Nama-nama menteri pengganti baru saja diumumkan Jokowi (22/12). Dua diantaranya, Sandiaga Uno dan Yaqut Cholil Qoumas, mendominasi story media sosial, khususnya dari teman-teman yang berafiliasi dengan NU. Ada dua wacana berbeda yang mereka angkat.
Pertama, dipilihnya Sandiaga Uno adalah indikator rekonsiliasi perseteruan pilpres 2019. Di medsos, ada dua foto yang jadi andalan: pertama, foto Sandi, Prabowo, Risma dan Gus Yaqut yang sedang mengenakan seragam Banser; dan kedua, gambar kartun dua pasangan calon presiden bertuliskan Happy Ending.
Kedua, dipilihnya Gus Yaqut sebagai menteri agama adalah indikator bahwa Kementerian Agama akan ‘back on track,’ sebagaimana dulu Kyai Said dan banyak santri (secara individual) pernah mengeluh soal kinerja Menteri Fachrur Razi.
Wacana yang pertama perlu untuk dikupas, namun biarlah wacana yang kedua menjadi ulasan bagi yang lain.
Sambutan hangat terhadap foto Sandi dan Prabowo yang mengenakan seragam banser, dan gambar kartun ‘Happy Ending’ menyiratkan bahwa ada dua realitas yang berbeda antara diskursif yang ditampilkan oleh aktor politik dan jejaring politik yang mereka miliki. Sehingga, antara apa yang sebenarnya terjadi di atas tidak selalu sama dengan apa yang terjadi di akar rumput.
Menggunakan seragam adalah simbol. Dan simbol adalah bagian dari performasi politik. Kalau saya adalah seorang politisi, laku verbal ataupun non-verbal adalah bagian tak terpisahkan dari manuver politik saya: setipis apapun itu, dan se-gak-niat apapun itu. Karena apa yang melekat pada saya akan selalu terikat pada penilaian subjektif antar audiens yang berbeda. Dan resonansi itu muncul sesederhana sebagaimana Sandi mengenakan seragam Banser.
Impresi bahwa ‘semua akan NU pada waktunya’ perlu diselaraskan dengan kedalaman komitmen Sandi, baik secara durasi ataupun dedikasi. Kalau ada ketidak-selarasan, ini bisa menjadi indikasi adanya praktik performasi simbol, yang kebetulan saat ini sedang mendapat momentum.
Sambutan hangat terhadap foto dan gambar itu juga tidak lain karena masih tersisanya residu dikotomis soal kubu nasionalis dan islamis di masyarakat umum. Masuknya Prabowo, kemudian disusul oleh Sandi, ke dalam kabinet Jokowi dipandang sebagai rekonsiliasi akbar yang melegakan, dan tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Akan tetapi, perlu ada kehati-hatian dalam memilih antara kata ‘rekonsiliasi’ dan ‘konsolidasi.’ Dipilihnya Sandi sebagai Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif boleh jadi adalah fase lanjutan dari konsolidasi oligarki dan politik akomodasi yang rangkul Jokowi. Konsolidasi oligarki dan politik akomodasi telah terjadi sejak Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya di Oktober 2019 silam. Masuknya Prabowo, Airlangga Hartanto, Erick Tohir, Luhut Binsar Panjaitan, dkk berkaitan erat dengan titik kulminasi di mana Omnibus Law disahkan―undang-undang sakralnya oligark.
Saat Prabowo dipilih menjadi Menhan, kalangan Islamis banyak yang kecewa. Kekecewaan serupa juga dirasakan kalangan nasionalis saat Jokowi mengabaikan rekomendasi berbagai ormas Islam moderat dan tetap mengesahkan Omnibus Law. Ada sentimen dari kalangan nasionalis bahwa Jokowi ‘agak berpaling’ pada saat itu. Namun sejauh apa kekecewaan ini dapat membekas, sepertinya dapat terobati selama Jokowi masih berpihak pada pengentasan radikalisme, meski komitmennya terhadap perlindungan alam dan masyarakat adat dipertanyakan.
Inkonsistensi yang terjadi pada Prabowo dan Jokowi adalah konsekuensi logis ketika terjepit oleh biaya pemilu yang mahal (dan disokong oleh pebisnis industri ekstraktif) dan tuntutan memikat hati masyarakat. Populisme seringnya menjadi jalan keluar.
Laporannya Ian Morse yang terbit di The Diplomat (04/2019) misalnya menunjukkan, hampir 98 persen biaya kampanye kubu 02 berasal dari hasil bisnis Prabowo dan Sandi. Sandi sendiri setidaknya menyumbang $8.1 juta, atau sekitar 61 persen dari total biaya kampanye, yang didapat dari hasil bisnis agrikultur, tambang, energi dan infrastruktur di bawah naungan PT Saratoga Investama. Jokowi pun kurang lebih sama. Dua per-tiga biaya kampanye-nya, atau sekitar $9.2 juta, didapat dari donatur misterius yang bernama Perkumpulan Golfer, dan nama lain seperti Luhut Binsar Panjaitan―yang memegang beberapa industri ekstraktif.
Posisi politik tidak jarang menjadi arena negosiasi bisnis. Kadang pertukaran mutualisme tidak selalu berupa materi, namun bisa juga berupa kebijakan yang berpihak pada pihak tertentu. Hal ini, salah satunya, mendorong mengapa oligarki masa kini jauh lebih berani tampil di depan panggung dalam menyesuaikan kebijakan, dibanding dulu yang cenderung agak malu-malu.
Agenda teknokratis yang ada dalam negosiasi itu dapat menjadi hal yang subversif kalau ditampilkan di depan publik. Pemilu, pada satu sisi, dapat dipandang sebagai momen persimpangan yang menentukan persatuan, nasionalisme, kebangsaan dan imaji normatif lainnya. Di lain sisi, Pemilu juga dapat dipandang sebagai momen persimpangan yang menentukan batas waktu ijin operasional, kelonggaran pra-syarat, praktik operasional sehari-hari perusahaan, dan menentukan arah kemana negara berpihak.
Cara pandang yang pertama umum terjadi di akar rumput. Sedangkan cara pandang yang kedua sering kali menjadi motif kenapa populisme tengah, centrist populism, dapat terjadi di Indonesia. Elit industri yang memasuki arena politik dituntut untuk menyenangkan hati masyarakat dengan menampilkan diri selaras dengan ideologi dominan yang sekiranya punya kekuatan elektoral tinggi―katakanlah, Islamisme dan Nasionalisme.
Elit industri turun ke akar rumput dan mengadvokasi kedaulatan rakyat versi ideologi masing-masing, meski mereka tidak benar-benar berniat demikian. Di akar rumput, beserta dengan aparatus wacananya, populis tengah sering menggunakan role of conflict, di mana kubu A akan menuduh calon X adalah kiri, sedangkan kubu B menuduhnya kanan.
Hal serupa juga terjadi pada Jokowi dan Prabowo. Sebagian pendukung Jokowi menganggap bahwa Prabowo adalah antek asing, dekat dengan kekafiran karena keluarganya berbeda agama, dan konservatif karena mengusung Islamisme. Sedangkan sebagian pendukung Prabowo menganggap Jokowi adalah kafir karena turunan PKI, pro-aseng, dan Islamnya kurang kaffah karena tidak memprioritaskan Islam yang sebenarnya.
Namun, baik Jokowi ataupun Prabowo, keduanya sama-sama menggunakan nasionalisme sebagai poros inti. Keduanya hanya berbeda dalam menggunakan ‘variasi’-nya. Jokowi menggunakan nasionalisme ala NU dan kenusantaraan, sedang Prabowo menggunakan nasionalisme chauvisnistik yang ditabur konservatisme agama. Di pilihnya Kyai Ma’ruf oleh Jokowi sebagai calon wakil presiden, dan hasil Ijtihad Ulama yang mendukung Prabowo, adalah manuver struktural bagaimana sentimen agama digunakan untuk melengkapi kepentingan populis tengah.
Sayangnya, fanatisme elektoral tahun 2019 tidak dapat berbuat apa-apa ketika masing-masing calon bersikap inkonsisten terhadap ideologi pendukungnya masing-masing. Ini yang membedakan populis tengah dengan populis kiri dan kanan: populis tengah dapat ‘berganti kostum’ dan dapat bergerak tanpa perlu basis massa yang banyak, namun cukup meminjam basis massa milik ideologi lain.
Masuknya Sandi dalam kabinet Jokowi boleh jadi adalah titik paripurna konsolidasi oligarki dari kedua belah kubu yang perlu menutup besarnya biaya elektoral di masa lalu. Menyambut hangat foto Sandi menggunakan seragam Banser, atau gambar Happy Ending agaknya sikap yang terburu-buru, jika mengabaikan bagaimana Jokowi menyusun kabinet dan mengalokasi APBN-nya, yang sebagian besar disalurkan pada lembaga keamanan dan infrastruktur.
Apa yang akan terjadi dari kombinasi: tingginya biaya elektoral, terkosolidasinya oligarki, tingginya anggaran untuk lembaga keamanan, dan telah disahkannya Omnibus Law? What next? Jawabannya mungkin ada di hutan pedalaman Sumatra, Kalimantan, Papua; atau ada di tengah kepulan gas air mata yang diterjang mahasiswa; atau juga bisa ada di jeruji besi yang membatasi para aktivis bergerak. Yang jelas, ada sesuatu yang tidak baik-baik saja ketika seseorang berteman atau menjabat tentara, pebisnis dan pemangku kebijakan secara bersamaan.