Menelusuri Kebencian Digital atas Kematian Salwan Momika si Pembakar Al-Qur’an, Apa yang Terjadi?

Menelusuri Kebencian Digital atas Kematian Salwan Momika si Pembakar Al-Qur’an, Apa yang Terjadi?

Menelusuri Kebencian Digital atas Kematian Salwan Momika si Pembakar Al-Qur’an, Apa yang Terjadi?

Kematian Salwan Momika, pembakar Al-Qur’an yang dibunuh dan respons netizen kita patut jadi renungan, emangnya begitu akut kebencian dalam diri kita atau ada fakta lain?

Kala fakta penelitian menyebut warganet Indonesia paling bising di dunia maya, maka mungkin sekali sebagian besar pelaku kebisingan tersebut seorang Muslim.

Entah disadari atau tidak, di sisi lain, kemungkinan besar kebisingan tersebut juga bermuatan hujatan, hinaan, hingga berita bohong untuk menyerang orang lain. Maka, kita tentu harus khawatir akan fakta tersebut. Benarkah?

Beberapa waktu lalu, akun media sosial sebuah media daring mengunggah berita, pelaku pembakaran Alquran di Swedia ditembak hingga tewas pada saat live Tiktok. Bagian menarik dari unggahan tersebut adalah kebisingan masyarakat Muslim Indonesia.

Sebagian besar komentar di postingan tersebut berisi hujatan hingga hinaan, bahkan bisa terbilang sadis dan tak lagi ada sisi kemanusiaannya.

Apa yang terjadi atas sang pelaku pembakaran disyukuri hingga dianggap azab dari apa yang dilakukannya. Sepertinya tak ada ajaran agama kita yang memperbolehkan kita untuk menghina, menghujat, apalagi melakukan kekerasan atas mereka, walaupun kebencian kita memuncak hingga ke ubun-ubun.

Anonimitas atau kerahasiaan identitas tidak lantas membuat kita sebagai masyarakat Muslim malah terpancing untuk melakukan kekerasan digital, seperti merundung, menghina, hingga menghujat, atas orang lain. Kita boleh saja membenci sosok Salwan Momika, pelaku pembakaran Alquran di Swedia, namun kebencian kita tidak lantas kekerasan digital kepadanya.

***

Di antara implikasi awal dari kemunculan media sosial di masyarakat Muslim adalah urusan moral sebagai muslim. Hari ini kita disibukkan dengan persebaran kabar bohong, penghinaan, hingga kekerasan digital di masyarakat Muslim. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kita sering mendapati sesama muslim melakukan kekerasan digital, menyebar kabar bohong, hingga menghina. Kasus Momika adalah buktinya.

Perubahan lanskap media sosial turut berdampak pada dinamika masyarakat Muslim. Fakta ini jelas tidak bisa dibantah begitu saja. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bagian dari kehidupan kita sebagai muslim. Akun media sosial kita telah menjadi wajah keislaman kita sendiri.

Jika kita ingin menjadi muslim baik, maka akun berbagai platform media sosial kita menjadi cerminan atau menjadi ujian klaim kita. Untuk itu, kita harus menghadirkan wajah Islam yang damai dan benci atas segala bentuk kekerasan di ruang-ruang digital.

Kekerasan dapat berkembang dan meningkat secara bertahap, sering kali sebagai respons terhadap tindakan kekerasan sebelumnya. Aksi kekerasan cenderung memicu lebih banyak kekerasan, menciptakan siklus yang sulit diputus.

Johan Galtung, akademisi, memperkenalkan istilah soal kekerasan budaya sebagai bagian dari kekerasan tiga dimensi. Norma, nilai, ideologi, atau praktik budaya tertentu melegitimasi kekerasan sehingga dianggap wajar atau sah. Dengan kata lain, kekerasan kultural berfungsi sebagai alat justifikasi sehingga masyarakat atau individu dapat menerima, mendukung, atau bahkan mengabaikan bentuk kekerasan lainnya.

Ajaran agama atau keyakinan kita adalah kultur yang hidup di masyarakat kita. Hari ini, kita biasa menggunakannya untuk melegalisasi kekerasan digital kita. Kekerasan digital sama sekali tidak dibenarkan, apalagi jika menggunakan agama untuk mengaburkannya. Perundungan, penghinaan, hingga pengancaman di media sosial dengan menggunakan narasi agama juga tidak dibenarkan sama sekali.

Sayangnya, kita sering tidak mempertimbangkan dampak kekerasan digital berbasis agama. Kala kita menggunakan agama, maka kekerasan tersebut tidak saja menjadi legal namun juga dalih masyarakat untuk menerima, menganggapnya biasa, hingga mengabaikannya sebagai bentuk kekerasan.

Pada ujungnya, kita akan mendapati kebiasaan menghina, menghujat, atau mengancam dengan dalih agama adalah hal biasa. Galtung berkata kondisi ini akan mengakibatkan kekerasan langsung, seperti menyakiti, memukul, hingga membunuh, bisa saja terjadi dan dianggap boleh.

***

Nyawa manusia telah melayang. Kita perlu mengedepankan sisi kemanusiaan, bahkan di saat paling kritis sekalipun, yakni apa yang mereka lakukan adalah hal yang paling kita benci. Nabi Muhammad Saw saja tidak melakukan balas dendam kala perjuangannya menyebarkan Islam di Mekah dihalang-halangi. Nabi malah menunjukkan sisi kemanusiaan dan kasih dari Islam.

Kita tidak boleh lagi mencontohkan penggunaan agama hanya untuk membuat aksi kekerasan, termasuk di ruang digital, kita terlihat benar. Ajaran Islam telah memberikan kita panduan untuk terus menebar kebaikan. Ruang digital kita yang sesak dan bising dengan ungkapan kebencian, hujatan, hinaan, hingga ancaman perlakuan kekerasan harus mulai dilawan dengan wajah Islam yang damai.

Islam harus menjadikan ruang digital kita tidak lagi bising dengan hal-hal negatif. Ajaran damai dan rahmat dalam agama, termasuk Islam, harus didorong untuk menciptakan ruang aman, adil, dan ramah bagi semua identitas, kelompok, dan golongan. Saudah saatnya kita menghentikan penggunaan agama untuk melanggengkan kekerasan digital atas mereka yang berbeda. Begitu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin