Pada awal bulan Maret tahun ini, Indonesia akan kedatangan tamu spesial dari Arab yaitu Raja Salman yang juga seorang pemimpin negeri Arab Saudi. Kedatangannya cukup fenomenal. Sebab, Raja Arab terakhir kali menginjakkan kaki di Indonesia sebagai tamu negara pada zaman Orde Baru tepatnya 47 tahun silam.
Kedatangannya di Indonesia, selain ada urusan kenegaraan, juga disertai dialog dan diskusi mengenai Islam, antara Islam Arab dan Islam Indonesia. Menarik untuk diperhatikan, sebab secara kultur kedua negara ini beda dan bukan tidak mungkin perbedaan ini juga mewarnai keislaman di kedua negara.
Secara kultur, mayoritas Islam Indonesia dalam madzab fiqih mengikuti imam Syafi’i. Dari situ kita melihat banyak sekali adanya penyesuaian budaya antara Islam dengan budaya lokal. Sebab imam Syafi’i sendiri dalam menyebarkan ajarannya juga dikenal fleksibel dengan budaya sekitar. Terbukti ketika beliau berada di Bagdad dan di Mesir. Penyebaran madzab Syafi’i, selain kita temukan di Asia Tenggara, juga banyak kita temukan di negara Somalia, Sudan, Ethiopia.
Setiap imam madzab tentu memiliki rujukan-rujukan tersendiri dalam menentukan hukum. Begitu juga dengan imam Syafi’i, rujukan pertama yang beliau letakkan ialah Al-Qur’an; kedua, jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an akan dicarikan dalam hadits Nabi; ketiga, jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits maka menggunakan kesepakatan alim-ulama atau biasa dikenal ijma’; keempat, Qiyas yaitu menganalogikan suatu masalah atau hukum yang dirasa ada kemiripan; kelima, Istidlal; dan keenam, Istishab.
Sedangkan dalam kultur masyarakat Arab, mayoritas Islam di Arab mengikuti madzab Hambali. Hal ini terlepas mereka mengakui atau tidak, sebab mereka juga kadangkala mengaku tidak bermadzab. Imam Ahmad Bin Hambal, nama aslinya, adalah seorang murid Imam Syafi’i yang tinggal di Bagdad. Penyebaran madzab ini disemenanjung Arab, pedalaman Oman, dan beberapa tempat di semenanjung teluk Persi.
Dalam hal rujukan utama, imam Hambali sama dengan imam Syafi’i yaitu Al-Qur’an. Namun dalam rujukan yang lain, guru dan murid ini berbeda. Jika rujukan kedua dan seterusnya Imam Syafi’i sesuai uraian di atas, maka di sini kita menemukan perbedaan mengenai rujukan. Imam Hambali meletakkan hadits marfu’ dalam urutan kedua. Ketiga, fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah, diantara fatwa-fatwa berlawanan. Keempat, hadits mursal dan hadits dhaif. Kelima, qiyas.
Dalam tataran praktek yang ada di Indonesia, seringkali kita menemukan orang-orang Wahabi menyebut Islam Indonesia- khususnya NU- dengan bidah. Seperti tahlilan, barjanji, tawasul, mendoakan ke kuburan, dan sebagainya. Tentu ini bisa menjadi pemicu konflik intern umat Islam jika tidak ada pemahaman satu sama lain. Sehingga dengan pemahaman tersebut kita bisa menerima dan menghargai penuh atas ragam penafsiran dari Islam itu sendiri.
Jika kita menganut pada hadits Nabi yang menyuruh untuk bersaudara dengan sesama muslim tentu ini terlihat terbalik. Sebab, dengan adanya klaim-klaim di atas menunjukkan bahwasanya kita belum bisa menerima saudara kita seiman dengan berbeda penafsiran. Bukankah kita juga pernah mendengar, bahwa Allah memang menciptakan kita berbeda-beda. Tinggal kita mampu atau tidak untuk mengelola keberagaman itu demi kebersamaan.
Perbedaan kultur dan sosial keagamaan yang ada di Indonesia dan Arab harus dijauhkan dari hal-hal yang bersifat penghujatan satu sama lain. Sebab, Nabi pernah mengatakan bahwasanya setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya (tidak boleh dicuri), dan kehormatannya (tidak boleh dicaci dan dirusak kehormatannya). Hal ini juga ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat:12, Hai orang iman, jauhilah berburuk sangka. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Janganlah sebagian kalian mengguncing sebagian yang lain.
Dengan dasar tersebut, kita sebagai sesama muslim tidak patut untuk menggunjing, mencaci, mencari kesalahan orang lain. Sebab kita adalah saudara seiman. Benar salah suatu penafsiran atas agama Islam yang kita yakini, kita serahkan kepada Allah. Sebab, yang mengetahui kebenaran keimanan seseorang hanya Allah semata, kita sebagai manusia tidak sepatutnya menghakimi manusia yang lain. Bukankah semestinya demikian?
Muhammad Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Insti