Santri dan Tradisi Ngalap Berkah: Tanggapan untuk Khalid Basalamah

Santri dan Tradisi Ngalap Berkah: Tanggapan untuk Khalid Basalamah

Santri dan Tradisi Ngalap Berkah: Tanggapan untuk Khalid Basalamah

Ngalap berkah (tabaruk) bagi santri adalah suatu hal yang lumrah terjadi di pesantren-pesantren di Indonesia. Apalagi ketika ngaji pasanan (mengaji kitab pada bulan puasa) yang diselenggarakan setelah tarawih sampai waktu sahur. Para santri berebut minuman yang disediakan untuk kyai. Setelah pengajian diakhiri dengan wallahu a’lam dan kyai beranjak dari tempat duduk, para santri yang ada di depan segera bergegas untuk mengambil air minum dan meminumnya.

Saya sebagai seorang santri dan pernah merasakan atmosfir kehidupan di pesantren, merasakan sekali bagaimana senangnya bisa minum sisa minuman yang diminum pak Kyai. Berbeda halnya dengan orang-orang yang tidak pernah nyantri dan melakukan itu, pasti akan bertanya-tanya, membidahkan bahkan mengkafirkan. Tentu, saya dan teman-teman santri yang lain dituntut untuk mengetahui sumber dalil ngalap berkah yang sering kali kami lakukan. Yakni melalui pengajian-pengajian hadis dan kitab-kitab kuning yang lain.

Maka dari itu perlu memperhatikan beberapa hal sebelum memvonis orang lain melakukan bid’ah, syirik atau sesuatu yang haram karena ngalap berkah kepada kyai.

Pertama yang harus kita ketahui adalah apa makna tabaruk (ngalap berkah). Tabaruk merupakan derivasi dari kata berkah. Dalam bahasa Arab, Berkah disebut dengan Barakah (البركة) yang berarti ni’mah (النعمة), kebahagiaan (السعادة), dan penambahan (النماء و الزيادة). Dalam Mu’jam al-Wasiṭ, disebut barakah karena tetapnya kebaikan di dalamnya sebagaimana tetapnya air dalam kolah (البِركة).  Dalam al-Qur’an, barakah berarti kebaikan yang bertambah dan berlangsung secara kontinyu.

Nah, kalau ada ustadz atau orang lain yang mengatakan bahwa minuman ini tidak ada berkahnya, makanan ini tidak ada berkahnya dan jangan diambil. Berarti ustadz tersebut tidak ingin minuman yang ia minum memiliki keberkahan sebagaimana makna yang disebutkan di atas. Ustadz tersebut sejatinya tidak ingin mendapatkan kebaikan yang kontinyu dari air yang ia minum.

Kedua, para sahabat juga sering bertabaruk kepada Rasulullah Saw. Ada beberapa hadis yang menjelaskan sifat dan macam-macam tabaruk sahabat kepada Rasul Saw. Ada sahabat yang bertabaruk dengan tubuh Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah (HR. Bukhari-Muslim), rambut Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Thalhah (HR. Muslim), ludah Rasul sebagaimana dilakukan Asma binti Abu Bakar (HR. Bukhari-Muslim), keringat Rasul sebagaimana yang dilakukan Ummu Salim dan hal itu diafirmasi kebenarannya oleh Rasul (HR. Muslim), bahkan barang-barang yang pernah disentuh Rasul pun dijadikan tabaruk oleh sahabat salah satunya adalah minuman (HR. Bukhari dalam Kitab al-Asribah).

 

Tabaruk Kepada Rasul dan Tabaruk Kepada Kyai

Apakah bisa disamakan antara bertabaruk dengan Rasulullah Saw dan bertabaruk (ngalap berkah) dengan orang sholeh zaman sekarang seperti kyai? An-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa hadis-hadis di atas merupakan kebolehan untuk tabarruk dengan bekas orang shaleh.

Bahkan Ibnu Hibban dalam Sahihnya membuat dua bab khusus yang menjelaskan kebolehan bertabaruk dengan orang shaleh dan ahli ilmu. Dua bab itu adalah:

ذِكْرُ مَا يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْءِ التَّبَرُّكُ بِالصَّالِحِينَ، وَأَشْبَاهِهِمْ

Bab menjelaskan kesunnahan bagi seseorang untuk bertabaruk dengan orang shaleh dan orang yang serupa dengan orang shaleh

ذِكْرُ إِبَاحَةِ التَّبَرُّكِ بِوَضُوءٍ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانُوا مُتَّبِعِينَ لَسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab menjelaskan tentang kebolehan bertabaruk dengan air wudhu orang shaleh yang merupakan bagian dari ahli ilmu asalkan mereka mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah Saw.

Dari dua bab di atas, Ibnu Hibban ingin menyebutkan bahwa bertabaruk seperti yang dilakukan oleh para sahabat kepada Rasul itu boleh dilakukan oleh orang lain kepada orang yang shaleh asalkan orang tersebut menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah Saw.

Ibnu Hibban dalam bab pertama di atas, menjelaskan sebuah hadis tentang anjuran Rasul untuk bertabarruk kepada orang yang lebih mumpuni keilmuannya:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

Barakah itu terdapat pada orang-orang yang lebih tua (lebih berilmu) dari kalian.

Hadis di atas dinyatakan sahih oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak alas Sahihain-nya dan menyatakan bahwa hadis di atas sahih sesuai dengan syarat Bukhari.

Makna lebih tua dalam hadis di atas bukan cukup lebih tua secara umur akan tetapi lebih ahli secara ilmu. Jika ada anak kecil yang lebih berilmu dan mumpuni maka anak kecil tersebut juga termasuk akabir dalam hadis di atas. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abdurrauf al-Minawi dalam kitab Faidhul Qadir-nya.

Dalam prespektif Ibnu Hibban ini, apakah kyai yang setiap harinya mengajarkan agama dan ilmu-ilmu keislaman kepada para santrinya masih tidak bisa dikategorikan sebagai orang shaleh yang mengikuti sunnah Rasul? Dan haram, bidah, bahkan musyrik untuk ngalap barakah kepadanya?

Memang beberapa ulama mengatakan bahwa tabarruk yang dilakukan sahabat kepada Rasul itu tidak bisa disamakan dengan bertabbaruk kepada orang shaleh lain selain Rasul. Pendapat ulama ini bertujuan untuk berhati-hati agar tidak terjadi perbuatan syirik dan ghuluw (perbuatan kelewat batas). Jika tidak terjadi demikian ketika bertabaruk kepada orang shaleh yang lain seperti kyai, maka hal itu tentu diperbolehkan.

Alasan beberapa orang yang mengharamkan ngalap berkah kepada kyai bahwa kita tidak mengetahui isi hati kyai tersebut, tentu merupakan sesuatu yang sangat dipaksakan. Hati merupakan sesuatu yang tersembunyi, dan itu tidak bisa dijadikan landasan hukum keharaman suatu perkara. Bahkan Rasul pun tidak bisa memberi hukuman kepada orang yang di dalam hatinya menyembunyikan sesuatu. Kata Rasul saat itu: Nahnu nahkumu bi dzawahiriha (kita memutuskan hukum dengan bukti yang tampak). Bahkan kita sendiri pun tidak tahu, isi hati ustadz yang mengharamkan ngalap berkah kepada kyai itu. Apakah dia riya’, takabbur, atau ujub ketika mengharamkan itu atau tidak.

Ini yang Hanya Diketahui Santri

Sebagaimana judul sub bab di atas, ngalap barakah yang dilakukan santri kepada kyai dengan meminum air kyai setelah mengaji tidak akan diketahui oleh orang yang tidak pernah nyantri.

Ketika kami berebut untuk minum, kondisi kami sedang mengaji. Tentu ketika mengaji, ada ayat al-Qur’an, hadis, bahkan doa-doa yang diucapkan oleh kyai. Dan tentunya pengajian kitab di pesantren itu selalu ditutup doa yang dibaca langsung pak kyai. Dengan isi pengajian itu, siapa santri yang tidak mau berkah dari air yang dibacakan al-Quran, hadis, dan doa-doa yang diucapkan oleh pak kyai ketika pengajian? Lalu, apakah itu diharamkan? Rasul saja pernah melakukan itu.

Rasulullah ketika sakit, beliau membaca ayat-ayat muawwidzat (ayat-ayat mantra) kemudian ditiupkan (HR. Muslim).

Maka dari itu, kita tidak bisa memvonis kafir, bidah, haram, syirik orang lain. Tetapi kita sendiri tidak mengetahui keadaan sebenarnya dan kurang bacaan serta ilmu kita. Wallahu Alam.