As-Samaw’al bin Adiya: Penyair Yahudi yang Diabadikan Namanya dalam Islam

As-Samaw’al bin Adiya: Penyair Yahudi yang Diabadikan Namanya dalam Islam

As-Samaw’al bin Adiya: Penyair Yahudi yang Diabadikan Namanya dalam Islam
Ilustrasi seorang ulama yang sedang mempelajari kitab.

Cerita tentang As-Samaw’al bin Adiya ini terjadi saat sebelum datangnya Islam. As-Samaw’al bin Adiya termasuk penyair ternama di masa jahiliyyah. Ia beragama yahudi dan dikenal sebagai penyair yang bijaksana di masanya. Ia memiliki benteng di wilayah utara jazirah Arab. Namanya selalu diabadikan dalam kisah-kisah Islam dari masa ke masa karena komitmennya dalam menjaga janji dan kesetiaanya.

Kisah kesetiaan As-Samaw’al bin Adiya dimulai saat Imru al-Qais ingin ke istana raja Romawi dalam rangka meminta bantuan. Sebelum berangkat, Imru al-Qais menitipkan beberapa baju besi, sebuah senjata dan barang-barang yang berjumlah banyak. Kepergian Imru al-Qais begitu lama dan tidak meninggalkan kabar apapun. Sehingga muncul kabar bahwa Imru al-Qais telah meninggal. Mendengar kematian Imru al-Qais, raja Al-Kindah –salah satu kerajaan besar di jazirah arab pada masa jahiliyyah – tidak tinggal diam. Dia meminta Al-Samaw’al untuk menyerahkan baju besi dan senjata yang dititipkan oleh Imru al-Qais kepadanya. Namun ditolak oleh Al-Samaw’al.

“Saya hanya akan memberikan barang ini kepada yang berhak memilikinya, ” katanya.

Raja Al-Kindah tidak menyerah dan terus meminta barang tersebut, namun selalu ditolak sehingga Al-Samaw’al dianggap telah membantah perintah raja.

“Saya tidak akan memberikan satu pun dari barang-barang ini. Karena saya tidak ingin menghianati janjiku dan amanah yang telah diberikan kepadaku. Saya wajib menjaga amanah ini,” tegasnya.

Keteguhan Al-Samaw’ali untuk menjaga janjinya membuat raja geram, lalu ia bersama pasukannya pergi untuk menangkap dan membunuh Al-Samaw’al. Kabar kedatangan raja dan pasukannya didengar oleh Al-Samaw’al sehingga ia melarikan diri ke bentengnya. Namun, keberadaannya tetap diketahui oleh raja. Mereka pun mengejar Samaw’al dan mengepung bentengnya.  Nasib baik berada di tangan raja, karena bisa menawan anak Samaw’al yang kebetulan lagi berada di luar benteng.

Raja meneriaki Samaw’al. Namun tidak ada jawaban. Kemudian ia naik di atas benteng untuk memantau keberadaan Samaw’al. Akhirnya, Raja dapat melihat Samaw’al sambil berkata, “Saya telah menawan anakmu yang sekarang bersamaku. Tentu kamu sudah tahu bahwa Imru al-Qais adalah anak dari pamanku. Saya berhak atas harta warisannya. Jika kamu menyerahkan barang-barang tersebut kepadaku maka saya akan pergi meninggalkanmu dan menyerahkan anakmu ini. Namun jika kamu tetap tidak mau, maka saya akan menyembelih anakmu dan kamu akan menyaksikannya sendiri. Mau pilih yang mana?”

“Saya tidak akan pernah menghianati janjiku dan melanggar tanggung jawabku. Lakukanlah sesuka hatimu,” tegas Samaw’al.

Raja pun menyembelih anak Samaw’al dan disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Setelah itu, raja pulang dalam keadaan gagal mendapatkan harta warisan Imru al-Qais. Samaw’al menganggap dirinya sebagai penyebab kematian anaknya. Namun, ia tetap  bersabar dan berkomitmen untuk menjaga amanah yang telah diberikan kepadanya. Saat ahli waris Imru al-Qais datang, Samaw’al menyerahkan semua barang-barang  tersebut. Mereka takjub dengan loyalitas Samaw’al yang mampu menjaga janjinya meskipun anaknya menjadi korban.

Kisah di atas sangat inspiratif dan mengandung pelajaran yang sangat bermakna. Menjaga amanah memang bukanlah tugas yang ringan. Butuh komitmen yang tinggi untuk bisa menjaganya. Karena menjaga amanah lebih dari sekedar menepati janji.