, perilaku keberagamaan berkaitan dengan apa yang diimani seseorang, lalu agama berfungsi dalam kehidupan pribadi dan memberikan pengaruh kepada pikiran, perasaan dan perbuatan.
Menghargai kebudayaan orang lain merupakan hal yang baik dalam Islam itu sendiri. Apalagi jika dari kebudayaan itu ada yang bisa diselaraskan dengan ajaran Islam. Bukankah dulu Nabi biasa meniru model rambut belah tengah ala Yahudi? Selain itu al-Qur’an juga melarang bahkan jika mencibir simbol-simbol agama lain sebagaimana dalam surah Al-an’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya :”Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka”.
Menurut Muchlis M. Hanafi (Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, Kemenag 2017), ayat di atas berkaitan dengan beberapa sahabat pada zaman nabi yang menghina Tuhan kaum musyrikin. Lalu kaum musyrikin menimpali akan menghina dan memaki Allah SWT. Kemudian turunlah ayat di atas sebagi nasehat agar umat Islam tidak saling mengganggu peribadatan umat lain sekalipun itu golongan musyrikin.
Tentu yang diharapkan dari fenomena sarung Toraja dari busana adat menjadi busana Muslim Milenial adalah semakin eratnya nilai-nilai toleransi yang sangat penting bagi Indonesia yang multikultural.
Secara tidak langsung, pelajar Muslim milenial telah menunjukkan keterbukaan pemikiran yang dalam kesempatan lain bisa saja tergerus karena ada paham keislaman yang kaku dan tekstual bahkan anti kebudayaan.
Relasi Islam dan budaya selalu menjadi perbincangan yang mewarnai kehidupan kita. Islam dan budaya tidak bisa terlepas karena saling mendukung satu sama lain selama budaya itu tidak mengganggu wilayah aqidah Islam. Dalam hal budaya, sarung Toraja bisa dilihat dari sisi postifnya. Sarung adalah busana yang secara umum di Indonesia bisa digunakan untuk menutup aurat.
Dan sarung Toraja bisa menjadi salah satu pilihan pelengkap untuk menjadi syarat sah suatu ibadah karena menutup aurat. Telah banyak contoh pada masa lalu di mana ajaran Islam disebarluaskan melalui jembatan budaya.
Di samping itu, pemakaian sarung Toraja dalam skala besar bisa meningkatkan ekonomi dan tentunya pariwisata dan ini bisa membantu membuka peluang lapangan kerja baru.
Islam dan Toraja
Islam menjadi minoritas di Toraja. Di antara suku-suku besar yang mendiami Sulawesi Selatan, Suku Toraja merupakan suku yang masih kental dengan ajaran leluhur Alu Todolo di samping berkembangnya agama Kristen Protestan dan Katolik juga Hindu Dharma Alukta. Namun begitu, muslim turut membangun perdaban di Toraja. Dalam bidang perdagangan atau perniagaan banyak diisi oleh para pendatang dari Bugis, Makassar dan Jawa.
Kabupaten ‘Negeri di Atas Awan’ ini juga terkenal karena harmonisasi yang terjalin antara pemeluk agama. Ketika ada pembangunan masjid atau gereja misalnya maka para jamaah bahu membahu dalam pembangunan. Jika ada jamuan dalam acara suka cita (Rambu Tuka), duka cita (Rambu Solo’), maka ada pihak tertentu yang diberi amanah untuk mensterilkan jamuan yang non-halal untuk tamu atau keluarga muslim.
Hal ini di atas sebagaimana diungkapkan oleh Ammy Sudarmin, salah seorang tenaga pengajar SMKN Tana Toraja, dalam sebuah artikel Aku Islam, Aku Toraja dan Aku Bangga, Kemenag 2021.
Kehidupan harmonis di Toraja perlu dan selalu kita dukung sebagai masyarakat luar Toraja. Hidup harmonis bisa tercipta jika setiap individu dari setiap lapisan masyarakat mengedepankan kebersamaan. Harmonis adalah klise surga dunia. Orang yang tidak hidup harmonis mungkin saja tidak mengharapkan surga yang hakiki di akhirat kelak. Tidak harmonis juga cerminan dari ketidakridoan kita kepada sunnatullah yang Allah swt berikan. Dan bagaimana kita memasuki surga Allah SWT jika dalam hati kita terdapat kebencian hanya karena perbedaan keyakinan?