Bertepatan pada hari Natal ini, mengingatkan saya dengan kisah perjuangan seorang pemuka agama Katolik dan bagaimana ia terus diingat sebagai seorang Santo sama halnya Gus Dur diingat sebagai seorang Waliyullah di kalangan Muslim.
Dia adalah Oscar Romero, uskup agung El Salvador. Empat puluh tahun yang lalu, seorang pendeta Katolik ditembak di tengah mimbar ketika menyampaikan khutbahnya. Dia ditembak atas perjuangannya melawan ksewenang-wenangan pemerintah. Tulisan ini akan mengulas bagaimana laku hidup Gus Dur dan Oscar Romero abadi dalam ingatan sebagai seorang Santo dan Waliyullah.
Gus Dur sering melantunkan sebuah syair Arab bijak bestari:
Wahai anak Adam, ibumu melahirkanmu dalam keadaan menangis, sementara orang di sekitarmu tertawa bahagia.
Maka berjuanglah dalamm hidup sehingga sampai saat mereka menangis, ketika engkau mati dalam keadaan tersenyum.
Visi kematian seperti ini yang betul-betul dijalani oleh Gus Dur dan Oscar Romero. Bagi saya pribadi, mati seperti ini lah yang diidamkan oleh orang beragama. Perjuangan selama hidup seorang hamba akan sangat ditentukan dari bagaimana mereka mati. Lebih jauh lagi, bagaimana perjuangan hidup seseorang masih terus diteladani bahkan setelah mereka mati.
Oscar Romero dan Perjuangannya
Oscar Romero lahir di El Salvador pada tanggal 15 Agustus 1917. Di usia 13 tahun, dia masuk Seminari dan diangkat menjadi imam di tahun 1942. Pada tahun 1943 dia berangkat ke Roma untuk memperdalam ilmu agamanya. Dia menjadi pembantu uskup agung Gereja Katolik di El Salvador di tahun 1970 dan diangkat menjadi uskup agung El Salvador pada Maret tahun 1977.
El Salvador saat itu dikuasai rezim militer di bawah komando Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez. Oscar Romero menjadi uskup agung saat konteks kehidupan sosial El Salvador mengalami ketimpangan. Kopi, yang menjadi komoditas utama El Salvador hanya dikuasai oleh kroni-kroni konglomerat yang dekat dengan penguasa. Masyarakat El Salvador yang kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun kopi tidak mendapatkan hak mereka. Ketidakadilan ini ujungnya bisa ditebak: kemiskinan dan kesengsaraan. Rakyat makin tertindas dengan rezim militer yang represif.
Pada tahun 70-an, paham teologi pembebasan sedang tumbuh subur di Amerika Latin. Paham ini banyak digagas oleh para imam dan pengajar teologi di Amerika Latin sebagai bentuk keberpihakan mereka kepada rakyat yang tertindas. Saat Romero menjadi pembantu uskup agung, banyak imam Katolik yang skeptis karena dia cenderung konservatif. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai pembantu uskup, dan tidak banyak berbicara tentang kondisi sosial politik yang tengah dalam situasi krisis. Romero memang menarik banyak sedekah dari orang kaya, dan memberikannya kepada rakyat miskin. Tapi dia tidak bersentuhan langsung dengan realita masyarakat miskin, dan banyak berkutat dengan mimbar khutbah dan pelayanan gereja. Dia cenderung berseberangan dengan para imam yang terlibat di gerakan perlawanan dan bahkan menuding mereka sebagai Marxis.
Romero yang konservatif kemudian berbalik arah, setelah dia diangkat menjadi uskup agung pada tahun 1977. Di tahun yang sama, sahabatnya sesama uskup, Rutilio Grande terbunuh. Grande adalah pastor pertama yang dibunuh oleh rezim militer El Salvador karena terlibat dalam gerakan perlawanan. Menjelang pemakaman Grande, Romero berikrar bahwa ia tidak akan pernah mendatangi pertemuan apapun dengan negara, selama pembunuhan Grande tidak diinvestigasi. Dengan tiadanya upaya investigasi pembunuhan tersebut, maka Romero makin tegas menjadi oposisi pemerintah. Dia berkata:
“Mereka membunuhnya (Grande) atas apa yang ia lakukan. Maka saya harus mengikuti jalan yang sama. Rutilio (Grande) telah membuka mata saya. Saya bersyukur karena Gereja dikejar-kejar karena memihak rakyat miskin. Imam yang terbunuh adalah saksi bahwa Gereja menginkarnasi diri dalam problem umatnya.”
Romero kemudian mulai menunjukkan keberpihakanya kepada rakyat miskin dengan berbagai cara. Salah satu yang populer adalah menyampaikan pesan kemanusiaan lewat khutbah Misa mingguannya yang secara konsisten dia lakukan bertahun-tahun.
Dia tidak hanya berkhotbah, tapi juga menambahkan khutbahnya dengan menyebut daftar nama korban yang terbunuh di tangan tentara, atau mereka yang menghilang karena diculik pemerintah. Dia berinisiatif untuk menyiarkan khutbahnya secara live lewat radio. Tiap minggu para jamaah di San Salvador menunggu khutbahnya melalui radio. Digambarkan saat itu bahwa jika anda berjalan dari satu kampung menuju kampung lain, sepanjang jalan anda akan mendengarkan khutbah Romero, karena semua rumah di San Salvador menyetel radio di frekuensi yang sama.
Orientacion, buletin mingguan keuskupan juga dia manfaatkan untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Khutbah Romero juga kerap mengajak masyarakat untuk bersatu dan berorganisasi secara kolektif melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa dan aparatnya.
Tidak hanya itu, Romero juga membuka layanan advokasi, dengan cara mengumpulkan para sarjana muda lulusan ilmu hukum dan para pengacara. Seminari dan rumahnya dia buka menjadi rumah rakyat, sebagai tempat aduan masyarakat atas pembunuhan atau penculikan. Dia membuka layanan bagi para janda dan anak yatim yang ditinggal mati suami, bapak atau anggota keluarga yang hilang secara misterius. Romero juga mengirim surat kepada presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, untuk menghentikan bantuan militer Amerika Serikat kepada pemerintah El Salvador.
Periode Romero menjadi uskup agung El Salvador hanya selama tiga tahun, yakni mulai tahun 1977 sampai tahun 1980. Waktu yang relatif singkat, tetapi juga berarti, karena kepemimpinannya dibatasi oleh maut. Saat itu hari Minggu sore, ia sedang memberikan ceramah di sebuah kapel kecil di salah satu susteran, di sebuah desa yang jauh dari riuhnya kota. Sesudah menyelesaikan ceramahnya, sebelum dia sempat turun dari mimbar, tiba-tiba terdengar sebuah tembakan. Romero tersungkur menghujam lantai dengan tubuh bersimbah darah yang mengucur dari jantungnya. Ia menjadi martir, sekaligus menepati keyakinannya:
“Saya sadar bahwa posisi saya berbahaya, dan bisa mati sewaktu-waktu. Tapi saya percaya dengan kebangkitan setelah mati (resurrection). Saya akan bangkit di tengah masyarakat El Salvador.”
Oscar Romero dan Gus Dur
Dalam konteks keindonesiaan, tidak sulit jika kita diminta untuk menyebut tokoh yang jejak perjuangannya mirip dengan Oscar Romero di El Salvador. Saya tidak perlu berpikir panjang dan akan menyebut Gus Dur lah orangnya. Tanpa menafikan tokoh-tokoh kemanusiaan dari agama lain, akan tetapi kedekatan penulis sebagai seorang muslim, dan santri, tentunya Gus Dur menjadi nama pertama yang penulis sebutkan.
Persamaan Romero dan Gus Dur ada dalam beberapa hal. Yang pertama adalah semangat nilai pembebasan. Baik Oscar Romero dan Gus Dur sadar betul akan masalah yang dihadapi masyarakat yang terbelenggu oleh kejamnya penguasa. Kedua tokoh ini juga sadar betul akan pentingnya advokasi dalam upaya pembebasan masyarakat dari kekejaman pemerintah. Keberpihakan Gus Dur kepada rakyat yang tertindas dan terdiskriminasi terlihat jelas dalam kasus Waduk Kedungombo, atau dalam mengangkat harkat dan hak kewarganegaraan masyarakat Tionghoa yang mengalami tekanan selama berpuluh-puluh tahun saat rezim Orde Baru.
Baik Romero maupun Gus Dur sadar betul dalam memanfaatkan jabatan yang mereka pegang. Gus Dur sendiri sering sekali mengutip adagium fiqih dalam berbagai tulisannya: Tasharruf al-Imam ‘ala ra’iyyah, manuthun bi al-maslahah. Bahwa tindakan atau kebijakan seorang pemimpin haruslah mengikuti kepentingan umum dari masyarakat yang ia pimpin.
Sebagai seorang pemimpin masyarakat, Romero hadir sebagai uskup agung El Salvador. Pada konteks tertentu Gus Dur sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Presiden RI. Semangat pembebasan yang mereka punya sangat otentik, sejalan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat saat itu dan tentunya memimpin dengan keberanian yang sungguh. Gus Dur tidak takut kehilangan jabatan presiden, bahkan tercatat menjadi satu-satunya Presiden yang bisa menertawakan lembaga kepresidenan itu sendiri dengan celana kolor. Masa kepemimpinan mereka juga sama-sama relatif singkat. Gus Dur hanya memerintah selama kurang dari dua tahun. Adapun Oscar Romero, memimpin gereja Katolik selama tiga tahun sebelum akhirnya terbunuh.
Perjuangan Oscar Romero di El Salvador tidak bisa dilepaskan dari semangat teologi pembebasan yang ketika itu tumbuh subur di Amerika Latin. Jika tren Teologi Pembebasan di Amerika Latin cenderung berbau Marxis, tidak demikian dengan Romero. Banyak yang menyebutkan bahwa Romero sama sekali tidak mengerti apa itu Marxisme dan Teologi Pembebasan. Sebelum dia menjadi uskup agung dia malah sangat berseberangan dengan para pastor yang progresif karena ada di pihak pemerintah. Sama halnya dengan Gus Dur. Meskipun Gus Dur dikenal dengan basis intelektualnya yang luar biasa, dalam prakteknya, Gus Dur adalah sosok yang tidak terjebak dalam ideologi tertentu. Bahkan Gus Dur disebut-sebut sebagai dewa mabuk.
Saya menilai keduanya melampaui ideologi, karena apapun, yang mereka pegang hanyalah prinsip dan keyakinan mereka sendiri, yakni asas nilai kemanusiaan, kesetaraan dan anti kekerasan.
Salah satu bukti sahih perjuangan seseorang selama hidupnya adalah bagaimana meraih penghargaan setelah jasadnya tiada. Baik Romero maupun Gus Dur adalah sosok yang sangat dihargai di luar komunitasnya. Di luar Katolik, Romero dihormati oleh denominasi agama Kristen lainnya, termasuk Gereja Inggris (Anglikan) melalui kalender ibadah umum. Dia adalah salah satu dari sepuluh martir abad ke-20 yang digambarkan dalam patung-patung di atas Pintu Barat Besar Westminster Abbey di London. Demikian halnya Gus Dur yang mendapat banyak pengakuan di luar komunitas Muslim; dikenal sebagai Bapak warga Tionghoa adalah salah satunya.
Jika di Indonesia, khususnya bagi sebagian kaum Nahdliyyin, Gus Dur lekat dengan mitos dan disebut sebagai Waliyullah ke-sepuluh, demikian halnya Monsenor Romero yang menjadi legenda yang masih dihidupi masyarakat sampai saat ini. Oleh masyarakat Amerika Latin dia disebut San Romero de America, yang berarti Romero orang suci Amerika. Banyak juga yang menyebutnya sebagai Santo El Salvador, atau pelindung El Salvador. Oscar Romero secara resmi ditetapkan oleh Paus Fransiskus sebagai martir pada Februari tahun 2018, melalui upacara penetapan kanonisasi.
Upacara kanonisasi adalah penetapan yang dilakukan oleh gereja Katolik bagi orang yang telah wafat, yang terbukti menjalani hidupnya di jalan kebajikan sampai akhir hayat. Sehingga nama orang tersebut layak untuk diberi gelar Santo atau Santa, menunjukkan bahwa laku hidupnya layak untuk diteladani.
Nah, dari sini, sebutan Wali, atau Santo, hendaknya tidak kita pandang sebagai kultus individu, melainkan salah satu cara supaya nilai dan perjuangan yang mereka dedikasikan sepanjang hayat tetap ada di ingatan kita.
Walhasil, baik Santo Oscar Romero maupun Waliyullah Gus Dur tentunya sudah tiada. Tapi nilai, semangat, dan warisan mereka dibangkitkan kembali oleh Tuhan dan hidup di tengah masyarakat sebagai sumber inspirasi dan harapan. Inspirasi dan harapan bisa datang dari mana saja. Santo Romero dan Waliyullah Gus Dur adalah dua dari ‘mana saja’ itu.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI