Santri Milenial, Santri Zaman Now

Santri Milenial, Santri Zaman Now

Santri Milenial, Santri Zaman Now
datdut

Perayaan Hari Santri pada tahun ini, berlangsung dengan gegap gempita di berbagai kawasan. Hampir semua komunitas santri bersuka cita menancapkan semangat mereka, pada perayaan Hari Santri. Dari panitia nasional Hari Santri, bahkan rangkaian agenda berlangsung sejak Agustus hingga akhir Oktober 2017 ini. Tentu saja, gebyar Hari Santri ini patut direnungkan, tidak sekedar hadir dalam selebrasi, namun dalam refleksi jernih untuk memuntaskan tugas santri dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan.

Dalam sebuah perbicangan dengan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU) dan Gus Yahya Cholil Staquf (Katib ‘Am Syuriah PBNU), penulis terlibat dalam diskusi mengenai masa depan santri, pesantren dan Nahdlatul Ulama. Intinya, komunitas santri harus menjadi penggerak (muharrik) dalam pengembangan pengetahuan dan terlibat aktif dalam perdamaian dunia. Sudah tidak zaman lagi, para santri asyik dengan komunitasnya sendiri, dengan dunia internalnya sendiri. Santri-santri zaman sekarang harus terlibat aktif dalam pelbagai perkembangan lintas dimensia.

Santri milenial 

Membaca masa depan pesantren dan nahdliyyin tidak lepas pada perbincangan tentang ‘santri milenial’. Di media sosial, istilah santri milenial berkembang searah dengan pembahasan isu-isu ‘santri zaman now’. Dari istilah analis demografi sosial, generasi milenial atau generasi Y akrab disebut sebagai ‘generation me’ atau ‘echo boomers’. Para pakar menggolongkan generasi ini yakni mereka yang terlahir pada tahun 1980 hingga 2000. William Strauss dan Neil Howe, dua periset Amerika, mengenalkan istilah milenial kepada publik luas.

Hasanuddin Ali, dalam risetnya tentang generasi milenial, menjelaskan betapa generasi milenial memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial dengan populasi 34% dari penduduk Indonesia saat ini, memiliki karakter creative, confident, dan connected (Ali, 2017). Generasi ini sangat kreatif dalam mengeksplorasi dimensi baru, bekerja dalam bidang-bidang kreatif yang menggairahkan. Sekaligus percaya diri dengan keahlian, kapabilitas dan cakrawala pengetahuan yang dimiliki. Generasi milenial juga terkoneksi dengan teknologi, untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan memperluas jaringan.

Bagaimana dengan santri milenial? Tentu saja, santri milenial tidak lepas dari karakter generasi milenial pada umumnya. Mereka sangat kreatif, percaya diri sekaligus terkoneksi dengan lini-lini teknologi. Kreatifitas santri milenial tidak dibatasi oleh bilik-bilik pesantren, mereka juga percaya diri dengan kemampuan personal dalam pelbagai pengetahuan, science dan antar bahasa. Namun, santri milenial memiliki keunggulan dalam basis moral. Nilai-nilai moralitas inilah yang menjadi daya penunjang bagi santri milenial, di samping kemampuan analisa teks-teks keislaman klasik yang diajarkan selama di pesantren.

Setidaknya, ada tiga isu mendasar yang dapat menjadi renungan santri milenial pada momentum hari santri ini. Pertama, pengembangan kapasitas pengetahuan dan jaringan intelektual santri. Peningkatan kapasitas intelektual ini penting, agar santri dapat membaca arah zaman. Sudah saatnya santri milenial berjuang menembus gerbang dan dinding universitas-universitas top dunia. Jika pada masa lampau, santri belajar di pesantren-pesantren dan kemudian melanjutkan pengembaraan ke negara-negara Timur Tengah. Saat ini, komunitas santri harus percaya diri untuk menggali pengetahuan dari sumber-sumber peradaban intelektual dunia.

Secara sumber daya dan intelektualitas, santri sebenarnya tidak kalah dengan kelompok lain. Basis pendidikan santri menjadi penopang konstruksi pengetahuan, sekaligus menjadi dasar bagi pengembangan keilmuan yang kokoh. Untuk itu, santri-santri milenial harus berani berkompetisi dengan pemuda-pemuda dari berbagai negara di dunia, untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya. Santri-santri dan pemuda negeri ini, jangan kalah dengan semangat barisan pemuda dari China dan India yang meramaikan ruang-ruang kuliah dan pelbagai tim riset di kampus-kampus unggulan di Eropa, Australia dan Amerika.

Kedua, santri-santri zaman sekarang haruslah siap dengan skill professional. Kemampuan atau keahlian khusus harus dimiliki santri milenial agar mampu berkompetisi dalam pelbagai lini kehidupan. Hanya dengan kemampuan intelektual dan skill professional, santri dapat memasuki ruang kompetisi di dunia digital, maupun ceruk profesionalitas yang lain. Di sisi lain, basis moral dan nilai kesederhanaan yang dimiliki santri, menjadi nilai plus yang dimiliki untuk menunjukkan kompetensinya dalam berkontribusi untuk pengembangan pengetahuan dan pembaharuan peradaban.

Di era digital sekarang ini, dengan pelbagai keahlian dan passion yang dimiliki, santri-santri layak berkompetisi sebagai digital start-up, ahli statistik, technopreneur, big data analys, dan bermacam pekerjaan menantang yang terbuka dari ruang-ruang percepatan teknologi digital. Di medan kompetisi inilah, santri milenial mendapat tantangan baru dalam pengembangan diri dan kontribusi untuk bangsa. Karena, dalam percepatan teknologi digital, sejatinya berlangsung kompetisi antar negara dalam rekayasa sistem teknologi, data, ekonomi, pertahanan dan geo-politik regional. Kompetisi digital menyembulkan gairah ekonomi-politik antar negara.

Ketiga, santri harus memahami geo-politik dan peta ideologi global. Kontestasi ideologi yang berlangsung di berbagai negara, dengan segala macam variannya perlu menjadi pembelajaran bagi santri milenial. Dengan sendirinya, kemampuan analisa atas geo-politik regional dan global menjadi penting. Hal ini dibutuhkan untuk membingkai cakrawala gagasan, atas pelbagai kejadian dalam bidang politik, ekonomi, hokum hingga kebudayaan yang terjadi di lintas negara. Kontestasi ideologi di Indonesia juga haruslah dipahami dengan latar belakang peta ideologi internasional, sehingga mampu melihatnya secara lebih jernih.

Dengan demikian, santri dapat meletakkan posisi Nahdlatul Ulama dalam ruang global, pada dimensi internasional. Tidak hanya dalam geo-politik di Indonesia semata, namun santri-santri dapat membaca Nahdlatul Ulama dan komunitas pesantren dalam peran strategisnya pada dimensi internasional. Hal ini diperkuat dengan tumbuhnya komunitas santri yang membangun Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di berbagai negara Eropa, Timur Tengah, Australia, Afrika dan Amerika. Mereka merupakan santri-santri terdidik yang memiliki gairah untuk mengembangkan ilmu, sekaligus berhasrat untuk mengabdikan pengetahuan untuk kemanusiaan dan kebangsaan.

Kini saatnya santri-santri milenial berperan sebagai muharrik untuk menebarkan nilai tawassuth (moderatisme), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi) dan I’tidal (keadilan) dalam dimensi kehidupan, sebagai pengabdian nilai-nilai pesantren yang terkoneksi dengan semangat kebangsaan [Munawir Aziz]